WAKTU

JEDA

Jumat, 25 Juli 2008

Hentikan Kekerasan Pada Anak!

DIMUAT DI HARIAN SURYA, 24 Juli 2008


Hentikan Kekerasan Pada Anak!
Oleh: Edy Firmansyah



Wajah suram masih mewarnai peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh pada 23 Juli. Pasalnya, tindak kekerasan masih menjadi hantu bagi kehidupan anak-anak Indonesia. Dari waktu ke waktu Anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan terus berjatuhan.

Berdasarkan data pada tahun 2004 terdapat 547 kasus kekerasan terhadap anak dengan rincian 221 kasus kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis dan 106 kasus lain. Pada tahun 2005, jumlahnya meningkat lagi menjadi 766 kasus. Rinciannya, 327 kasus kekerasan seksual, 233 kekerasan fisik, 176 kekerasan psikis dan 130 kasus lain. Pada tahun 2006 kekerasan terhadap anak melonjak menjadi 1124 kasus kekerasan, dan 37 diantaranya berakhir dengan kematian. Sedangkan pada pertengahan tahun 2007 kekerasan terhadap anak meningkat menjadi 1135 kasus dan 87 diantaranya berakhir dengan kematian.

Namun sebagaimana anomali sosial yang muncul di masyarakat, data diatas hanyalah puncak dari gunung es kekerasan tehadap anak. Artinya dari data tersebut, sebenarnya terdapat ribuan—atau bahkan lebih— kekerasan yang tak terungkap atau sengaja ditutupi. Sebab pelaku tindak kekerasan tersebut merupakan orang-orang terdekat dari para korban. Seperti misalnya, orang tua (ayah dan ibu), dan kerabat dekat (paman, bibi, kakek, nenek dan kakak). Bahkan menurut catatan Komnas Perlindungan Anak (PA) pelaku child abuse yang berasal dari orang terdekat mencapai 70 persen. Sisanya (30 persen) adalah orang yang tidak dikenal anak.

Menurut Terry E. Lawson, salah seorang psikiater internasional, setidaknya ada empat macam kekerasan terhadap anak (child abuse). Yakni, emotional abuse, verbal abuse, sexual abuse dan physical abuse (Benni Setiawan, 2008). Namun tulisan ini tidak akan membahas semua tidak kekerasan terhadap anak. Melainkan lebih memfokuskan pada physikal abuse, yakni tindakan menyakiti fisik anak. Pasalnya tindak kekerasan ini paling sering dilakukan orang-orang terdekat anak namun paling sering diabaikan masyarakat. Bahkan bisa dikatakan physical abuse belum pernah diatasi secara memuaskan.

Umumnya orang tua atau kerabat terdekat anak menganggap tindak pemukulan terhadap anak lazim dilakukan sebagai bentuk agak berlebihan orang tua dalam menjalankan ’hak’ mereka guna mendisiplinkan anak-anaknya (Pelzer, 2004). Masyarakat luas-pun kerap tidak terlalu mempermasalahkan physikal abuse selama tidak membuat kematian. Misalnya salah satu kasus yang sempat luput dari perhatian media lokal beberapa tahun lalu di salah satu pondok pesantren di Pamekasan, Madura, seorang kiai yang sengaja mencelupkan tangan seorang santri dalam air panas karena kedapatan mencuri kelapa masih dimaklumi masyarakat (termasuk orang tua santri) sebagai bentuk hukuman ’biasa.’ Berbeda misalnya ketika terjadi sexual abuse terhadap anak. Masyarakat bisa main hakim sendiri terhadap tersangka.

Kekerasan Dari Negara ke Keluarga
Permakluman masyarakat terhadap bentuk kekerasan fisik pada anak sebagai sebuah hukuman barangkali berangkat dari kekerasan struktural yang diciptakan raja-raja di Nusantara yang kemudian diadopsi oleh para penjajah (Belanda dan Jepang) dalam pendidikan. Kekerasan struktural itu dapat dirasakan pada kemunculan hegemoni bahasa, dimana hanya yang berkuasa yang berhak memberikan tafsiran atas realitas yang terjadi dalam masyarakat.

Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa menjadi hamba dalam lingkaran kerajaan dan ambtenaar (baca: pegawai) Belanda adalah idaman banyak masyarakat. Masuk dalam lingkaran istana (mesti jadi babu) atau pegawai (meski tukang sapu) dianggap kesuksesan. Padahal para hamba kerajaan dan ambtenar itu kerap mendapat perlakukan kasar dari atasan mereka. Namun perlakukan kasar tersebut dipelintir oleh kaum berkuasa kala itu sebagai bentuk pendidikan yang dapat menghantarkan hamba-hamba tersebut dalam puncak kesuksesan. Dalam masyarakat Madura ada lima manusia yang harus dipatuhi segala petuah dan diamini segala perbuatannya (meski berbau kekerasan), yakni Bapa’ Babu’ ghuruh, ratoh (Ayah, ibu, guru dan raja). Mereka dianggap kepanjangan tangan tuhan bahkan dapat menentukan nasib seseorang.

Nah, ketika korban kekerasan berhadapan dengan pelaku seperti orang tua atau guru kebanyakan dari mereka memilih berdiam diam, menyembunyikan masa lalu mereka tanpa mau berbuat apa-apa. ”Kalau membantah, takut kualat!” begitu kata para korban. Dengan kata lain mereka memilih agar kotak pandora kekerasan tertutup rapat.

Padahal dalam pandangan Freud, ahli psikologi analis, pengalaman traumatis yang dialami seseorang akan tersimpan jauh di alam bawah sadar seseorang dan dalam kondisi tertekan akan menciptakan prilaku menyimpang melebihi dari efek trauma yang pernah dialaminya. Film seperti; ”Hannibal the Rising,” ” The Mexico Chainsaw Beginning, ” hingga ”Ekskul” (yang diangkat dari kisah nyata) merupakan sedikit bukti bagaimana lingkaran kekerasan itu bergerak.

Agar Gerakan Anti Kekerasan Efektif
Karena itu gerakan anti kekerasan terhadap anak yang digulirkan pemerintah tak akan berjalan efektif untuk memotong lingkaran kekerasan terhadap anak jika hanya berupa himbauan dan ajakan para orang-orang terdekat dan masyarakat agar lebih menyayangi anak-anak. Pemerintah haruslah yang pertama memberikan contoh untuk menghentikan tindak kekerasan dalam segala bentuknya. Bukankah negara yang kerap melakukan kekerasan pada masyarakat berupa; penggusuran, perampasan hak, hingga kekerasan pada demonstran lewat kekuatan koersifnya ?

Terakhir, penting membentuk sebuah lembaga khusus yang menangani tindak kekerasan di Indonesia yang anggotanya merupakan seleksi dari para psikolog terbaik Indonesia, seperti metode yang diterapkan Nanny 911 di Amerika yang terkenal itu. Selain untuk memberikan pendampingan khusus pada anak korban kekerasan juga mensosialisasikan secara intensif pada masyarakat bahwa kekerasan, apapun bentuknya adalah musuh kemanusiaan. Sebab selama kekerasan terhadap anak tidak ditangani secara serius di negeri ini, maka tinggallah api dalam sekam.

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: