WAKTU

JEDA

Kamis, 17 Juli 2008

Wajah OKP Islam dan Jalan Buntu Pembaruan

Dimuat di Radar Surabaya, 16 Juni 2008


Wajah OKP Islam dan Jalan Buntu Pembaruan
Oleh: Edy Firmansyah



Muhammad Iqbal, salah seorang filsuf dan penyair Islam, penah mengatakan bahwa “ijtihad’ merupakan prinsip gerak dalam Islam. Tanpa ijtihad yang kreatif dan terus menerus, kaum muslimin akan dilanda kebekuan berpikir dan stagnasi. Karena itu, lanjut Iqbal, pembaruan merupakan suatu yang inheren dan esensial dalam ajaran Islam. Sebab hanya dengan pembaruan, ajaran Islam bisa membumi.

Tapi apa lacur. Di negeri ini pembaruan pemikiran Islam justru ditafsirkan dengan penuh kecurigaan, bukan hanya dikalangan awam melainkan juga oleh kalangan terpelajar (baca: organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP)). Pembaharuan dianggap sebagai penafsiran-penafsiran baru yang menyimpang, bertentangan atau setidak-tidaknya berbeda dalam ekspresi dan artikulasi terhadap formulasi teologi atau fiqh tradisional yang sudah mapan.

Benar memang anggota OKP tak ketinggalan dalam mengikuti pemikiran tentang agama melalui bacaan, tetapi mereka tak mau ribet untuk berkutat dalam pembaharuan pemikiran. Cukuplah buku yang dibaca berakhir dengan diskusi di warung kopi. Bahkan jika terjadi perdebatan, yang paling sering dipermasalahkan hanya soal-soal yang furukiyah, yang tidak bertentangan dengan akidah. Di samping itu mereka lebih suka duduk berlama-lama di masjid, aktif dalam kegiatan ’ramadhan in campus’ yang tak lebih hanya bersifat ceremonial belaka daripada bergulat dengan pembaruan dan perubahan radikal.

Parahnya lagi, tak sedikit pemuda yang bergabung dalam OKP Islam hanya untuk bergaya, menaikkan prestise di kalangan mahasiswa, atau sekedar mencari pasangan hidup. Sehingga OKP tak jauh beda dengan biro jodoh. Inilah yang disesalkan Syakib Arsalan, dalam bukunya yang masyhur Limadza Ta’akhral Muslimun Wa Taqaddama Ghairuhum bahwa kemunduran kaum muslim dikarenakan Islam telah dijumudkan oleh pemiliknya sendiri.(Abdurrahman, dalam Jalaluddin Rahmad, et.al, 2001).

Makanya tak heran ketika dihadapakan dengan konsep pembaruan Islam, sikap reaksionernya selalu dikedepankan dibandingkan sikap ilmiah kritisnya. Fenomena yang paling mencolok ketika buku Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan harian Ahmad Wahib terbit (tahun 1981). Reaksi keras dari kalangan OKP Islam, diantaranya; HMI, PMII, dan IMM bermunculan. Bahkan reaksi tersebut disikapi oleh MUI kala itu dengan memberi saran kepada pemerintah cq Menteri Agama agar ”mengambil kebijakan terhadap buku tersebut”. Tujuannya agar tidak merusak aqidah dan syariah.

Hal diatas sebenarnya hanya salah satu contoh dari banyak kasus mengenai sikap reaksioner yang ditunjukkan OKP Islam dalam menjawab pembaharuan Islam. Lahirnya Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dimotori Ulil abshar Abdalla, terbitnya buku Tuhan, Ijinkan Aku jadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan, atau Islam Kiri-nya Eko Prasetyo juga mendapat perlakukan yang sama dari beberapa OKP Islam. Bahkan yang terbaru adalah pro kontra mengenai Ahmadiyah di Indonesia. Ketika ada elemen masyarakat yang kemudian memberi dukungan terhadap Ahamdiyah, ternyata disikapi dengan tindak kekerasan. Seakan-akan formulasi teologi atau fiqh tradisional Islam merupakan harga mati yang tidak bisa diubah lagi.


Membaca Sejarah
Padahal sikap mepertahankan status quo semacam itu berdampak negatif. Islam kerap menjadi bulan-bulanan peradaban. Dalam catatan sejarah sepanjang abad ke-19 Islam telah bertekuk lutut dibawah kemajuan teknologi (khususnya persenjataan dan organisasi) barat. Dengan semangat revolusi industri barat kemudian berdiri sebagai penguasa dunia.

Sedangkan Islam dipandang sebagai bagian dari ciri keterbelakangan manusia Timur. Bahkan dibawah kolonialisme Belanda Islam hanyalah dianggap sebagai kekuatan nonkreatif yang identik dengan keterbelakangan manusia Indonesia yang dungu dan kurang terdidik. Islam dianggap tak pernah menyentuh masalah riil masyarakat dan tak mampu merumuskan masalah secara tepat.(Th. Sumartana dalam Wahib, 2003;402-403)

Fakta yang dapat kita baca adalah keberhasilan Snouck Hurgronje, yang dengan pikiran cerdas-kejinya, berhasil menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia, yang dimulai dengan menaklukkan Aceh tanpa pertumpahan darah. Hal ini terjadi karena kaum muslim cenderung menolak pembaharuan dan lebih senang tenggelam dalam kejumudan.

Padahal pembaharuan sangat penting dalam memurnikan kembali berbagai pemikiran atau pemahaman manusia terhadap agama Islam, yang telah berada dalam kondisi ’genting’. Sehingga Islam benar-benar terwujudkan sebagai rahmatan lil alamin dan terasa pula kehadiran di tengah-tengah kehidupan masyarakat sesuai perkembangan zaman.

Karena itu saat ini yang diperlukan adalah lahirnya Wahib-Wahib baru yang mampu memberikan pencerahan dalam pemikiran Islam sehingga Al-Qur’an dapat dijadikan senjata untuk menganalisa kehidupan manusia secara ilmiah sehingga selubung penindasan, eksploitasi manusia dapat dibongkar. Dan tentu saja harapa nterbesar jatuh pada kaum muda sebagai pelopornya.

Bukan sebaliknya. Kaum muda Islam justru bersembunyi dalam tempurung OKP sembari menjilat kekuasaan tanpa pernah peduli terhadap konsep pencerahan dan pembebasan manusia dalam arti yang sejati.***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy), Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: