WAKTU

JEDA

Selasa, 22 April 2008

Menegakkan Lagi Politik Perempuan (Dimuat di Harian SURYA, 21 April 2008)

Refleksi Hari Kartini 21 April:

Menegakkan Lagi Politik Perempuan
Oleh: Edy Firmansyah*)


Ternyata masih banyak orang yang keliru menafsirkan hari Kartini yang jatuh pada 21 April. Kartini masih ditafsirkan atas dasar identitas kultural. Kartini identik dengan busana Jawa: Kebaya, kain panjang dan gelung. Lewat penafsiran itu, menghormati perjuangan Kartini berarti mengenakan kebaya ’kartini’ sebagai ungkapan terimakasih bahwa atas jasanya kaum perempuan Indonesia sudah terlepas dari kungkungan, kaum perempuan Indonesia sudah merdeka dan sudah mengenyam pendidikan tinggi. Seakan-akan perjuangan Kartini usai sudah.

Padahal nyatanya tidaklah demikian. Menurut Pramodya Ananta Ananta Toer dalam bukunya Panggil Aku Kartini Saja perjuangan Kartini belumlah usai. Kartini hanyalah orang pertama dari sejarah modern Indonesia. Dialah yang mengadopsi aspirasi-aspirasi kemajuan yang di Indonesia pertamakali muncul di Demak, Kudus dan Jepara. Kemudian diramu, dirumuskan, diperinci dan diperjuangkan untuk menjadi milik seluruh nation Indonesia (hal 14). Dan merupakan tugas perempuan setelah kartini meneruskan tongkat estafet tersebut.

Perempuan Indonesia masih mengalami penghancuran identitas perempuannya sehubungan dengan otonomi ekonomi, politik dan budayanya. Perempuan masih didefinisikan menjadi pelengkap penderita para patriakh yang bisa berbentuk individu laki-laki, cara pandang laki-laki, system yang memberi keuntungan pada laki-laki, pemerintah, dan Negara yang didefinisikan sebagai bapak, pejabat, dan aparat yang benar-benar melaksanakan peran “bapak”(Ruth Indah Rahayu, 2006). Parahnya lagi, para perempuan tidak sadar bahwa dirinya diekspolitasi. Mereka seakan pasrah saja bahwa keadaan yang menimpa dirinya adalah kodrat.

Dalam pandangan patriakat perempuan tak lebih hanya sekedar perhiasan semata. Mereka lebih layak berada dalam etalese domestik; dapur, kasur, sumur.( Puthut EA, 2007;61) Kodratnya sebagai manusia yang berhak sejajar dengan laki-laki telah digantungkan di langit-langit kamar. Benar memang tak sedikit organisasi perempuan yang tumbuh dan berkembang di masa saat ini. Seperti misalnya; Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, PKK, Dasa Wisma, dan banyak lagi. Namun gerak politiknya telah dimandulkan. Yang ada dalam organisasi itu adalah arisan, saling unjuk kecantikan, ngerumpi, belanja ke mall, dan seabrek aktivitas yang penuh dengan hedonisme.

Artinya perempuan yang baik adalah mereka yang cantik, patuh terhadap suami dan mampu mengurus anak-anaknya di rumah. Parahnya lagi, media massa yang sejatinya menjadi sarana pencerahan justru membenarkan hal tersebut. Lewat sinetron, iklan, dan reality show perempuan dicitrakan sebagai ’perhiasan’ semata.

Padahal sejak pertama perempuan dilahirkan, mahkluk ini memiliki peran besar terhadap peradaban. Kodratnya sebagai ibu yang memiliki rahim dan mampu melahirkan manusia-manusia di seluruh dunia adalah petunjuk bahwa perempuan adalah ujung tobak revolusi. Melahirkan satu generasi berarti memberikan harapan terciptanya perubahan.

Bahkan dalam masyarakat primitif, perempuan berandil besar dalam kegiatan berburu dan merambah hutan. Nyaris tak ditemukan perempuan yang berada dalam rumah. Semua anggota masyarakat turut serta dalam kerja-kerja survival (Engel dalam The Holy Family). Itu artinya, perempuan memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki. Menstruasi dan melahirkan bukan bukti kelemahan kaum hawa. Malah sebaliknya, ternyata perempuan memiliki energi ekstra dibanding laki-laki.

Beberapa gelintir sejarah dunia menunjukkan hal itu. Dalam sejarah Islam misalnya, Siti Khotijah, Istri pertama Nabi Muhammad, adalah contoh perempuan yang terlibat langsung dalam percaturan politik Islam di masa itu. Sayangnya, keterlibatan Siti Khotijah bagi perkembangan Islam justru jarang diulas panjang lebar dalam berbagai buku sejarah perjalanan Nabi.

Dalam sejarah Kristen Bunda Maria tercatat sebagai perempuan yang mambuka pintu gerbang penyebaran Kristen. Padahal kita tahu membawa misi agama baru dalam sebuah masyarakat sedemikian beratnya. Namun nyatanya di tangan perempuan tugas itu justru membuah hasil.

Di negeri ini kita kenal perjuangan Cut Nyak Dien, Dewi Sartika serta—yang paling melegenda adalah—perjuangan Kartini. Gadis Jepara itu menjadi tonggak sejarah modern di Indonesia. Dialah pemula yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan yang ada di Indonesia lewat tulisan-tulisannya.

Perempuan-perempuan yang disebut diatas hanyalah sekedar contoh. Sebenarnya deretan nama tentang perempuan yang terlibat dalam percaturan politik dunia dan mengambil peran untuk melawan stigma buruk yang ditudingkan padanya bisa sedemikian panjang. Dengan kata lain, perempuan memiliki peluang yang sama untuk menciptakan perubahan.

Dan perjuangan Kartini mestinya menjadi inspirasi bagi para perempuan Indonesia untuk memulai perubahan itu. Kartini melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun. ( Panggil Aku Kartini Saja, hal 67) dengan kata lain Kartini tidak hanya memberontak terhadap kolonialisme yang sedemikian kejam mencengkram rakyat. Tetapi juga memberontak terhadap budaya Jawa yang feodalistik. Dan Kesemuanya itu dia lawan dengan tulisan. Semua kepekaan, perasaan dan keprihatinannya terhadap nasib bangsanya dia tuangkan dalam tulisan. Tanpa kenal lelah, hingga nyawa merenggutnya.

Hanya dengan perjuangan yang gigih perubahan atas nasib perempuan di negeri ini bisa diraih. Bukan sebaliknya tenggelam dalam konsumerisme dan larut dalam tayangan sinetron yang memiliki daya hipnotis yang tak kalah dasyatnya dalam memandulkan politik perempuan.

TENTANG PENULIS
*) Edy Firmansyah adalah Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: