WAKTU

JEDA

Sabtu, 16 Agustus 2008

Sudahkah Indonesia Mencapai Batas Kemerdekaannya?

Dimuat di SURYA, 16 Agustus 2008

Sudahkah Indonesia Mencapai Batas Kemerdekaannya?
Oleh: Edy Firmansyah


Tan Malaka dalam karyanya ”Merdeka 100 persen” menyatakan bahwa merdeka harus ada batasnya. Sebab jika kebebasan yang jadi acuan kemerdekaan, maka lambat laun negara tersebut akan berubah menjadi fasis. Yang menganggap dirinya paring kuat dan benar, sehingga berhak menjajah bangsa lain.

Batas kemerdekaan itu adalah batas keluar dan batas kedalam. Batas keluar adalah tiap-tiap negara merdeka harus mengakui kemerdekaan tiap-tiap negara merdeka lain, besar atau kecil. Tegasnya, kemerdekaan satu negara terletak pula pada kemerdekaan negara lain. Sedangkan batas ke dalam ialah tiap-tiap orang dalam negara yang merdeka mesti menghargai kemerdekaan tiap-tiap warga lain. Sehingga kemerdekaan manusia bisa mengandung ’perdamaian’ buat seluruh manusia. Perdamaian itulah dasar kemakmuran. Dan kemakmuran merupakan esensi dari kemerdekaan.

Kedua batas tersebut harus dipenuhi setiap bangsa jika ingin mendapatkan kemerdekaannya yang sejati. Nah, pertanyaan yang pantas diajukan untuk Indonesia adalah, sudahkah batas dalam dan batas luar kemerdekaan itu diraih oleh negeri ini yang sudah 63 tahun merayakan kemerdekaannya? Terutama ketika kita bicara mengenai kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat miskin yang notabene adalah masyarakat mayoritas di negeri ini.

Benar memang kalau kita kita memaknai batas luar kemerdekaan Indonesia sebagai kemenangan pesatuan bangsa dan terbebasnya Indonesia dari dominasi dan eksploitasi bangsa asing tentu saja semua sepakat bahwa kini kita merdeka.
Namun ketika kita disodorkan dialektika soal kemerdekaan dari dominasi dan eksploitasi model baru dalam konteks perkembangan global, kemandirian Indonesia sebagai bangsa tentu saja patut digugat. Pasalnya, arus globalisasi yang menjadi tren abad ke-20 dimaknai oleh banyak kalangan sebagai bentuk penjajahan baru yang tak kalah garangnya. Tujuannya tetap sama, yakni eksploitasi dengan dampak yang nyaris sama, yakni kemelaratan.
Terkait dengan hal itu, tak heran ketika Kompas menggelar jajak pendapat menyambut hari jadi ke-63 Indonesia terhadap 863 pemilik telepon di sepuluh kota di Indonesia, sebanyak enam dari sepuluh (60,1 persen) responden menyatakan belum merdeka dari tekanan bangsa lain. Artinya, ketergantungan Indonesia pada investor asing dan pinjaman-pinjaman dari IMF dengan syrakat-syarat yang justru merugikan bangsa sebenarnya merupakan bentuk lain dari penjajahan model baru.
Bagaimana dengan batas dalam kemerdekaan kita? Tak jauh beda. kehidupan masyarakat miskin kian hari kian tertekan. Belum selesai penderitaan mereka akibat melonjaknya harga minyak goreng dan beras beberapa waktu lalu, kini mereka dihadapkan dengan melambungnya harga minyak tanah akibat langkanya minyak tanah di pasaran. Di beberapa daerah di Indonesia masyarakat harus rela antre untuk mendapatkan minyak tanah. Kondisi ini disinyalir akibat diterapkannya konversi minyak tanah ke gas oleh pemerintah. Namun ketika minyak tanah telah berkurang dipasaran, masyarakat justru dibuat kelimpungan dengan langkanya gas di pasaran.
Belum lagi maraknya penggusuran PKL, anak jalanan dan pemulung di pusat-pusat kota oleh aparat. Parahnya lagi, tindakan tersebut tidak diimbangi dengan solusi yang tepat. Akibatnya pengangguran terus berlipat-lipat.
Bagaimana dengan pendidikan? Tak jauh beda. Pendidikan yang sejatinya hendak dijadikan pintu keluar dari lembah kemiskinan bagi masyarakat kelas bawah (terutama agar anak-anaknya mereka tidak lagi terjerembab dalam jurang kemiskinan) justru terkunci rapat. Pasalnya, biaya sekolah kian hari kian mahal dan nyaris tak terjangkau masyarakat kelas bawah. Akibatnya angka putus sekolah, angka buta huruf terus meningkat.
Parahnya lagi, pendidikan (baca: sekolah) yang sejatinya menjadi tempat mengasah kreativitas dan mengembangkan imajinasi justru dikebiri hanya sekedar transfer ilmu belaka. Tak ada ruang sedikitpun bagi imajinasi. Murid hanya dianggap kendi kosong yang bisa diisi apa saja oleh guru. Pengajar masih sering menggunakan system pengajaran gaya bank; Yakni siswa dianggap tidak bisa apa-apa dan guru sebagai satu-satunya sumber yang mencekoki siswa. Sehingga siswa lebih banyak diam (pola hamba-tuan). Siswa tidak dibantu mengembangkan imajinasi dan bernalar jadi kritis.
Padahal bangunan kebangsaan kita terdiri atas varian-varian kebudayaan (subkultur) yang majemuk. Dan bangunan tersebut bisa berdiri ditengah kemajemukan karena, mengutip Benedict Anderson, merupakan komunitas terbayang (Imagined Communities) yang terbentuk atas dasar pembayangan anggota-anggotanya mengenai kehidupan dan cita-cita bersama.
Kondisi ini semakin diperparah dengan prilaku korupsi para pejabat negara yang kian hari kian menjadi-jadi. Seakan-akan mereka sudah tidak peduli lagi dengan nasib jutaan masyarakat miskin di negeri ini.

Padahal sebuah bangsa yang merdeka haruslah mematuhi undang-undang dasar yang menjadi payung hukum bagi sebuah negara untuk menjalankan roda pemerintahannya menuju kemakmuran. Ironisnya undang-undang hanya macan kertas di negeri ini. Benar memang ditegaskan bahwa segala sumber daya alam diolah untuk kemakmuran rakyat, anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, dan pendidikan menjadi hak setiap warga negara. Namun semua itu berbanding 180 derajat dalam realitas.
Jadi tak salah jika kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun sekali hanyalah kemerdekaan lahiriah. Yakni perayaan proklamasi kemerdekaan semata. Namun tidak bagi perayaan kemerdekaan batiniah. Sebab hak batiniah warga mayoritas negeri ini seperti hak atas keperluan hidup seperti;makanan, pakaian, perumahan penghasilan, pendidikan dan sebagainya justru tergerus hingga ketitik nadir. Bahkan ditengah semarak lomba-lomba dan acara seremonial menyambut hari kemerdekaaan.
Karena itu penting untuk kembali mereinterpetasikan lagi makna kemerdekaan yang kita yakini. Sebab hal itu menyangkut sikap kita ke depan terhadap batas terdalam dari esensi kemerdekaan. Dirgahayu Indonesia!***



TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.


2 komentar:

junianto setyadi mengatakan...

Terimakasih atas kunjungan dan komentar Anda di blog sayadi http://juniantosetyadi.dagdigdug.com/. Sedikit koreksi, nama saya bukan Yunan tapi Junianto Setyadi.

edyfirmansyah mengatakan...

makasih sudah mampir, Om Jun. makasih juga koreksinya. ini keteledoran saya.