WAKTU

JEDA

Senin, 21 April 2008

Hadiah Istimewa (Dimuat di Harian SURYA, 20 April 2008)

PROLOG.
Sejatinya Saya tidak Bakat menulis Cerpen. Sepanjang karir saya menulis saya hanya membuat 6 cerpen. yakni pada medio 2005 dan 2008 ini. 4 cerpen saya dimuat di RADAR MADURA. Sayang koran lokal terbesar di Madura itu tak memberikan satu rupiah-pun untuk cerpen-cerpen saya itu. Sehingga saya tak lagi mengirim karya-karya saya ke media itu. Bagi saya royalti adalah penghargaan. dan setiap manusia yang berkarya pasti butuh penghargaan.
Pada tahun 2005 itu juga cerpen Mimesis saya dimuat di SURYA. Setelah itu saya tidak lagi menulis cerpen. Karena bersamaan dengan "Mimesis" dimuat, saya diterima sebagai reporter Jawa Pos. waktu itu saya tak bisa membagi waktu antara kerja jurnalis dengan kerja kreatif sebagai penulis nonfiksi. jujur, itensitas kerjanya cukup berat.
Baru pada tahun 2008 ini saya mencoba menulis cerpen lagi. Karena dua alasan. pertama, saya mulai kehabisan ide menulis artikel dan Opini. Kedua, hanya ingin belajar saja bagaimana berfiksi secara benar. Dan ternyata berhasil dimuat di SURYA.
Sebenarnya banyak kawan bertanya bagaimana proses kreatif-nya? Jujur saya tak bisa menjelaskan dengan detail. Tapi pada beberapa email kawan saya itu, saya berjanji menceritakannya dan akan saya posting pada blog ini. Soal nama samaran? ah, saya rasa itu tidak penting. apalah artinya sebuah nama.
------
Hadiah Istimewa
Oleh: Edy Firmansyah/HN. Amrif


Setelah kemarin kuserahkan tubuhku sebagai perayaan perjumpaan kita, kini aku ingin memberikan hadiah istimewa padamu sebagai bukti kesetiaanku. Sesuatu yang mungkin paling berharga dalam hidupku.

Apa itu?

Kau akan menerimanya, khan?

Katakan saja.

Baiklah. Tapi berjanjilah padaku, kau akan menerimanya dan tidak akan membaginya dengan siapapun.

Baiklah, aku berjanji.

Terimakasih. Hadiah itu adalah cinta.

Ha.....ha....ha......

Mengapa tertawa? Tidakkah ini istimewa. Semua manusia lahir atas cinta. Ia hidup dan bahagia bersama cinta. Bahkan bumi hanyalah segumpal angkara tanpa cinta. Akupun berani mengatakan ini juga karena cinta. Tentu dengan segala resikonya.

Maaf. Tidak bermaksud melecehkanmu, tapi bukankah kau sudah beristri? Itu artinya kau akan membagi cintamu. Ini bukan zaman feodal, dimana perempuan hanya kuda tunggangan yang bisa dikoleksi dan dipilih kapan bisa dikendarai. Aku tak mau. Ini pelecehan namanya.

Tapi aku akan memberikan semuanya untukmu.

Lalu Istrimu?

Bukankah dia sudah cukup puas menikmati cintaku 15 tahun lamanya. Aku rasa dia akan menerima jika cintaku kuberikan seluruhnya padamu. Lagipula dia tak akan pernah tahu bahwa tiap aku pulang ke rumah tanpa cinta. Semuanya akan berjalan seperti biasa termasuk juga adegan ranjang.

Artinya aku dapat cinta sisa-sisa, dong. Aku tak mau. Emangnya aku anjing kurap yang mengais-ngais cinta dari tong sampah. Aku tak mau. Aku mau cinta sejati. Cinta suci.

Tapi cintaku suci. Aku sudah mencucinya

Dengan apa?

Dengan dosa-dosa.

Ah, kau memang pandai berpuisi.

Ini bukan puisi, melainkan cerpen.

Terserah kamulah. Mau puisi kek, mau cerpen kek, toh isinya gombal.

Tapi semua yang kutulis ini nyata. kisah tentang percintaan kita. Cupang merah dileherku adalah tandanya.

Kau menulisnya? Apa kau gila? Tidakkah istrimu akan tahu semua yang kita lakukan selama tiga tahun ini. Tidakkah semua orang akan mengutukimu sebagai laki-laki tak bertanggungjawab. Dan itu artinya kau juga menghancurkan aku. Bayangkan saja apa komentar masyarakat tentang aku jika cerpen ini dimuat di koran? Mereka akan menudingku perempuan jalang sepanjang jalan. Bahkan sampai aku masuk kuburan. Padahal semua perselingkuhan selalu laki-laki yang memulai, bukan?

Tak perlu risau sayang. Memang kita berada dalam sebuah negeri yang resminya sudah bebas buta huruf, namun bisa dipastikan masyarakatnya sebagian belum membaca secara benar, yakni membaca untuk memberi makna dalam dan meningkatkan nilai kehidupannya. Masyarakat kita adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekedar hiburan. Dalam masyarakat semacam itu, cerpen picisan yang begitu panjang ini pasti menjemukan.
Sok tahu. Kata siapa?
Kata Seno Gumira Adjidarma ketika menerima Anugerah SEA Write Award.

Gombal! Sok intelek.

Adoww! Jangan mencubit dong. Mentang-mentang kusebut penulis favoritmu. Adoww!

Ngomong-ngomong, kau yakin cerpen ini akan dimuat di koran?

Tidak.

Kalau memang tidak, mengapa kau susah payah menulisnya?

Sebagai kenangan bahwa cinta tak selamanya setia. Para kiai dan ulama di kampungku ternyata tak jauh beda. Bedanya mungkin istri kedua, ketiga dan keempatnya dikawin secara agama. Selebihnya hanya nafsu belaka. Mungkin bedanya kalau pernikahan itu pelacuran yang dilegalkan, sementara perselingkuhan murni pelacuran.

Tapi aku bukan pelacur?

Siapa bilang? Kau itu bidadari yang lahir dari perut bumi dan diasuh matahari untuk kemudian dipersunting pangeran disampingmu ini.

Gombal!

Terserah! Adoww!

Hening.

Jadi bagaimana? Kau tulus menerima cintaku setulus hati dan kau biarkan bersemayam di hatimu? Plizz, jawablah aku. Jangan diam dan membisu. Tanpa jawabanmu aku tak bisa mengakhiri cerita ini dan mengirimkannya ke koran. Kalau sudah begitu berarti kau menghambat rejekiku dan bukankah sudah jadi umum bahwa sebuah perselingkuhan tak akan berjalan lancar tanpa uang? Plizz, jawablah aku.

TENTANG PENULIS
*HN. Amrif adalah nama Pena Edy Firmansyah. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK) Madura. Cerpen ini adalah Cerpen kedua yang dimuat di SURYA. Cerpen Pertamanya, berjudul "Mimesis" dimuat pada 20 Juni 2005

Tidak ada komentar: