WAKTU

JEDA

Selasa, 22 April 2008

Proses Kreatif Cerpen "Hadiah Istimewa"

Proses Kreatif Cerpen “Hadiah Istimewa”

Menceritakan Proses Kreatif bagi saya jauh lebih sulit daripada saya disuruh menghayal untuk menghasilkan sebuah cerpen. Ibarat tukang sulap saya harus membuka kotak ‘sulap’ saya pada penonton. Sementara saya bukanlah tukang Sulap setenar David Coperpil, Atau Deddi Cobuzier. Kemungkinannya ada dua. Pertama, saya akan dibenci penonton, karena baru punya ilmu sulap sebiji jagung aja sudah menggurui. “Jadi Tukang sulap jalanan saja kok sudah sok,’’ begitu mungkin komentar mereka. Kedua, saya akan kehilangan banyak ‘order’ karena penonton sudah dapat menduga apa isi kotak ‘sulap’ saya. Kalau sudah begini siapa yang bertanggung jawab atas nasib saya??

Tapi saya terlanjur berjanji. Maka, mau tak mau saya harus menepatinya. Saya sebenarnya tidak cukup jago menulis cerita pendek. Sejak 2005-2008 ini saya hanya menghasilkan 6 Cerpen saja. 4 diantaranya dimuat di Radar Madura, sedangkan sisanya Pernah Dimuat di SURYA. Tapi saya suka membaca cerpen. Salah satu cerpenis yang saya kagumi adalah Seno Gumira Ajidarma. Sejak Kuliah saya sudah mengoleksi Antologi Cerpen Seno; Mulai Dari Penembak Misterius (Galang Press, 2007), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (Gramedia, 2003), Pelajaran Mengarang (Penerbit Kompas, 2003), dan cerpen-cerpen lainnya yang sempat saya kumpulkan dari internet.

Entah mengapa saya suka sekali membaca Karya-karya Seno. Bagi saya ini penulis cerpen surealis yang sangat lihai. Pantas Pramodya Ananta Toer mengaguminya, sebagai penulis muda Indonesia yang memiliki karakter. Di tangan Seno sebuah fakta bisa ditelusupkan dalam sebuah cerpen yang paling tidak masuk akal. Dengan cukup cerdas, wartawan Majalah Jakarta-Jakarta itu, mampu menghadirkan fakta tentang kekejaman militer dengan DOM-nya di Timor-Timur lewat cerpen-cerpennya.

Ketika semua data dan fakta mengenai Timor-Timur yang berseberangan dengan orba waktu itu diawasi dengan ketat (termasuk Majalah Jakarta-Jakarta yang akhirya kena warning, karena memuat reportase mengenai Timor-Timur) Seno dengan entengnya menyuguhkan fakta-fakta itu dalam bentu Cerpen. Dan cerpen-cerpen itu lolos dimuat di berbagai media massa. ”Ketika Jurnalisme dibungkam, Sastra Harus Bicara,” begitu teriak Pria yang lahir di Boston pada 19 Juni 1958 itu.

Begitulah, karena begitu sering membaca-baca ulang karya-karya Seno itulah seringkali saya mencoba-coba meniru-niru gaya penulisannya. Memang secara kualitas tak bisa secerdas Cerpen-cerpen Seno, tapi saya merasa beberapa diantara cerpen saya yang hanya segenlitir itu cukup berhasil menyusupkan Fakta dalam Fiksi.

Seperti Hadiah Istimewa ini, misalnya. Dalam Cerpen ini sebenarnya yang hendak saya sampaikan pada pembaca bukanlah dialog tentang pasangan selingkuh itu. Bukan. Justru yang ingin saya sampaikan adalah pernyataan Seno Gumira Ajidarma ketika menerima Anugerah SEA Write Award di Filipina.

Seno Mengatakan bahwa; ”Masyarakat kita adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepak bola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekedar hiburan. Sementara dalam lingkaran eksklusif kaum intelektual negeri ini, apa yang disebut puisi, cerita pendek atau novel barangkali hanya dianggap mainan saja” (Ajidarma; 2005;133).

Lewat kalimat itu saya hendak menyindir; Istri saya, Ipar saya, Mertua saya, Tetangga saya, Guru bahasa Indonesia saya mulai dari SD hingga SMA, Kawan bermain waktu SMA saya (Maponk, Edi ”Tansil”, Edi ”telah,” Dedet, Subahri ”Police,” Slamet ”day” ) bahkan juga ayah dan Ibu saya. Daripada marah-marah, bukankah cara ini cukup santun mengajak mereka mencintai sastra.

Memang terlepas dari semua itu secara pribadi saya menyukai kalimat tersebut. Karenanya saya kemudian mencoba menuliskannya lagi dalam bentuk cerpen. Saya garap cerpen itu sekitar 5 Jam. Sebuah proses yang cukup lama jika dibandingkan dengan menulis Artikel atau Esai. Jika saya menemukan Prolog yang menurut saya ”mantap” saya bisa menyelesaikan sebuah Artikel dan Esai dalam waktu satu jam saja. Bukan sebuah Prestasi menurut saya. Sebab Kuntowijoyo Bisa menyelesaikan 8 esai hanya dalam kurun waktu 3 jam saja. Dengan mesin ketik manual lagi.

Kembali ke Cerpen saya itu. Saya mencoba menggunakan gaya penuturan Cerpen ”Petai” dalam Kumpulan Cerpen Seno Gumira Ajidarma Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (Gramedia, 2003) yang memang menggunakan dialog dua orang untuk menyeret imajinasi pembaca dalam suasana cerpen itu. ’Petai’ bercerita tentang perselingkuhan. Hadiah Istimewa juga bercerita tentang perselingkuhan.

Salah satu kesulitan dalam membuat Cerpen bagi saya adalah membangun Lead. Berkali-kali saya ganti lead cerpen ini. Sampai akhirnya saya menemukan Cerpen di salah satu Majalah Horison edisi XXXX/2006 milik Asep Sopyan berjudul ”Menanti Sebuah Jawaban” yang kayaknya Leadnya cocok untuk Cerpen ”Hadiah Istimewa” saya tiru gaya bahasa leadnya, setelah itu saya mulai melaju sendiri dengan imajinasi saya sehingga lahirlah ”Hadiah Istimewa” itu dan Dimuat di SURYA, 20 April 2008.

Cerita dari Cerpen itu semua hanya fiksi belaka. Murni dari imajinasi saya. Toh, meskipun kemudian ada cerita serupa yang mirip, jujur saya tak hendak menceritakannya pada publik. Meski imajinasi, tanpa sengaja saya juga menyisipkan keluh kesah saya. Seperti dalam dialog;

”Ngomong-ngomong, kau yakin cerpen ini akan dimuat di koran?”

”Tidak!”

Ya. Setiap saya menulis saya tak pernah yakin tulisan saya akan dimuat di Koran A, B atau C. yang saya lakukan hanya menulis dan menuangkan pikiran. Setelah itu saya ikutkan dalam seleksi redaktur Koran. Kalau lolos saya akan merasa senang sekali. Saya bisa dapat honor. Tapi jika tidak, biasanya akan saya bongkar total tulisan itu, dibuatkan gaya penulisan lain dengan angle lain dan dikirimkan ke koran lain. Begitu terus. Sampai Tulisan itu Lolos.

Kalau tidak juga lolos? Tulisan itu akan saya simpan. Siapa tahu berguna bulan depan, tahun depan, atau lima tahun mendatang. Dan sebagaimana penulis pemula, folder di komputer saya memang paling banyak menyimpan tulisan yang tidak lolos daripada yang lolos. He....he....he...(berarti masih penulis kelas kacang mente)

Begitu juga ketika saya menuliskan Cerpen Mimesis (juga dimuat di SURYA media Maret 2005) Waktu itu saya hendak menyindir Prilaku Komsumtif Pacar saya yang benar-benar parah. Sekitar medio Juni 2005, pacar Saya (yang akhirnya kemudian saya nikahi juga) terserang jerawat hebat di seluruh wajah. Dia frustasi dan stress atas penyakit kulit yang dia derita itu.

Maklum wajah dan rambut bagi kaum perempuan dianggap paling berharga dibanding harta. Bukankah banyak orang yang menghambur-hamburkan uang hanya agar dapat memiliki wajah yang cantik??

Entah sudah berapa juta yang ia habiskan hanya untuk membeli obat jerawat dan krim pemulus wajah. Memang jerawatnya akhirnya bisa sembuh dan wajahnya kembali mulus. Tapi kecanduan terhadap kosmetik tak terbendung. Gajinya ia habiskan hanya untuk membeli krim malam, krim siang, pelembab dan pembersih wajah yang jika dikalkulasikan mencapai Rp. 600.000 per bulan. Bagi saya itu pemborosan.

Kebetulan saya pernah membaca buku kawan saya Nurani Soyomukti berjudul Pembunuhan yang selalu Gagal: Modernitas dan Krisis Rasionalitas menurut Daniel Bell karya Kris Budiman (Pustaka Pelajar; 1997). Dalam Buku itu Daniel Bell pernah mengatakan; Dalam pola konsumerisme yang dibentuk kapitalisme manusia tidak lagi mampu membedakan keinginan (need) dan kebutuhan (wants). Bagi perempuan misalnya, segala produk kosmetik dia beli seperti membeli beras untuk kebuhan sehari-hari. Kosmetik baginya telah menjadi gaya hidup yang secara fungsional mewakili status sosialnya. Seperangkat kosmetika tersebut digunakan untuk menyembunyikan cacat dan menutupi keburukan yang ada diwajahnya. Tentu saja dengan anggapan wanita yang tercantiklah yang akan mendapat perhatian khusus dalam komunitas manusia dimanapun.

Karenanya saya hendaknya menyampaikan lagi apa yang diucapkan Daniell Bell itu dalam bentuk cerpen. Dan Jadilah Mimesis. Dalam Cerpen ini saya langsung menggunakan Pacar saya itu sebagai salah satu tokoh. Sedangkan peristiwanya, lagi-lagi semuanya fiksi belaka.
Begitulah, hingga kini pun saya masih seorang penulis yang mencari bentuk. karenanya menempa diri dengan berbagai gaya penulisan bagi saya adalah sebuah liburan yang tak berujung.

Tidak ada komentar: