WAKTU

JEDA

Rabu, 28 November 2007

Mudik, Arus Balik dan Jati Diri Bangsa

Mudik, Arus Balik dan Jati Diri Bangsa
Oleh: Edy Firmansyah

(Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social,Politic and Democracy ))
Artikel ini Pernah Dimuat di HARIAN SEPUTAR INDONESIA (SINDO) Edisi SORE, 13 Oktober 2007

Mudik adalah fenomena paling khas menjelang perayaan Idul Fitri selain antrean panjang kaum miskin untuk mendapatkan zakat Mal dari kelas berpunya serta maraknya masyarakat menggadaikan barang di kantor pegadaian.

Arus mudik hanya terjadi di Indonesia, khususnya pulau Jawa. Tak pernah kita dengar berita mudik masyarakat Timur Tengah (dimana Islam berasal), misalnya Arab Saudi, Mesir, Sudan dan sebagainya ketika Idul Fitri menjelang. Juga jarang sekali media massa menurunkan berita tentang arus mudik ke Sulawesi, ke Bali, ke Kupang. Yang terjadi setiap tahun adalah gelombang mudik dan arus balik ke berbagai kota di Pulau Jawa, dari berbagai kota besar ke kota-kota kecil, dan selanjutnya besambung ke desa-desa.

Pelakunya, siapa lagi kalau bukan masyarakat urban. Angkutan transportasi seperti bus, kereta api, dan kapal laut selalu penuh sesak oleh rakyat kecil, pembantu rumah tangga, buruh-buruh, pedagang kecil dan semacamnya. Benar memang ada juga ‘kelas atas’ yang turut larut dalam arus mudik. Tapi tak seheboh mudik masyarakat urban.

Dalam masyarakat Madura tradisi mudik lebih dikenal dengan istilah Toron (baca: turun). Di manapun orang Madura merantau, entah di pulau-pulau kecil atau besar, entah di kota maupun di pedalaman, tiap pulang ke kampung halaman, bahasa yang digunakan adalah Toron. Berbeda dengan sebutan tradisi mudik di masyarakat Jawa dan Sunda. Pulang ke kampung halaman bagi masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah Munggah (baca: naik).

Meski sebutan istilah mudik berbeda bahkan bertentangan antara masyarakat satu dengan yang lain, mudik sebenarnya memiliki esensi yang sama. Di dalam tradisi mudik, tercermin suatu makna perennial bahwa setiap orang menghendaki atau mengharapkan kembalinya diri ke tempat asal-muasal. Tidaklah heran jika pemudik rela menggadaikan barang, berhutang kesana kemari kemudian menempuh perjalanan panjang meskipun berjarak ratusan kilometer hanya untuk bertemu dengan sanak famili barang sehari dua hari di hari lebaran.

Yang jadi pertanyaan mengapa meski mudik menelan biaya mahal, tiap tahun fenomena ini tak pernah berkurang—Malah sebaliknya, arus mudik tiap tahun selalu meningkat?

Menurut Jacob Sumardjo (2003), masyarakat Jawa adalah masyarakat sawah pada mulanya. Masyarakat sawah mengamini bahwa tanah adalah pusat segala. Tanah adalah inti dari kehidupan semesta. Manusia berasal dari tanah (baca: ibu) dan pasti akan kembali kepada tanah. Mentalitas tersebut terbentuk secara kolektif dan diwariskan secara turun-temurun, meskipun masyarakatnya tidak lagi hidup dalam persawahan.

Jadi mudik dalam hal ini diartikan sebagai bentuk penyerahan diri. Penyucian diri dari segala laku lampah yang buruk selama diperantauan agar fitrah diri manusia yang awalnya dari tanah kembali mewujud dalam diri individu-individu.

Hal di atas bisa dimaklumi, karena selama masa perantauannya, masyarakat urban “dipaksakan” menerima dan menjalankan tatanan sosial yang sebenarnya bertentangan dengan “kodratnya.” Menurut Pramodya Ananta Toer manusia dilahirkan sejatinya untuk mencipta dan bekerja. Tapi bukan kerja menghamba. Nah, kondisi di perkotaan justru sebaliknya. Masyarakat urban berkerja sebagai ‘kuda’, tidak hanya ratusan tapi ribuan masyarakat urban yang terpaksa menjadi kuli-kuli untuk sekedar mendapat sesuap nasi.

Sampai disini bisa dilihat—Meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer—bahwa gelombang mudik yang terjadi di masyarakat Jawa (juga Madura) bukanlah gelombang kemenangan. Cerita soal kemenangan atau soal kekayaan selama merantau semua hanyalah bualan tentang kisah kesenangan orang-orang mapan. Bukan milik masyarakat urban itu sendiri. Kembalinya mereka ke kampung halaman sebenarnya membawa tragedi tentang kekalahan, karena selama bertahun-tahun merantau di kota besar, sebenarnya mereka telah jadi ‘sampah’.

Dalam konteks ini, Idul Fitri sebagai push factor mudik, sebenarnya memiliki titik temu dengan mudik. Bertemu dengan sanak saudara, berziarah ke makam leluhur, ketika lebaran tiba menjadi sebuah kontemplasi manusia untuk menggali potensi keilahiannya. Berkumpul dengan inti kehidupan berarti sebuah proses berserah diri dan membangun lagi kekuatan-kekuatan baru. Dan proses ini tak bisa digantikan dengan apapun.

Tetapi apa yang diagungkan dari kerja di ibukota, jika di sana tak mendapat penghargaan dan hasil seba­gaimana layaknya manusia? Karena itu saya sepakat dengan Pramoedya Ananta Toer, bahwa mudik kali ini harus mampu melahirkan pahlawan-pahlawan baru. Yakni, pahlawan yang bisa membendung tiap-tiap orang yang hendak hidup dan memadatkan kota besar. Karena usaha tersebut bukan solusi efektif mengentaskan kemiskinan, melainkan menggali semakin dalam lobang hitam keterpurukan.

Lewat esainya berjudul Jakarta, (Almanak Seni 1957) Pram berseru; ”Lupakan Jakarta. Tinggallah di daerahmu. Buat­lah usaha agar daerah bisa menjadi sumber kegiatan sosial, sumber kesadaran politik dan sumber penciptaan dan latihan kerja. Sehingga daerah bisa juga melahirkan bunga bangsa di kemudian hari.” Hanya saja masalahnya siapa yang mau memulai? Bukankah selama ini telah terjadi disparitas pembangunan yang digalakkan pemerintah sendiri, bahwa kota adalah pusat segala?***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

1 komentar:

my work mengatakan...

keren
aq suka