WAKTU

JEDA

Kamis, 17 Juli 2008

Ironisitas Pendidikan

Dimuat di Harian SUARA MERDEKA, 10 Juli 2008


Ironisitas Pendidikan
Oleh: Edy Firmansyah

Sulit untuk menyangkal bahwa semua orang kini punya keyakinan yang seragam. Yakni, sekolah yang bermutu haruslah mahal. Mau bukti? Tiap musim Penerimaan Siswa Baru (PSB), yang selalu jadi rebutan orang tua siswa dan calon siswa adalah sekolah negeri unggulan atau favorit. Padahal biaya pendidikan di sekolah tersebut jauh dari kesan murah.

Di Solo misalnya, sejumlah sekolah negeri favorit memasang tarif tinggi dibalik kedok uang sumbangan sukarela orang tua siswa. Di jenjang SMU tarif masuk sekolah berkisar antara Rp. 12,5 – 15 juta, untuk SMP antara Rp. 7,5 – 10 juta dan SD sekitar Rp 1-3 juta. Di Tangerang dan Jakarta kondisinya sama. Untuk SD dan SMP dkenai sumbangan rata-rata Rp 1-2 juta. Bayaran tersebut belum ditambah dengan dengan uang buku dan seragam, dimana sekolah bekerja sama dengan berbagai perusahaan penerbit serta pedagang kain.

Memaksa masuk ke sekolah bermutu dengan biaya mahal semacam itu bagi kaum miskin justru menjadi petaka. Masih segar dalam ingatan kita kenekatan Ny. Junania Mercy warga Lowokwatu, Kota Malang. Hanya gara-gara tak sanggup lagi menanggung beban mahalnya biaya sekolah, yang mencapai Rp 1,6 juta per bulan, dia tega meracuni keempat putra-putrinya dengan racun potas. Kemudian bunuh diri. Belum lagi maraknya kasus bunuh diri pelajar hanya gara-gara tak mampu membayar biaya sekolah.

Makanya jangan heran jika masih banyak anak-anak dari keluarga miskin tidak bisa bersekolah atau harus putus sekolah, hanya gara-gara tidak bisa membayar biaya sekolah. Berdasarkan data Depertemen Pendidikan Nasional, sedikitnya 7,2 juta anak Indonesia tidak mampu merasakan bangku sekolah, terdiri dari 4,2 juta siswa SLTP dan 2,9 juta siswa SD dan SLTA.

Sedangkan menurut Data dari pusat Informatika Balitbang Depdiknas menyatakan rata-rata angka putus sekolah SD (APS-SD) nasional sebesar 3,57% atau sekitar 940.438 siswa, rata-rata angka putus sekolah SLTP (APS-SLTP) ditingkat Nasional sebesar 7,66% atau 429.555 siswa. Ini artinya lebih besar dari APS-SD meski lebih kecil dalam kuantitas.

Sebenarnya pemerintah tidak tinggal diam dalam menyikapi fenomena tersebut. Di beberapa daerah sudah muncul inisiatif dari pemerintah untuk menekan biaya simbangan pembinaan pendidikan (SPP) di sekolah-sekolah negeri menjadi serendah mungkin. Bahkan ada yang mengratiskan SPP untuk sekolah negeri.

Namun kebijakan semacam itu belum menyentuh pada akar masalah kesulitan pendanaan pendidikan keluarga miskin. Di Jakarta, misalnya, meski sebagian besar warga miskin sudah mendengar tentang kebijakan pemerintah daerah yang menggratiskan SPP, namun mereka masih khawatir tidak bisa membiayai sekolah anak-anaknya. Maklum, meski SPP sudah digratiskan toh sekolah masih dapat menarik berbagai macam pungutan dari siswa. Mulai dari jual-beli seragam, buku pelajaran dan lainnya.

Dan kondisi diatas nampaknya akan menjadi fenomena tahunan dan akan terus terjadi selama pemerintah tidak segera mengambil langkah taktis mengatasi kesenjangan pendidikan. Salah satu yang layak dipertimbangkan adalah mengoptimalkan pendidikan bagi masyarakat pinggiran. Hal ini bisa terwujud jika pemerintah mau berkolaborasi dengan lembaga pendidikan terkait, semacam LSM untuk menggagas kembali pendidikan bagi masyarakat lokal. Misalnya dikembangkan pendidikan luar sekolah bagi masyarakat pinggiran, school without wall atau sekolah tanpa dinding bagi anak-anak miskin kota.

Setidaknya ada dua keuntungan jika pengarapan pendidikan bagi masyarakat pinggiran dan daerah pedalaman ini berjalan optimal. Pertama, semua anak-anak di daerah pinggiran tak akan ada lagi yang putus sekolah. Karena pendidikan model ini diupayakan nirbiaya. Kedua, masyarakat lokal tidak perlu takut kehilangan nilai budaya lokal sekaligus anak-anak tak akan kekurangan daya kreativitasnya. Karena model yang akan diterapkan dalam kurikulum ini adalah sistem pendidikan asli masyarakat.

Dalam system belajar asli, menurut Mohammad Zen, proses belajar seseorang mencakup empat hal yaitu; dalam belajar manusia akan mengalami sesuatu yang nyata, memikirkan secara konseptual, mengamati sesuatu sambil merenung dan mencobakannya dalam situasi lain yang lebih luas. Dengan memberikan pendidikan seperti itu, setidaknya akan membuat siswa tertarik karena berhubungan langsung dengan dunianya. Sekaligus juga akan mengikis pemikiran bahwa sekolah adalah memberi ijasah untuk diterima dalam dunia kerja, tetapi sekolah adalah tempat belajar hidup dan kehidupan.

Karenanya perlunya juga pelatihan intensif terhadap para pendidik, guru dan para pengajar di daerah mengenai metode pendidikan ini. Agar nantinya dapat mengembangkan pendidikan yang baik buat daerahnya masing-masing. Tak lupa pula untuk menaikkan gaji para “Oemar Bakri” agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya beserta keluarga, jadi tak hanya mencetak menteri, presiden dan para pejabat. Tetapi juga mampu hidup layak. Sebab salah satu indicator suksesnya pendidikan adalah tersedianya pengajar yang berkualitas.

Terakhir, perlu dibangunkan kesadaran moralitas para aparat pemerintah kita terutama dibidang pendidikan yang telah lama mati. Dengan sekali-sekali melihat kondisi di daerah terpencil atau mungkin hiduplah barang seminggu dua minggu dengan masyarakat setempat atau sesekali ikutlah menjadi pengajar untuk merasakan suka-duka jadi guru di desa. Dari situ dimungkinkan terbangun kesadaran bahwa apa yang dihadapi masyarakat pinggiran, penduduk desa lebih rumit dan kompleks, sehingga jiwa sosial aparatus pendidikan kita tergugah untuk menghentikan tindakan yang memiskinkan masyarakat seperti korupsi, penggusuran serta pencabutan subsidi pendidikan. Masalahnya adalah siapa yang akan memulai?

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: