WAKTU

JEDA

Selasa, 26 Agustus 2008

Demokrasi Pasar dan Krisis Kesejahteraan

Dimuat di BALI POST, 26 Agustus 2008

Demokrasi Pasar dan Krisis Kesejahteraan
Oleh: Edy Firmansyah

Setelah melewati seabad Kebangkitan nasional, 10 tahun Reformasi dan 63 tahun kemerdekaan, Indonesia seharusnya menjadi bangsa yang semakin kokoh dan sejahtera. Namun ironisnya sampai saat ini negeri ini belum mampu memenuhi kewajibannya untuk mensejahterakan rakyat.


Buktinya, nasib rakyat tidak berubah. Angka kemiskinan di Indonesia belum membaik. Hingga Juni 2007, angka kemiskinan masih berada pada angka 37,17 juta atau 17,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu angka pengangguran terbuka hingga Juni 2007 berkisar pada angka 10,6 juta orang (9,8 persen). Dan angka ini relatif belum banyak berubah dari angka tahun 2005.

Kondisi diatas semakin diperparah dengan dinaikkannya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 28,6 persen. Pasalnya, harga seluruh komoditas (yang sebelumnya telah merambat naik) akan kembali melonjak. Akibatnya transaksi antarkota, antar propinsi dan antarpulau dipastikan turun drastis, bahkan berhenti total. Sebab harga barang dagangan tak akan mampu bersaing karena harus menyesuaikan dengan biaya transportasi yang juga akan naik.

Akibatnya banyak usaha yang gulung tikar. Sehingga PHK pekerja menjadi peristiwa yang tak terelakkan. Angka pengangguran juga melonjak drastis. Imbasnya tentu saja jumlah masyarakat miskin akan semakin meningkat. Berdasarkan perkiraan Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi, kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebsar 8,55 persen atau sekitar 15, juta jiwa. Padahal data badan Pusat Statistik mencatat jumlah orang miskin se-Indonesia adalah 16,85 persen dari total populasi atau sekitar 36,8 juta jiwa.

Mempolitisir Demokrasi
Kondisi diatas jelas sangat berbahaya. Sebab di negara-negara dengan jumlah penduduk miskin miskin banyak, tingkat pendidikan rendah, angka buta aksara tinggi, institusi sosial-politik lemah, demokrasi gampang dimanipulasi oleh elite-elite politik oportunis dan pemimpin despotik yang menawarkan janji-janji populis agar bisa terpilih sebagai wakil rakyat di parlemen atau pejabat pemerintahan. Namun, setelah terpilih terbukalah kedok aslinya. Bahwa tujuan para elite politik dan para pemimpin despotik itu merebut kekuasaan tak lain hanya untuk kepentingan pribadi(memperluas kekuasaan, mencari keuntungan ekonomi, menumpuk materi). Dengan tanpa rasa iba, mereka meninggalkan rakyat yang terus berkubang dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Dengan kata lain, demokrasi tak ubahnya ’mesin pencetak uang’ untuk membeli suara dalam pemilu sehingga proses manipulasi demokrasi berlangsung siklikal mengikuti kalender lima tahunan. Yang terjadi kemudian eskapisme kemiskinan yang berujung pada tindakan banalitas massa. Lihat saja, tindak kriminal, teror, penganiayaan, kekerasan dan konflik yang terus menjadi berita sehari-hari di negeri ini pemicu utamanya lebih disebabkan oleh kemiskinan. Dan itu akan terus berlangsung selama demokrasi belum mampu menghasilkan kesejahteraan rakyat yang signifikan. Bahkan tidak menutup kemungkinan demokrasi bisa meregang nyawa.

Berikutnya akan lahir lahirnya para elite politik, birokrat dan intelektual yang menghamba pada pasar. Mereka berlomba-lomba untuk menguasai segala sumber daya kapital, membangun jaringan untuk kepentingan pasar dan mengambil kebijakan yang melancarkan proses akumulasi modal tanpa peduli dampak itu semua bagi masyarakat miskin.

Dan ketika para elite politik ’pasar’ ini masuk dalam kancah demokrasi, maka yang diterapkan adalah demokrasi dagang. Pembelian suara seakan sudah menjadi fenomena legal dikalangan masyarakat miskin yang buta politik. Demokrasi tak lagi murni dari aspirasi rakyat, melainkan dikendalikan oleh mereka yang memegang uang. Dan sebenarnya kita tengah menyaksikan kematian demokrasi. Dan kesejahteraan hanya akan jadi mimpi.

Menyelamatkan Demokrasi
Karena itu agar ramalan diatas tidak menjadi kenyataan dalam waktu dekat, penting kiranya untuk segera menyelamatkan demokrasi. Dan satu-satu cara yang paling memungkinkan adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat. Penelitian Przeworski dan Limongi (1997) terhadap ratusan rezim otoriter dan demokratis selama tahun 1950-1990 menunjukkan ada keterkaitan erat antara kesejahteraan dan usia demokrasi. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan, semakin lama demokrasi bertahan.

Hanya saja yang menjadi masalah adalah tiap berbicara kesejahteraan maka wajah para intektual dan ekonom akan langsung merujuk pada sistem ekonomi pasar (baca: kapitalisme) sebagai pintu gerbang menuju kesejahteraan. Seakan-akan itulah jalan tunggal menuju langgengnya demokrasi dan terwujudnya kesejahteraan. Pasalnya, sistem ekonomi pasar seiring sejalan dengan kemajuan demokrasi. Sebagaimana yang diutarakan Joseph Siegel (2007) bahwa ”demokrasi di negara-negara industri dikenal sebagai yang paling dinamis, inovatif dan ekonomi yang paling produktif di dunia; demokrasi ini telah memungkinkan negara-negara maju mengakumulasi dan mempertahankan perbaikan kualitas hidup warga negara mereka selama beberapa generasi.” padahal sistem ini telah gagal dalam upaya memberikan kesejahteraan di banyak negara dunia ketiga. Yang lahir justru membengkaknya kemiskinan, meningkatnya jumlah kejahatan, meningkatnya jumlah pengangguran, meningkatnya utang negara, dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.

Untuk itu perlu kiranya menerapkan sistem ekonomi alternatif sebagai jawaban atas kebuntuan sistem ekonomi konvensional yang sudah lama kita kenal tapi terbukti gagal menegakkan demokrasi dan mewujudkan kesejahteraan. Sistem alternatif itu bisa diambil dari kebiasaan masyarakat luas, atau digali dari tradisi-tradisi lokal. Dengan begitu, kita tak lagi memnghamba pada sistem asing, melainkan membangun negeri dari keringat sendiri. ***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy), Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: