WAKTU

JEDA

Kamis, 24 Juli 2008

Menggugat Hak Pendidikan Anak

Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, 23 Juli 2008


Menggugat Hak Pendidikan Anak
Oleh: Edy Firmansyah

Ada kado istimewa menjelang peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang rutin diperingati tiap 23 Juli. Beberapa pelajar kembali mencatat prestasi emas dalam kompetisi pendidikan tingkat dunia. Indonesia yang diwakili tujuh pelajar SMP dan satu pelajar SD meraih lima mendali emas, dua perak dan satu perunggu di ajang Olimpiade Matematika 12th Po Leung Kuk Primary Mathematics World Contest (PMWC) di Hongkong 12-16 Juli 2008 lalu. Sungguh prestasi yang patut diacungi jempol.

Dengan prestasi itu, Indonesia semakin membuka mata dunia bahwa kemampuan anak-anak Indonesia tidak bisa diremehkan. Anak-anak Indonesia adalah anak-anak yang bisa diandalkan dan memiliki masa depan cerah. Buktinya, beberapa prestasi internasional dibidang pengetahuan berkali-kali pernah diraih.

Tapi apakah prestasi itu merupakan representasi dari seluruh anak-anak Indonesia? Apakah mutu pendidikan siswa Indonesia sudah mampu sejajar dengan negara maju? Nyatanya tidak. Dibanyak jurnal dan majalah pendidikan disebutkan bahwa mutu pendidikan Indonesia amat rendah, bahkan berada di rangking bawah dibandingkan dengan Negara Asia Tenggara. Hal tersebut karena, menurut Paul Suparno, Pakar Pendidikan dan Rektor Universitas Sanata Darma Yogyakarta, beberapa anak yang berhasil mendapatkan mendali emas dalam olimpiade science dunia adalah anak-anak genius. Maka dengan dibantu secara khusus lagi, mereka bisa menjadi sangat brilyan.(dalam Drost, 2005)

Sebab sebagian besar anak-anak Indonesia bukanlah anak-anak genius. Kebanyakan tidak semutu dan secerdas para peraih olimpiade itu. Penyebabnya? Tentu karena tidak meratanya fasilitas dan mutu pendidikan. Pendidikan yang bermutu dan berfasilitas lengkap dengan tenaga pengajar yang professional terpusat di kota-kota besar. Yang lebih menyakitkan lagi, sekolah tersebut berbiaya mahal. Sehingga bisa ditebak yang dapat bersekolah di tempat tersebut adalah anak-anak dari kelas berpunya. Anak-anak dari keluarga pejabat, artis, pengusaha dan kelas atas lainnya.

Lalu kemana anak-anak miskin itu bersekolah? Kemana lagi kalau bukan ke sekolah-sekolah gurem yang fasilitasnya sangat memprihatinkan. Tenaga pengajarnya kurang, kursi dan bangku banyak yang rusak. Sedangkan gedung sekolahnya terkesan ringkih. Tetapi apa boleh buat, hanya sekolah itulah yang bisa dijangkau oleh mereka. Ketimbang tidak sekolah.

Disamping itu tak sedikit pula yang akhirnya harus tersingkir untuk mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan. hanya gara-gara tidak bisa membayar biaya sekolah. Berdasarkan data Depertemen Pendidikan Nasional, sedikitnya 7,2 juta anak Indonesia tidak mampu merasakan bangku sekolah, terdiri dari 4,2 juta siswa SLTP dan 2,9 juta siswa SD dan SLTA.

Pendidikan Yang Mengebiri Imajinasi
Parahnya lagi, alih-alih mengembangkan potensi diri anak, mereka malah dimatikan kreatifitasnya dan potensi mengembangkan imajinasi. Sekolah masih saja menerapkan sistem gaya bank dalam mengajar; dimana guru menganggap dewa segala tahu, sementara siswa tidak tahu apa-apa. Akibatnya mereka hanya sekedar dicekoki pengetahuan. Bukan diarahkan untuk mengembangkan potensi diri.

Dengan kata lain anak-anak kita hanyalah kaum sub-altern yang sengaja dimatikan hak-haknya sebagai manusia. Mereka di cetak bukan menurut kemampuannya. Melainkan dicetak sesuai keinginan orang tua, sekolah dan masyarakat. Sehingga anak-anak Indonesia tak ubahnya ”beo-beo” yang dicetak secara khusus sebagai sekrup produksi.

Sebagai sebuah sekrup produksi yang dipentingkan bukan lagi kualitas pendidikan, melainkan sekedar kuantitas. Makanya jangan heran jika kini gelar akademik dijajakan secara bebas mirip pedagang kaki lima menjual vcd bajakan seharga Rp. 5.000 per keping. Bahkan—kalau mau jujur—hampir semua skripsi dan tesis sarjana kita adalah hasil plagiat. Jangan terkejut jika lulusan sarjana kita bukannya mencipta lapangan kerja, justru antre dalam deretan pengangguran dan pencari kerja. (Andreas Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, 2000)

Jika kondisi ini dibiarkan maka dalam waktu dekat kita akan kehilangan generasi penerus. Karena itu mengembalikan hak-hak anak adalah sebuah keniscayaan. Hak-hak anak yang dimaksud adalah hak menyatakan pendapat, hak mendapatkan pendidikan yang layak dan hak untuk mengembangkan potensi diri tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Dan adalah tugas pemerintah untuk memenuhi hak-hak anak itu. Bukankah sudah termaktub dalam UUD dasar bahwa anak-anak dipelihara oleh Negara.

Karena itu kebijakan yang humanistik dan pro perkembangan anak penting untuk ditonjolkan. Misalnya sekolah yang membebaskan, yang tidak membedakan siswa berdasarkan kelas sosial. Artinya, anak-anak dari keluarga berpunya, dan anak-anak dari keluarga miskin dapat menikmati fasilitas pendidikan yang bagus dengan pengajar yang professional. Dengan kata lain, subsidi pendidikan bagi anak-anak miskin merupakan keharusan agar mereka mampu bersaing secara fair tanpa dibebani dengan masalah bayaran sekolah.

Bukankah banyak bukti bahwa ternyata anak-anak dari keluarga tak mampu yang berfaslitas seadanya justru bisa menyamai intelektual anak-anak dari keluarga berpunya? Novel “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata setidaknya bisa menjadi rujukan betapa ditengah kemiskinan yang mendera, tokoh seperti Lintang mampu mengembangkan kecerdasannya.

Dan hanya pemimpin yang peduli terhadap perkembangan dan masa depan anak Indonesia yang sanggup mewujudkan itu semua. Dengan pemimpin yang peduli pendidikan yang berpihak pada rakyat harapan besar kita agar anak-anak kita menjadi reinkarnasi Soekarno, Tan Malaka, Syahrir, Hatta, Soe Hok Gie baru yang mampu mengharumkan bangsa dan membawa negeri ini pada kemandirian tinggal selangkah lagi.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Direktur People’e Education Care Institute (PECI) Surabaya. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: