WAKTU

JEDA

Rabu, 04 Juni 2008

Hasrat Parpol dan Akseptabilitas Publik

Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, 03 Juni 2008

Hasrat Parpol & Akseptabilitas Publik
Oleh Edy Firmansyah



Akhirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan dari 64 partai politik (parpol) yang mengembalikan berkas pendaftaran calon peserta Pemilihan Umum (pemilu) 2009, 13 di antaranya tidak lolos verifikasi administrasi. Ini artinya sebanyak 35 parpol boleh mengikuti tahap selanjutnya, yakni verifikasi faktual. Sedangkan 16 parpol yang memiliki kursi di DPR langsung ditetapkan sebagai peserta pemilu.

Keputusan tersebut tentu saja membuat kecewa 13 parpol yang tidak lolos administrasi sebagai calon peserta pemilu 2009. Bahkan tak sedikit dari parpol yang tidak lolos menganggap proses verifikasi yang dilakukan KPU cacat dan tidak fair (Kompas, 1/6/08).

Kekecewaan itu memang dapat dimaklumi. Sudah banyak dana, waktu dan pikiran yang dikeluarkan partai-partai yang tidak lolos itu. Tapi apa boleh buat, kebebasan bersyarat —mendirikan partai—selalu mengandung konsekuensi; lolos atau tidak lolos. Dengan kata lain, kebebasan berpolitik bukanlah kekebebasan dalam pengertian yang filosofis.

Namun tulisan ini tidak akan terlalu jauh membahas mengenai kekecewaan parpol yang tidak lolos itu. Tulisan ini justru hendak menganalisa mengapa begitu banyaknya partai politik yang hendak terlibat menjadi peserta pemilu 2009? Meski bukan keputusan yang diambil KPU bukanlah keputusan final, lolosnya 51 parpol setidaknya menjadi isyarat mengenai hal itu. Apakah ini semakin menunjukkan betapa demokrasi semakin dimaknai secara obyektif dan cerdas oleh sebagian masyarakat, ataukah fenomena itu hanyalah bentuk dari ambisi politik kaum elite dan politisi busuk untuk terus menancapkan kuku kekuasaannya di negeri ini?

Peluang Demokrasi
Sulit untuk memberikan jawaban pasti untuk pertanyaan itu. Tapi setidaknya banyaknya parpol yang hendak bertarung dalam pemilu 2009 semakin membuka mata kita bahwa masalah di negeri ini, mulai dari kemiskinan, pengangguran, korupsi, nepotisme dan pelanggaran HAM ternyata tak hanya melulu urusan sosial, budaya dan agama saja. Politik juga punya andil untuk mengatasi itu semua. Tapi seberapa besar peluang demokrasi untuk mengakhiri krisis di negeri ini?

Ternyata dalam sejarahnya demokrasi selalu memiliki dua wajah. Cantik dan menyeramkan. Persis seperti judul sebuah film Beauty and The Beast. Cantik jika, demokrasi mampu menghasilkan kesejahteraan rakyat yang signifikan. Penelitian Przeworski dan Limongi (1997) terhadap ratusan rezim otoriter dan demokratis selama tahun 1950-1990 menunjukkan ada keterkaitan erat antara kesejahteraan dan usia demokrasi. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan, semakin lama demokrasi bertahan.

Sebaliknya, demokrasi bisa sangat menyeramkan. Semenjak kemunculan pertama kali kira-kira lima abad sebelum tarikh Masehi dalam masa Yunani Antik di Kota Athena, demokrasi sudah menimbulkan banyak keraguan dari berbagai kalangan. Dan salah satu di antara pihak yang ragu —bahkan cenderung menolak— akan proses demokrasi adalah Socrates.

Menurut Socrates, demokrasi memungkinkan suatu negara diperintah oleh orang-orang yang tidak prorakyat, hanya karena mendapat banyak dukungan. Hal ini karena para pemilih cenderung memberikan suaranya pada orang-orang yang disukai, bukan pada orang-orang yang kompeten. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan justru mengesampingkan nasib kaum marjinal ini.

Parahnya lagi, di negara-negara dengan jumlah penduduk miskin banyak, tingkat pendidikan rendah, angka buta aksara tinggi, institusi sosial-politik lemah, demokrasi gampang dimanipulasi oleh elite-elite politik oportunis dan pemimpin despotik yang menawarkan janji-janji populis agar bisa terpilih sebagai wakil rakyat di parlemen atau pejabat pemerintahan. Namun, setelah terpilih terbukalah kedok aslinya. Bahwa tujuan para elite politik dan para pemimpin despotik itu merebut kekuasaan tak lain hanya untuk kepentingan pribadi (memperluas kekuasaan, mencari keuntungan ekonomi, menumpuk materi). Dengan tanpa rasa iba, mereka meninggalkan rakyat yang terus berkubang dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Eskapisme Kemiskinan
Dengan kata lain, demokrasi tak ubahnya ”mesin pencetak uang” untuk membeli suara dalam pemilu sehingga proses manipulasi demokrasi berlangsung mengikuti kalender lima tahunan. Yang terjadi kemudian eskapisme kemiskinan yang berujung pada tindakan banal. Lihat saja, tindak kriminal, teror, penganiayaan, kekerasan dan konflik yang terus menjadi berita sehari-hari di negeri ini pemicu utamanya lebih disebabkan oleh kemiskinan. Dan itu akan terus berlangsung selama demokrasi belum mampu menghasilkan kesejahteraan rakyat yang signifikan. Bahkan tidak menutup kemungkinan demokrasi bisa meregang nyawa.

Tentu saja harapan kita semua adalah demokrasi dengan wajah cantik. Tiap pemilu, baik Pilkada, Pilgub hingga Pilpres yang berlangsung harus mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin yang memiliki integritas tinggi, memiliki dukungan yang luas dan berpihak pada rakyat. Sebab dengan pemimpin-pemimpin yang demikian, kesejahteraan yang merata tak lagi sekadar mimpi.

Adalah tugas aktivis, mahasiswa, LSM partai politik yang progresif dan memiliki wacana pembebasan rakyat untuk terus mendidik rakyat agar cerdas tidak hanya secara didaktis melainkan juga secara politik. Hanya dengan cerdas secara politik peluang para politisi busuk untuk memanipulasi demokrasi semikin tipis. Dan kesejahteraan di negeri ini bukan hanya mimpi. Semoga!

Tentang Penulis

Edy Firmansyah adalah peneliti pada Institute of Reasearch Social Politic and Democracy (Irsod), Alumnus FISIP Universitas Jember.

Tidak ada komentar: