WAKTU

JEDA

Selasa, 27 Januari 2009

Agresi Militer Israel dan Kapitalisme Global

Dimuat di RADAR SURABAYA, 17 Januari 2009


Agresi Militer Israel dan Kapitalisme Global
Oleh: Edy Firmansyah


Agresi militer Israel ke Palestina belum ada tanda-tanda bakal berhenti. Bahkan Israel tak menggubris resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1860 mengenai konflik di jalur Gaza. Israel masih terus menghujani Jalur Gaza dengan Bom dan Mortir. Akibat serangan tersebut, setidaknya sekitar 800 korban tewas sejak penyerangan yang dilakukan tanggal 27 Desember lalu.

Anehnya, presiden Amerika Serikat George Bush bungkam tak bersuara. Presiden Amerika terpilih Barack Obama setali tiga uang. Diam seribu bahasa. Meskipun kemudian Obama berkomentar, komentar tersebut hanya sekedar ungkapan keprihatinan belaka. Amerika yang menganggap dirinya sebagai polisi dunia dan negara anti terorisme malah tutup mata terhadap aksi terorisme Israel. Bahkan dalam pengambilan keputusan terkait Resolusi PBB Nomor 1860 tersebut, Amerika justru memilih abstain. Perubahan inikah yang hendak diberikan pada masyarakat Palestina? Ada apa dengan Amerika?

Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan sikap Amerika Serikat tersebut. Sebagaimana yang diutarakan Almarhum Mochtar Lubis, salah seorang sastrawan Indonesia, bahwa ”Siapapun yang terpilih sebagai presiden, entah dari Partai Republik mapun Demokrat, tak akan mengubah watak Amerika. Jika Republik adalah perampok, maka Demokrat adalah perompak,”

Pernyataan Mochtar Lubis tentu saja bukan tanpa alasan. Bukan rahasia umum kalau Amerika membangun fondasi negaranya dengan ideologi kapitalisme. Kapitalisme selalu bertalian erat dengan imperialisme. Menurut Lenin, imperialisme adalah tahapan terkini yang tak terelakkan dalam logika perkembangan kapitalisme. Dengan kata lain, imperialisme adalah jawaban terhadap krisis periodik yang dialami kapitalisme. Kita tahu bajwa Amerika saat ini tengah mengalami krisis ekonomi yang akut. Krisis kapitalisme terjadi selain karena pertarungan antar perusahaan-perusahaan multinasional juga karena penumpukan barang produksi. Untuk keluar dari krisis periodiknya, kapitalisme harus keluar untuk mencari pasar baru, mengekspansi batas-batas negara-bangsa untuk mencari lahan, tenaga kerja dan bahan-bahan mentah untuk produksi kapitalis yang lebih murah. ( Yanuardy dalam Chomsky, hal. xiii).

Imperialisme kerap dilakukan dengan dua metode, yakni lunak dan keras. Imperialisme lunak dilakukan melalui kebijakan-kebijakan utang melalui lembaga keuangan internasional. Dengan dalih menyelamatkan kehidupan dunia ketiga, lembaga keuangan internasional memberikan suntikan pinjaman lunak. Namun dengan konsekuensi negara penerima utang melakukan privatisasi, denasionalisasi dan liberalisasi pasar yang tujuannya tak lain untuk memberi jalan lempang bagi negara imperial melakukan penetrasi dan memasarkan produksi.

Mencoba menolak tawaran kebijakan neoliberal AS berarti ’membangkang.’ Pada para pembangkang ini AS akan melancarkan apa yang disebut dengan perang teror.

Perang teror yang dimaksud adalah pemutarbalikan fakta atau yang dikenal dengan Rekayasa sejarah (historical Engineering) bahwa orang-orang (baca: pemimpin) negara yang menentang AS dianggap menggunakan sumber dayanya untuk sektor sosial yang dianggap bertentangan dengan kemanusiaan. Barangkali Kuba layak dijadikan contoh kasus. Penolakan Kuba pada kebijakan AS berakhir dengan embargo dengan tujuan masyarakat Kuba menderita dan kemudian mengemis-ngemis minta bantuan pada AS. Namun Kuba bergeming. Dibawah kepemimpinan Kastro Kuba menjadi negara yang paling menentang AS. Dan kini semangat anti-AS mulai diikuti oleh negara-negara tetangganya seperti Bolivia dan Venezuela.

Sementara imperialisme garis keras dilakukan dengan agresi militer. Namun AS tidak melakukan sendiri angresi militernya, melainkan membentuk tentara-tentara bayaran untuk melakukan teror pada negara-negara yang akan dicaploknya. Tujuannya selain perebutan wilayah untuk kelancaran jalur produksi, juga untuk memasarkan senjata-senjata pembunuh massal. Agresi militer di Palestina, AS menggunakan Israel sebagai kepanjangan tangannya. Sementara senjata-senjata baik untuk Israel maupun Hamas dipasok oleh Amerika.

Sejatinya kedua bentuk imperialisme tersebut adalah bentuk penghancuran terhadap hak-hak sebuah bangsa. Tapi mengapa suara-suara penentang atas tindakan tersebut nyaris tak terdengar? Toh meskipun ada justru kerap tidak digubris. Pertama, AS menggunakan media sebagai alat untuk melegitimasi semua kebijakan yang diambilnya. Bahkan lewat media pula rekayasa sejarah tersebut dimainkan. Misalnya, ketika dunia mengutuk agresi militer Israel ke Palestina di Jalur Gaza, melalui media massa Israel justru menuding tewasnya ratusan warga sipil (termasuk perempuan dan anak-anak) disebabkan oleh tentara Hamas yang sengaja menggunakan warga sipil sebagai tameng. Seakan-akan Hamas yang menjadi biang keladi pecahnya Agresi Militer tersebut. (Chomsky, ibid)

Berikutnya, menggunakan pendidikan untuk menanamkan hegemoni dan ideologi kelasnya pada seluruh warga negaranya (termasuk juga warga negara dunia ketiga dengan bantuan pendidikan plus kurikulumnya) sehingga nilai-nilai, pandangan hidup dan sistem kapitalis diterima dengan wajar dan normal. Hal itu dilakukan agar tidak ada perlawanan dari kalangan terdidik AS atas berbagai kebijakan yang anti-humanisme yang dilancarkan di seluruh dunia. Dan cara tersebut terbukti efektif. Buktinya, kalangan terdidik justru berbondong-bondong mendukung rejim kelas berkuasa yang secara rutin menyerukan demokrasi, multikulturalisme, dan HAM, tetapi bungkam seribu bahasa ketika kelas berkuasa melakukan pelanggaran HAM dan demokrasi.

Perang tidak pernah menyelesaikan masalah. Perang selalu menimbulkan dendam dan kebencian yang panjang dan menyakitkan. Tapi perlawanan seringkali disebabkan karena penindasan yang sedemikian akut. Terlepas dari hal itu, untuk saat ini penting untuk segera mengibarkan bendera putih pada kedua belah pihak (baik Hamas maupun Israel) harus segera dilakukan. PBB semestinya tidak hanya memberikan kecaman semata, melainkan harus segara melakukan tindakan tegas terhadap Israel. Penting mengirimkan pasukan perdamaian dan memaksa kedua belah pihak (Hamas dan Israel) untuk duduk satu meja membicarakan perdamaian sebagai agenda penting membangun peradaban dunia.


TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus FISIPOL Universitas Jember.

Tidak ada komentar: