WAKTU

JEDA

Rabu, 28 November 2007

Demam Berdarah, Kemiskinan dan Kesehatan ProRakyat

Demam Berdarah, Kemiskinan, dan Kesehatan ProRakyat
Oleh: Edy Firmansyah
(Peneliti pada Institute of Reaseach Social Politic and Democracy )
Artikel ini Dimuat di SEPUTAR INDONESIA (SINDO) Edisi SORE, 16 November 2007

Musim pancaroba kembali datang. Yang perlu diwaspadai dari musim peralihan antara musim kemarau dan musim penghujan ini selain keadaan cuaca yang ekstrem, juga menyebarnya berbagai macam penyakit. Salah satu penyakit yang biasa menyertai tiap musim pancaroba adalah demam berdarah dengue (DBD).

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu problem kesehatan serius. Dalam laporan Departemen Kesehatan, penyakit ini sudah menjadi masalah yang endemis di 122 daerah tingkat II, 605 Kecamatan dan 1.800 Desa atau kelurahan. Dan setiap wabah penyakit ini menyebar, tak sedikit yang akhirnya meninggal.

Sebenarnya keadaan tersebut telah menjadi perhatian pemerintah. Hanya saja penanganan yang dilakukan terkesan setengah-setengah. Salah satu andalan dinas kesehatan dalam pemberantasan DBD adalah fogging.

Padahal pengasapan yang berlebihan saat ini justru tidak berfungsi efektif lantaran telah terjadi mutasi gen sehingga menyebabkan nyamuk aides aigepty menjadi makin kebal terhadap fogging. Dan akibatnya bisa ditebak, jumlah kasus demam berdarah tiap tahun selalu saja meningkat. Dalam laporan Kompas tercatat, sejak Januari hingga 31 Mei 2004 dilaporkan secara kumulatif jumlah Kasus DB sebanyak 59.321 kasus dengan jumlah kematian 669 orang(Kompas, 17 Juni 2004). Dan tidak menutup kemungkinan jumlah tersebut bisa terus meningkat setiap tahunnya.(Eko Prasetyo, 2004).

Parahnya lagi, penduduk yang menjadi korban penyakit DB justru didominasi oleh anak-anak dari kalangan miskin. Memang ada juga korban dari kelas atas yang turut terserang. Hanya saja jumlah dapat dihitung dengan jari. Hal ini sungguh menyakitkan. Ditengah rakyat miskin didera dengan harga BBM yang melambung tinggi dan berimbas pada kenaikan harga kebutuhan pokok, seperti beras, mereka justru dihadapkan pada wabah penyakit yang mematikan seperti DBD.

Nah, yang menjadi pertanyaan mengapa kalangan miskin yang selalu menjadi korban terbesar DBD? Kita tahu rakyat miskin adalah mereka yang selalu hidup serba kekurangan secara ekonomis. Dalam kondisi semacam itu, syarat hidup sehat, lingkungan yang kumuh, gizi yang buruk dan keadaan hygiene serta sanitasi yang jauh dari memuaskan selalu menjadi warna-warni kehidupan mereka.(Bimo, dalam Peter Hagul, 1985). Sering kita menyaksikan dalam berita televisi akhir-akhir ini tentang sejumlah penduduk yang mengkonsumsi pelepah pisang sebagai makanan pengganti beras.

Padahal dalam ilmu kesehatan, lingkungan yang kumuh menjadi tempat bersarangnya banyak penyakit. Sedangkan keadaan gizi yang jelek menyebabkan daya tahan tubuh berkurang sehingga mudah terserang penyakit. Sehingga jangan heran ketika demam berdarah menyerang, banyak korban yang berakhir dengan kematian karena imunitas tubuhnya menurun akibat kekurangan gizi.

Kondisi ini diperparah dengan kebiasaan masyarakat yang lebih mempercayakan penyembuhan penyakit dengan cara supranatural ( baca; dukun) daripada penyembuhan secara medis (baca; dokter). Di Madura misalnya, tempat praktek dukun yang letaknya jauh di pelosok kampung bisa lebih ramai daripada puskesmas pembantu yang letaknya tepat dipinggir jalan.

Memang keadaan semacam itu merupakan keadaan umum dijumpai di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, dimana tingkat pendidikan yang rendah merupakan pemicu utama. Meski demikian bukan berarti meningkatkan penyebaran DBD diakibatkan oleh prilaku kaum miskin semata. Sebab kalau mau ditelisik lebih jauh apa yang mereka lakukan sebenarnya diakibatkan oleh sistem yang selama ini cenderung menindas daripada melindungi mereka. Dengan lain kata, orang miskin sengaja didesak agar terus berada dalam situasi yang rawan penyakit.

Bukan rahasia umum lagi jika biaya kesehatan akhir-akhir ini sama mahalnya dengan biaya pendidikan. Benar memang pemerintah sudah memberikan subsidi kesehatan pada masyarakat, yakni berdasarkan UU NO. 45 tahun 1999 pasal 39 tentang kewajiban pemerintah membayar sebagian besar dari iuran layanan kesehatan. Ini bisa dilihat dengan pemberian kastu asuransi kesehatan (Askes) untuk PNS dan kartu Gakin untuk mereka yang miskin. Kendati demikian tarif pelayanan kesehatan justru dibiarkan melonjak antara 25 hingga 75 persen. Akibatnya, hanyak untuk menebus obat generic penurun panas saja, penduduk miskin tetap merogoh kantong lagi.

Belum lagi pelayanan rumah sakit yang cenderung pilih kasih. Rumah sakit mengkategorikan ruang perawatan berdasarkan kemampuan membayar. Bukan berdasarkan prioritas penanganan penyakit. Penderita DB yang parah, tetapi tidak punya banyak uang akan ditempatkan di kelas ekonomi yang bisa berdempetan dengan penderita muntaber. Itupun tidak akan langsung ditangani. Para perawat akan lebih senang merawat penderita yang hanya terindikasi DB tetapi menempati ruang VIP.

Nah, jika keadaan ini terus dibiarkan, jangan harap kita akan terbebas dari penyakit DB. Bakan tahun 2010 yang dicanangkan sebagai Indonesia sehat hanya akan jadi isapan jempol belaka.

Karena ini pemerintah harus segera merombak kesehatan yang ada. Sebagai langkah awal pemerintah harus merombak sistem Puskesmas. Karena puskemas merupakan kantong pelayanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat sebelum rumah sakit. Puskesmas harus berorientasi kerakyatan. Artinya, Puskemas bukan hanya berfungsi menjadi pusat pelayanan kesehatan semata, melainkan harus ditingkatkan menjadi tempat pendidikan dan pemberdayaan. Di Puskemas, masyarakat tidak hanya bisa mendapatkan obat generic saja. Tetapi juga diajari bagaimana membudidayakan tanaman obat sebagai obat alternative terhadap berbagai penyakit. Termasuk DBD.

Untuk itu pengelola puskemas bukan hanya dokter dan perawat saja. Bakul jamu, sinse pengobatan cina, ahli akupuntur bisa dimasukkan dalam anggata puskesmas. Dari mereka, masyarakat miskin akan belajar banyak hal mengenai penanganan penyakit. Sehingga lambat laun masyarakat akan mampu menangani wabah penyakit dengan kemampuannya sendiri, tanpa harus merepotkan pemerintah.***

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah adalah Pemerhati Masalah Kesehatan Masyarakat. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta . Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: