WAKTU

JEDA

Rabu, 28 November 2007

Robohnya Perpustakaan Sekolah Kami

Robohnya Perpustakaan Sekolah Kami
Oleh: Edy Firmansyah

(Pengelola SBK (Sanggar Bermain Kata), Jakarta)

Esai Ini Dimuat di JAWA POS, 25 November 2007

Barangkali Ahmad Wahib benar bahwa tinggi rendahnya intelektual sebuah bangsa ditentukan oleh megah dan lengkapnya perpustakaan yang dimilikinya. Sebab jika buku adalah jendela dunia, maka perpustakaan adalah rumahnya. Dalam rumah tersebut tidak hanya tersimpan informasi dan ilmu pengetahuan. Tetapi juga peradaban, motivasi, kepribadian, dan pedoman hidup.

Makanya jangan heran jika di Amerika pembangunan perpustakaan benar-benar gila-gilaan. Hampir di semua sudut kota, baik di pinggiran hingga di pedesaan berdiri perpustakaan megah dan lengkap. Bahkan Presiden, rektor universitas, bahkan gubernur yang pensiun segera bikin perpustakaan besar-besaran. Dan laku. Perpustakaan Jimmy Carter dan Ronald Reagan adalah contohnya.

Bagaimana di Indonesia? Jangankan memiliki perpustakaan pribadi, membangun perpustakaan sekolah saja di negeri ini susahnya bukan main. Benar memang pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang tentang perpustakaan beberapa waktu lalu, yang mewajibkan sekolah memiliki perpustakaan dan mengalokasikan dana perpustakaan paling sedikit 5 persen dari belanja operasional sekolah. Tapi pihak sekolah justru enggan menyiapkan dana khusus untuk perpustakaan. Mereka justru lebih memprioritaskan pembangunan gedung olah raga atau aula.
Padahal perpustakaan sekolah merupakan jantung pendidikan. Ia semestinya menyediakan berbagai kebutuhan ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi perkembangan peserta didik. Di saat guru hanya menerapkan cara mengajar dengan gaya bank; Yakni siswa dianggap tidak bisa apa-apa dan guru sebagai satu-satunya sumber yang mencekoki siswa (pola hamba-tuan), perpustakaan mampu menjadi media alternatif untuk mengasah daya kritis siswa.

Buku mampu memberikan dasar-dasar moral dan menjamin kebebasan pengembangan berpikir kita serta menebalkan rasa kemanusiaan kita sehingga kita menjadi manusia yang beradab. Karena buku (terutama buku sastra) dan kekerasan jarang berjalan beriringan. Karena buku mampu menjadi penawar watak barbar manusia. karenanya boleh jadi siswa atau guru yang menyukai tindak kekerasan, yang akhir-akhir ini marak jadi sorota media, sebagai solusi akhir menyelesaikan masalah, dapat dituduh sebagai orang yang tidak suka membaca.

Sayangnya, itu tak terjadi di negeri ini. Malah sebaliknya jantung pendidikan itu dibiarkan roboh. Buktinya, perpustakaan sekolah di beberapa sekolah di Jakarta yang sudah ada justru tak terurus dan terkesan diterlantarkan. Koleksi bukunya sudah usang, tempat penyimpanan tidak representatif dan nyaris tidak ditemukan buku-buku baru. Toh, meskipun ada buku baru, biasanya buku dengan sampul dan isinya masih mulus (karena tak tersentuh) tapi terbitan lama.

Jangan coba-coba mencari buku ’Winnetouw’ karya Karl May, ’Bumi Manusia’ karya Pramoedya Ananta Toer, ’Burung-burung Manyar’ karya Mangunwijaya atau ’Slilit sang Kya’i-nya Emha Ainun Nadjib. Sebab saya yakin anda tak bakal menemukannya di perpustakaan sekolah. Sebab perpustakaan sekolah di negeri ini hanya sekedar embel-embel belaka.

Akibatnya bisa ditebak. Dengan buku-buku yang amat terbatas kita hanya menghasilkan kemajuan-kemajuan kecil. Hal-hal yang bisa dipelajari atau diketahui dengan cepat lewat pembacaan buku-buku yang lengkap, terpaksa dihubung-hubungkan sendiri dengan pengorbanan enrgi dan waktu yang tidak sebanding hanya karena kemiskinan buku.(Wahib, 2003;311). Benar memang beberapa anak Indonesia berhasil menyabet mendali emas dalam olimpiade Fisika. Salah satu diantaranya berasal dari Madura. Tapi jika mau dibandingkan, siswa Amerika yang tekun dan cerdas akan jauh lebih cepat maju jika dibandingkan dengan siswa Madura dengan ketekunan dan kecerdasan yang sama. Karena apa? Apalagi kalau bukan karena buku dan perpustakaannya yang maju.

Sehingga pantas saja jika secara generalisir mutu pendidikan kita masih amat rendah. Bahkan termasuk rangking bawah di beberapa negara Asia Tenggara. Bagaiamana bisa bersaing dengan negara tetangga, bahkan untuk membaca saja kita terbilang bangsa yang malas?
Padahal negeri ini sangat butuh Soekarno-Soekarno muda, Tan Malaka muda, Hatta muda, Syahrir muda, Soedirman muda, Pramoedya Ananta Toer Muda hingga Gus Dur muda untuk menjawab krisis yang terus saja melilit negeri ini. Dan kita tahu tokoh-tokoh bangsa tersebut tidak serta merta lahir dengan sendirinya. Mereka besar, cerdas dan memiliki pemikiran-pemikiran brilian karena kedekatannya dengan buku dan perpustakaan.

Bagi tokoh-tokoh itu buku ibarat istri kedua. Makan, tidur, santai hingga buang air kecil mereka tak pernah lepas dari buku. Bukan hanya bacaan politik, sosial, budaya, ekonomi saja yang dilahap. Bahkan cerita silat Ko Ping Ho dan komik Rin Tin Tin juga mereka santap.

Karena itu membangun perpustaan sekolah saat-saat ini menjadi sangat urgen. Bahkan kalau perlu pemerintah memaksa kepala sekolah segera membangun perpustakaan sekolahnya. Apa ruginya mengeluarkan dana besar tapi untuk kemajuan bangsa di masa depan? Membiarkan sekolah tanpa suplai buku-buku yang mencerahkan, tanpa perpustakaan yang presentatif berarti membiarkan generasi muda terus tenggelam dalam keterbelakangan berpikir.***


TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Esais. Pengelola Sanggar Bermain Kata (SBK). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: