WAKTU

JEDA

Kamis, 16 Agustus 2012

Mengabdikan Alam Melalui Puisi


Mengabdikan Alam Melalui Puisi*)
Oleh: Imalah Hasanah
(Alumni Sastra Arab UIN Malang)

Sebuah novel, Ciuman di Bawah Hujan ( Lan Fang ) sepintas dari sisi judul memberi kesan seolah-olah novel ini bercerita soal romantisme. Seperti novel ngepop, maka bila ada novel sebentuk itu seakan-akan berkisah tentang percintaan yang melibatkan dua sejoli. Jika yang diharapkan pembaca dari novel Lan Fang adalah plot romantis yang bertutur tentang cinta dan pengorbanan, pembaca pasti kecewa. Sebab novel berjudul di atas tidak berkisah tentang cinta dan romantisme melainkan cerita tentang pergolakan politik terutama soal pemilu dan pemilukada hingga pilpres.

Penyair muda asal Madura Edy Firmansyah dalam kumpulan puisi bertajuk Ciuman Pertama seakan-akan berkisah tentang kissing an sich. Padahal apa yang dilakukan Edy dalam antologinya kali ini adalah nasionalisasi diksi, dari Madura untuk Indonesia. Ini dibuktikan dengan kondisi alam Madura yang dilakukan Edy ke dalam puisi.

Sekedar menyebut contoh, dalam puisi Ciuman Malam Gerimis (Hal. 46) Edy memasukkan Kecamatan Torjun (Sampang), Gunung Gegger (Bangkalan), hutan jati dan penumpang yang turun dari bus (ekonomi) melalui kaca di sebelah kiri kanan bus. Selain itu, diksi ciuman berikutnya dapat dibaca dalam judul yang lain, Tentang Ciuman (halaman 53).

Sebagai warga Pamekasan, Edy menemukan sesuatu yang unik, yang pertama meski adegan ciuman tidak sekali saja dan berlangsung disitu. Meski sebagai kota gerbang salam, di Pamekasan bukan tidak terjadi sepasang remaja pacaran dan berciuman di pinggir jalan. Di sinilah ada kritik bahwa dalam sekularisme memang tidak ada larangan dalam ciuman yang dilakukan sukarela. Yang dikritik Edy justru bercinta yang seharusnya seperti penyair menulis puisi, butuh ruang privacy dan bukan di tempat umum di mana setiap mata yang lewat jadi malu karena melihat adegan seperti itu. Ini Indonesia.

Kesembilan puluh tujuh puisi dalam Ciuman Pertama ini semua bernada naturalis, alami. Edy, sastrawan yang juga pernah menjadi wartawan ini ingin menampilkan dan mengatakan pada pembaca bahwa alam itu indah. Bumi merupakan inspirasi yang paling banyak dihilangkan dari ruang imajinasi. Padahal dengan alam, bumi dan isinya, seseorang bisa kreatif, tidak saja untuk sastra, tetapi dapat dijadikan alat untuk mewujudkan sesuatu yang lain melalui kreativitas dan inovasi-kreatif.

Puisi sesungguhnya sesuatu yang sederhana. Ini seperti cinta yang dipuisikan dengan sangat indah oleh Sapardi Djoko Damono; Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Apa yang ditulis Edy Firmansyah dalam Ciuman Pertama ini tak lebih dari sesuatu yang sederhana. Ia berbicara tentang alam, cinta, kekerasan dan sosialisme dalam sastra. Di sisi lain, keterlibatan sastra dalam ideologi suatu komunitas mengakibatkan sastra mempunyai keberpihakan atau terlibat secara langsung dalam dinamika masyarakat. Dengan demikian, sastra menggambarkan alam sosial masyarakat dan media propaganda perjuangan mewujudkan gagasan atau ide.

Pergumulan sastra-sosial mengakibatkan adanya pertarungan alamiah yang berpijak kepada sesuatu yang bersifat naturalistik. Di sinilah satra (puisi) tidak hadir dalam rahim sosial yang kosong. Tetapi kelahiran sastra penuh dengan makna. Plekhanov (Eagleton, 2002;7) mengurai penciptaan karya yang tidak hadir secara misterius. Karya-karya tersebut adalah bentuk persepsi, cara khusus dalam memandang dunia, dan juga memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi mentalitas suatu zaman.

Sastra dan ideologi suatu masyarakat tak luput terefleksikan dalam karya sastra karena hasil gesekan sastrawan dengan dunia realitas sosialnya. Keterkaitan antara sastra dan ideologi suatu zaman, seperti yang diungkap Plekhanov adalah produk dari hubungan sosial yang kongkret yang di dalamnya manusia memasuki ruang dan waktu tertentu.

Antologi puisi Ciuman Pertama ini merupakan refleksi untuk memberi pencerahan bahwa yang sederhana ternyata jauh lebih fantastis, imajinatif, dan berasa. Ini ibarat seseorang yang mandi tetapi menikmati setiap aliran air yang menyentuh tubuh. Mandi dengan hanya membasahi diri lalu bersabun bahkan bershampoo, tak lebih dari pengulangan dan rutinitas. Namun bagaimana indahnya mandi dan merasakan sentuhan air yang pelan-pelan membasahi tubuh, hasilnya akan berbeda.

Begitu juga, memandangi alam Madura yang sudah seperti ini adanya, terasa begitu-begitu saja. Namun melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda dan merasakannya, lahirnya puisi, lahirnya Ciuman Pertama (*)

*) Resensi ini dimuat di Majalah SULUH MHSA Edisi 14, Agustus-September 2012 Hal. 28-29

Tentang Peresensi
Imalah Hasanah adalah Alumni Sastra Arab Universitas Islam Negeri ( UIN) Malang.

Sumber tulisan: http://issuu.com/suluhmhsa/docs/suluh_mhsa_xiv?mode=window&pageNumber=14

---

Berminat dengan buku puisi "Ciuman Pertama"? Murah saja. Hanya Rp. 39.000,- (gratis ongkir se-Indonesia). silahkan kontak email stapers2002@yahoo.com jika berminat. Atau hubungi 081937381133 via SMS.

Tidak ada komentar: