WAKTU

JEDA

Rabu, 24 Desember 2008

Lingkaran Setan Kekerasan Guru Terhadap Murid

Dimuat di RADAR SURABAYA, 18 Desember 2008



Lingkaran Setan Kekerasan Guru Terhadap Murid
Oleh: Edy Firmansyah

Daftar Kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid kian hari kian panjang. Beberapa waktu lalu di Jember kita dikejutkan oleh tindak kekerasan oknum kepala sekolah terhadap muridnya. Sang kepala sekolah tega memukuli 5 muridnya hingga mengalami luka agak serius. Di Tapanuli, seorang guru Matematika tega menghajar muridnya hingga babak belur. Ironisnya perbuatan tersebut berhasil direkam kamera ponsel.

Berdasarkan data dari Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang paruh pertama tahun 2008, kekerasan guru terhadap anak (baca: murid) mengalami peningkatan tajam, yakni 39 persen dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan dengan pelaku-pelaku kekerasan anak lainnya. Data tersebut belum termasuk perlakukan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasional. Jika kekerasan psikis ini dimasukkan presentasinya akan kian tinggi.

Fenomena diatas jelas sebuah ironi. Pasalnya Sekolah (baca: Pendidikan) sejatinya merupakan sarana untuk membebaskan diri dari kebodohan, keterbelengguan, kemiskinan, penderitaan, penipuan serta penindasan. Sekolah yang menggunakan kekerasan dalam belajar–mengajar hanya akan merusak masa depan peserta didik secara psikologis.

Sayangnya banyak guru sering berpikir keliru soal masa depan anak. Para guru menganggap tindak kekerasan terhadap anak lazim dilakukan sebagai bentuk agak berlebihan sekolah dalam menjalankan ’hak’ mereka guna mendisiplinkan anak-anak didiknya. Tujuannya sederhana, semakin disiplin manusia, maka semakin mudah meraih kesuksesan.
Padahal yang terjadi bisa kebalikan dari itu semua. Dalam pandangan Freud kekerasan yang dilakukan guru terhadap murid akan terekam dalam alam bawah sadarnya. Dan sesekali bisa muncul dengan tindakan destruktif yang jauh lebih hebat dari apa yang dialaminya. Ini bisa dilihat misalnya, ada murid yang tega membunuh temannya sendiri hanya karena rebutan buah kersen (cheri), tawuran antar pelajar, maraknya seks bebas di kalangan siswa hingga peredaran narkoba dikalangan pelajar merupakan sedikit bukti dari ekses kekerasan terhadap murid.

Pertanyaan yang kemudian layak diajukan mengapa guru tega melakukan kekerasan terhadap siswanya? Tidakkah mereka berpikir—mengutip Khalil Gibran, penyair Lebanon —bahwa Anak didikmu bukanlah anakmu. Mereka adalah kehidupan. Cinta kasihmu dapat kau berikan pada mereka, tapi bukan pikiranmu, karena mereka mempunyai pikiran sendiri. Raga mereka dapat kau kurung, tapi tidak jiwa mereka, karena jiwa mereka tinggal di rumah masa depan yang tak dapat kau kunjungi, bahkan tidak melalui mimpimu.

Pertama, rendahnya intelektualitas guru. Yang berimbas pada rendahnya metode mengajar. Jamak diketahui bahwa menjadi guru—yang notabene PNS—adalah pilihan banyak orang di negeri ini. Maka berbondong-bondonglah masyarakat menempuh pendidikan guru. Artinya, mereka memilih sekolah tersebut bukan karena bercita-cita menjadi guru. Melainkan karena peluang untuk mendapat pekerjaan di dunia pendidikan ini memang jauh lebih besar.

Akibatnya ketika diterima dan mulai mengajar, mereka tak mau ambil pusing dalam proses belajar mengajar. Yang penting mengajar dan dapat gaji. Mereka tak akan menerapkan psikologi pendidikan atau menerapkan metode pengajaran yang sesuai dengan kharakteristik siswanya. Guru yang tidak paham psikologi pendidikan akan mengajar serampangan dan kerap bertindak diluar nalar kemanusiaan manakala tertekan.

Kedua, adanya hegemoni sistem pendidikan yang ada selama ini. Dimana hanya pejabat yang berkuasa yang berhak memberikan tafsiran atas realitas pendidikan yang ada dalam masyarakat. Sedangkan kepala sekolah, guru pengajar, guru bantu, dan guru tidak tetap hanya diminta patuh melaksanakannya. Misalnya ketika, anggaran pendidikan hanya dipatok 20 persen dari total anggaran APBN yang kemudian berimbas pada rendahnya gaji guru. Guru ‘dipaksa’ diam. Pun ketika gaji mereka yang rendah itu dikenai potonngan di sana-sini. Mereka tetap diminta loyal mengajar sembari memenuhi kebutuhan ekonomi yang kian melangit dan biaya pendidikan anak-anak mereka yang kian tak tersentuh.

Imbas dari itu semua kemudian muncul prilaku emosional yang destruktif dan violence. Mengajar asal-asalan dan sesekali diringi dengan tindak kekerasan. Sasarannya siapa lagi Sasarannya, siapa lagi kalau bukan anak-anak di rumah serta siswa-siswinya disekolah sebagai strata paling bawah.

Karena itu pemerintah harus segera mengambil tindakan mengatasi semua itu. Langkah yang mendesak dilakukan adalah memperbaiki seleksi rekruitmen guru. Menyeleksi secara ketat para calon guru mutlak dilakukan, baik kapabilitas keilmuan dan unsur psikologisnya. Karena bekerja menjadi guru bukan hanya berdasarkan paradigma gaji saja. Sebab yang dihadapi para guru adalah generasi penerus bangsa.

Hanya saja SDM yang baik dan mumpuni tidak cukup menunjang jika tidak didukung sistem pendidikan yang berpihak pada kemanusiaan. Artinya, selain menjamin kesejahteraan guru, penting kiranya merombak kurikulum yang kerap memberatkan anak, menjadi kurikulum yang lebih ’nyeman’. Terakhir, menindak segala bentuk kekerasan sekecil apapun dalam sekolah adalah keputusan bijak. Karena sangat tidak mungkin murid bisa mengembangkan kratifitas dan membuat inovasi baru sementara mereka belajar dalam represifitas.***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Direktur People’s Education Care Institute (PECI) Surabaya. Peneliti pada IRSOD ( Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).

Tidak ada komentar: