WAKTU

JEDA

Rabu, 24 Juni 2009

Gelar....Gelar...Gelar.....

Gelar

Seorang pejabat tinggi di Pamekasan-Madura marah-marah pada saya. Pasalnya, saya masih saja mencantumkan titel di depan dan dibelakang namanya dalam setiap penulisan berita. “Khan sudah saya katakan, tak perlu dicantumkan titel-titel itu. Bagi saya tak penting,” begitu sergahnya. Saya yang memang merasa bersalah hanya menganggukkan kepala tanda khilaf dan setuju.

Saya memang tak habis pikir mengapa pejabat itu tak suka gelarnya dicantumkan. Lagipula sebenarnya apa yang saya lakukan tak lebih untuk menghormatinya. Jujur saja, masyarakat Madura adalah masyarakat feodal yang kental. Dalam masyarakat feodal, gelar merupakan sebuah kehormatan. Baik itu gelar kebangsawanan (ningrat) maupun gelar akademik. Orang seringkali mudah tersinggung kalau gelarnya lupa dicantumkan. Bahkan tak sedikit orang yang sengaja memanipulasi gelar. Sengaja mencantumkan gelar yang memang tak pernah ia miliki hanya sekedar untuk dihormati.
Seorang kawan saya yang beberapa bulan lalu kebetulan menjadi salah satu caleg pernah memberikan stiker tentang pencalonannya pada saya. Di stiker tersebut tertulis lengkap namanya; H. Mu’in (bukan nama sebenarnya), SH. Saya dibuat garuk-garuk kepala (meski tidak gatal) dengan titelnya itu. ”Darimana ia dapat gelar SH dan gelar Haji itu? Lha wong empat bulan sebelum pemilihan calon legislatif digelar ia pernah bercerita pada saya kalau ia drop out dari kuliahnya di PTS di Jatim,” begitu batin saya. Ketika saya singgung soal ucapannya beberapa bulan lalu itu, ia hanya nyengir kuda sambil berbisik; ”Ini Madura, bung, bukan Amerika. Kesan lebih penting daripada isi kepala,” mendengar kalimatnya itu saya juga nyengir.
Barangkali memang ada benarnya kata-katanya teman saya itu. Di Eropa sana gelar memang bukan barang yang istimewa. Orang-orang sudah tak lagi memikirkan gelar. Di kartu-kartu nama orang-orang eropa tak pernah ada embel-embel gelar. Cukup nama dan nomor telepon saja. Bagi mereka yang sudah memiliki peradaban maju tak terlalu risih berkenalan tanpa menyebut gelar. Masyarakat negara maju lebih menghormati orang-orang yang memiliki karya dan berdedikasi tinggi pada bidangnya. Entah orang itu lulusan SD atau SMA. Selama ia berkarya, ia dihormati.

Karenanya tak heran jika Pramodya Ananta Toer, sastrawan asal Blora yang namanya berkali-kali menjadi kandidat Nobel sastra dunia itu dalam novelnya Bumi Manusia mewanti-wanti masyarakat Indonesia; "Jangan kau mudah terpesona oleh nama-nama (juga gelar-gelar, Pen). Khan kau sendiri pernah bercerita padaku: nenek moyang kita menggunakan nama yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dunia dengan kehebatannya—kehebatan dalam kekosongan. Eropa tidak berhebat-hebat dengan nama (juga gelar), dia berhebat-hebat dengan ilmu pengetahuannya (hal. 77). Itulah ilmu padi sejati. Semakin berisi semakin menunduk. Meskipun kemudian karena ilmu pengetahuan itu pula eropa menjadi penjajah yang rakus dan keji itu soal lain.

Harus diakui memang beda jauh dengan masyarakat feodal seperti di Madura (Indonesia juga). Seorang loper koran yang wawasannya luas karena tiap hari baca koran kata-katanya tak akan pernah digubris. Sedangkan seorang ningrat (dalam kebangsawanan), haji (dalam keagamaan) atau doktor (gelar akademik, meski gelarnya beli dan tak pernah punya buku di rumahnya) akan terus dipercayai.

Makanya tak heran kalau kawan saya yang lainnya justru geram gara-gara saya meledek gelar ningratnya yang nangkring di depan namanya. Dengan berbagai apologi ia menerangkan pada saya bahwa gelarnya itu tak ada hubungannya dengan feodalisme. Pertama, gelar itu ia gunakan untuk menghormati ayahnya yang sudah meninggal. Kedua, gelar itu ia gunakan untuk memperjelas klan dalam keluarga besarnya. Ketiga, ia gunakan gelar itu sebagai ’benteng’ diri dari tindakan a-susila seperti mabok, main perempuan, judi dan sebagainya. ” Masak seorang Raden melakukan tindakan seperti itu. Malu sama masyarakat,” tegasnya.

Ketika ia menjelaskan apologinya itu saya memang tak banyak komentar. Meskipun secara prinsip saya tak terlalu setuju dengan pembelaannya yang—menurut saya—dibuat-buat itu. Terutama soal gelar ningratnya yang jadi benteng dalam bersikap. Pasalnya, sudah menjadi catatan sejarah nusantara bahwa masyarakat bangsawan-lah yang kerap menjadi ’perusak’ masa depan perawan-perawan desa. Para gadis desa belia itu diambil istri oleh pembesar untuk melayani ’kebutuhan’ seks laki-laki sampai akhirnya sang pembesar itu memutuskan untuk menikah dengan perempuan sekelas dan sederajat dengannya. Kisah Gadis Pantai yang diturunkan Pram—sapaan Pramodya Ananta Toer—menjadi bukti mengenai itu. Kisah pilu seorang gadis pantai yang menjadi istri seorang pembesar. Seorang Raden Mas. Awalnya perkawinannya memberikan prestise baginya dan kampung halamannya, karena dia dipandang telah naik derajatnya, menjadi bendoro putri (meski seorang selir). Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Gadis pantai akhirnya dicampakkan. Dibuang kembali ke asalnya; masyarakat nelayan miskin, oleh pembesar Jawa yang memilikinya, setelah ia melahirkan seorang bayi perempuan.

Dalam bentuknya yang lain, kisah gadis pantai diatas bisa muncul dalam masyarakat feodal. Misalnya beberapa kasus perawan desa yang dicampakkan pembesar Jawa akhirnya bermuara pada prostitusi-prostitusi, menjual diri. Beberapa lainnya bunuh diri. Bahkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan terhadap anak, kekerasan terhadap TKW/TKI adalah gambaran lain soal yang berkuasa dan dikuasai. Pun kalau kita mau membaca Jakarta Under Cover besutan Memoar Emka itu, akan kita saksikan betapa kaum ningrat memang gemar menghabiskan uang hanya untuk mengumbar syahwat.
Judi? Ah, jangan ditanya. Contoh yang sempat mencuat adalah kasus pengungkapan harta kekayaan Soeharto beserta anak cucunya dalam Majalah Time Edisi Mei 1998. Dalam majalah itu disebutkan hampir rata-rata anak laki-laki Soeharto gemar menghabiskan uang dengan berjudi. Barangkali ini hanya puncak gunung es fenomena perjudian kaum ningrat.

Kasus mencuatnya jual beli gelar akhir-akhir ini tak lepas dari ambisi seseorang untuk menjadi ningrat secara akademik. Di negeri feodal menjadi Ningrat adalah kebanggaan. Berdere-deret gelar berarti berderet-deret uang siap menjelang. Karena itu tak berlebihan kalau disebut bahwa kaum ningrat adalah pelopor berdirinya masyarakat instan.

Menurut Daniel Bell, salah seorang sosiolog posmodern, masyarakat Instan adalah masyarakat yang menanggalkan sikap sabarnya. Tak mau lagi percaya bahwa peradaban manusia yang paling maju dilalui melalui proses panjang yang pembelajaran tanpa henti. Masyarakat instan, lanjut Bell, masyarakat yang mati nurani dan akal budinya. Yang dikedepankan adalah kepentingan parsial, dan percaya satu-satunya keinginan dan asanya bisa dicapai dengan uang.

” Lalu kamu mau apa? Mau menghapus gelar-gelar ningrat, gelar-gelar akademik, begitu? He...he... nggak semudah itu tau??” cerocos hati kecil saya. ”Memangnya kamu siapa? Presiden juga bukan?” lanjutnya.

Saya memang selalu ’takluk’ dengan hati kecil saya yang bawel itu. Tapi ngomong-ngomong soal Presiden di masa-masa mendekati Pilpres ini saya jadi punya harapan. Pada pemilu kali ini tak ada satupun iklan Capres-Cawapres yang mencantumkan gelar-gelar. Tak ada titel bertaburan. Beda jauh dengan pemilu 2004 lalu. Capres-cawapres sibuk pasang gelar berderet-deret banyaknya. Mungkin Capres dan cawapres kali ini berkaca pada pemilu Amerika, dimana Obama lolos jadi presidennya. Seorang kulit hitam. Tanpa embel-embel gelar, ia jadi dekat dengan konstituennya. Barangkali semangat tanpa gelar yang diusung Capres-Cawapres kali ini bisa memberikan teladan bahwa bangsa yang maju bukanlah bangsa yang memiliki manusia dengan berjutal elar tapi kosong isi kepalanya.

Hanya dengan pengetahuan kemajuan bisa diraih. Dan memperoleh pengetahuan tak harus dengan gelar yang tinggi-tinggi. Sudah banyak buktinya. Seorang Adam Malik bisa duduk sebagai wapres meski hanya lulusan sekolah rakyat. Dan yang lebih membuat saya lebih optimis, ada seorang pejabat tinggi di daerah saya mau dengan rela hati menanggalkan gelarnya. Persis seperti yang diteriakkan sastrawan Achiat K. Mihardja; ”Saya telah membuang embel-embel Raden saya ke sungai ciliwung!”

Apakah pejabat tinggi itu tahu bahwa gelar hanya merupakan pagar pembatas antara individu dengan rakyatnya seperti halnya unggah-ungguh bahasa Jawa-Madura itu? Saya tidak tahu pasti. Yang jelas saya setuju dengan Eka Budianta bahwa tanpa pelampung gelar yang banyak dan ’berat’ itu, orang lebih mampu menyelami lautan Ilmu sedalam-dalamnya. Sebab di dasar lautan itulah tersimpan mutiara yang tak ternilai indahnya.

Madura, Juni 2009

Tidak ada komentar: