WAKTU

JEDA

Selasa, 27 Januari 2009

Kekerasan di Sekolah dan Demonstruksi Profesi Guru

Dimuat di SURYA, ....... Januari 2009


Kekerasan di Sekolah dan Dekonstruksi Profesi Guru
Oleh: Edy Firmansyah


Beredarnya rekaman video ponsel kekerasan seorang guru kesenian di salah satu SMP Negeri di Jombang terhadap muridnya semakin menambah panjang daftar kekerasan guru terhadap murid di Jawa Timur. Beberapa waktu lalu, di Jember, kita sempat dikejutkan oleh tindak kekerasan seorang kepala sekolah terhadap muridnya. Sang kepala sekolah tega memukuli 5 muridnya hingga mengalami luka agak serius.

Daftar tersebut bisa saja bertambah panjang kalau kita mau memasukkan perlakukan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasional.

Padahal dalam salah satu rumusan kode etik guru yang dirumuskan PGRI pada kongresnya yang ke-13 pada tahun 1973 disebutkan bahwa guru secara perorangan atau bersama-sama secara kontinyu berusaha menciptakan, memelihara dan mengembangkan suasana sekolah yang menyenangkan dan demokratis sebagai lingkungan belajar yang efektif.

Dengan lain kata, guru yang sejatinya adalah guru yang mampu membawa kemaslahatan terhadap peserta didik dan mampu berperan sebagai menjadi kakak, sahabat serta orang tua yang penuh kelembutan dan kasih sayang sehingga dapat membantu perkembangan peserta didik secara utuh dan mandiri. (Mangunwijaya, 2004). Bukan sebaliknya, menjadi algojo yang berhak menentukan hitam putih peserta didik dengan memarginalkan nilai-nilai demokratis dan kemanusiaan lewat tindak kekerasan.

Yang menjadi pertanyaan ada apa dengan guru di Jawa Timur? Mengapa cara-cara kekerasan masih saja terjadi di era reformasi ini? Menurut John Dewey, guna memahami tindakan guru pada masa kini terutama yang berhubungan dengan pendidikan, maka pengalaman-pengalaman tertentu di masa sebelumnya khususnya yang terkait dengan proses pendidikan di sekolahnya hendaknya dijadikan sebuah landasan analisa.

Hampir sebagian besar guru-guru kita yang saat ini mengajar adalah hasil didikan orde baru. Dan bukan rahasia lagi kalau lebih dari 30 tahun orde baru menerapkan suatu sistem pengajaran dan pendidikan pada masyarakat melalui brainwashing (cuci otak) yang selaras dengan kepentingan politiknya. Langkah itu dilakukan melalui kurikulum yang terselubung dari sistem sekolah mulai dari TK (Taman kanak-kanak) sampai Perguruan Tinggi, dengan sistem militer, sistem taat, hafalan dan instruksi. Alhasil banyak out put pendidikan di masa orba sangat gagap dan reduksionis atau mengalami alienasi nilai-nilai kemanusiaan. Makanya tak heran jika para lulusan pendidikan orde baru kerap mengabsahkan cara-cara sebagai jalan menumbuhkan sikap kedisiplinan.

Ironisnya, masyarakat (yang notabene juga merupakan produk orde baru) seringkali menganggap wajar-wajar saja tindakan semacam itu. Mereka menilai tindakan kekerasan guru merupakan salah satu bentuk pelaksanaan fungsi sekolah, yakni penerapan punishment bagi murid yang melanggar.

Padahal dalam banyak kasus tindakan kekerasan guru terhadap murid justru menimbulkan efek desktruktif yang membahayakan. Bukan saja menyebabkan jiwa peserta didik tertekan, depresi dan kerdil, melainkan—meminjam analisa Freud— kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid akan terekam dalam alam bawah sadarnya. Dan sesekali bisa muncul dengan tindakan destruktif yang jauh lebih hebat dari apa yang dialaminya. Terungkapnya kasus kekerasan di STPDN, tawuran antar pelajar, maraknya bunuh diri pelajar adalah sedikit contoh dari efek domino kekerasan di sekolah.

Lain dari pada itu, hukuman dengan kekerasan tidak akan membuat siswa jera, tetapi malah menumbuhkan perasaan benci dan tidak hormat kepada guru yang bersangkutan. Dan jika kondisi ini dibiarkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi gelombang ketidakpercayaan publik pada sekolah. Karena sekolah semakin kehilangan roh sejatinya sebagai sarana untuk membebaskan diri dari kebodohan, keterbelengguan, kemiskinan, penderitaan, penipuan serta penindasan.

Kondisi diatas semakin diperparah dengan melencengnya paradigma guru saat ini. Saat ini guru tidak lagi dinilai sebagai sebuah panggilangan kemanusiaan, melainkan dianggap sebagai jalan lempang mencari pekerjaan. Artinya, banyak orang menjadi guru karena faktor ekonomi semata. Padahal dalam ekonomi berlaku prinsip, mencari laba sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Dalam pendidikan falsafah dasar ekonomi itu nampak pada proses belajar mengajar. Demi tuntutan ekonomis, para guru mengajar asal-asalan. Yang penting mengajar dan dapat gaji. Mereka tak akan belajar dan menerapkan andragogis pendidikan (kemampuan bidang psikologis, psikiatri dan sosiologis) atau menerapkan metode pengajaran yang sesuai dengan kharakteristik siswanya. Cukuplah mengajar dengan gaya bank; guru serba tahu-murid tidak tahu apa-apa, guru sebagai tuan dan murid dianggap hamba.

Benar memang saat ini telah diberlakukan apa yang disebut sertifikasi guru untuk meningkatkan kualitas guru. Tetapi dalam manifestasinya sertifikasi justru jauh panggang daripada api. Yang terjadi adalah rekayasa portofolio, jual beli sertifikat seminar yang kesemuanya bermuara pada ambisi ekonomi belaka.

Karena itu kekerasan tidak akan berakhir jika sejarah kelam pendidikan guru di masa lalu dan orientasi guru tidak dibongkar. Untuk itu penting kiranya kiranya membuka sekolah antikekerasan bagi calon guru yang akan mengajar. Sekolah tersebut berisi kurikulum kesenian, sastra, psikologi dan humor. Para pengajarnya haruslah para pakar psikologi, kesenian dan sastra. Dengan demikian para guru bisa mendapatkan roh sejati dari memilih karir sebagai guru. Dengan dekonstruksi semacam itu sifat banal yang terekam akibat hasil didikan orde baru bisa berubah menjadi sikap santun dan berprikemanusiaan. Dengan semakin tebalnya jiwa kemanusiaan, maka jiwa-jiwa kekerasan yang ada dalam diri para guru akan tenggelam dengan sendirinya.


TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Direktur People’s Education Care Institute (PECI) Surabaya . Peneliti pada IRSOD ( Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).

Tidak ada komentar: