WAKTU

JEDA

Senin, 22 Juni 2009

Suramadu vs Ferry

Jasa Ferry vs Jembatan Suramadu
Oleh: Edy Firmansyah


Akankah angkutan kapal ferry kamal-perak akan “kolaps” pasca dioperasikannya jembatan Suramadu? Pertanyaan ini mulai menjadi perbincangan publik akhir-akhir ini. Betapa tidak, sejak dioperasikan jembatan terpanjang di Indonesia itu, pengguna jasa ferry Surabaya-Madura menurun hingga 60 persen. Dengan penurun penumpang yang cukup drastis itu, disinyalir kerugian bisa mencapai miliaran rupiah.

Padahal sebelum jembatan yang menghubungkan madura dengan Surabaya itu diresmikan pada 10 Juni lalu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, angkutan ferry menjadi satu-satunya alat transportasi yang menghubungkan kedua pulau tersebut. Para pengguna ferry memang harus ekstra sabar ketika misalnya, menjelang lebaran, baik itu idul fitri maupun idul adha, harus antre hingga lima kilometer. Antrean juga bisa dirasakan ketika akhir pekan. Terlebih lagi ketika, ada geladak atau kapal yang terpaksa tidak bisa beroperasi karena diperbaiki. Tapi mau bagaimana lagi, saat itu, ferrylah satu-satunya angkutan yang menghubungkan Surabaya-Madura. Pun kita tak bisa berbuat banyak kecuali menerima dengan pasrah (meski ada yang menggeruti dalam hati), ketika pihak ASDP menaikkan tarif angkutan ferry ketika terjadi kenaikan harga BBM. Tak heran jikademo-demo mahasiswa untuk menurunkan tarif tersebut dianggap angin lalu oleh pihak ASDP. Karena ferry adalah transportasi penghubung jawa-madura.

Namun sekarang, setelah jembatan Suramadu resmi beroperasi para pengguna jalan tak lagi bergantung pada ferry. Apalagi tarif melintasi jembatan Suramadu terbilang murah jika dibandingkan dengan tarif ferry. Untuk angkutan motor, misalnya pengelola tol Suramadu mematok tarif Rp. 3.000,- sekali jalan. Sedangkan Mobil dan kendaraan sejenis dikenai tarif Rp. 30.000,-. Sementara untuk pengguna motor, PT Indonesia Ferry dibawah bendera Angkutan Sungai, Danau dan Pantai (ASDP) mematok tarif Rp. 5.000 sekali jalan. Sedangkan untuk mobil Rp. 60.000,-. Dengan perbedaan tarif itu, wajar jika kemudian banyak pengguna jalan lebih memilih menggunakan jembatan Suramadu ketimbang jasa angkutan ferry.

Hanya saja masalahnya tidak selesai sampai disini. Sejak Suramadu resmi dioperasikan, para pengguna jembatan yang tiang pancangnya diresmikan pertama kali oleh Megawati Soekarno Putri itu, juga harus rela antre. Terutama kendaraan motor. Bahkan antrean bisa mencapai 2 kilometer setiap harinya. Otomatis perjalanan tidak bisa lancar seperti yang dibayangkan. Maklum kecepatan motor dengan suasana macet hanya bisa maksimal hingga 30 km/jam. Bisa dibayangkan dampak polusi asap kendaraan bermotor bagi kesehatan pengguna jalan dalam kondisi macet tersebut.

Ironisnya kondisi seperti demikian tak hanya terjadi di jembatan Suramadu. Di negara maju seperti Amerika, kondisinya tak jauh beda. Jembatan-jembatan yang menghubungkan dua tempat dengan bentang yang cukup panjang selalu mengalami prodit (baca: macet). Artinya, jembatan sebagai alat penghubung dua tempat yang dibatasi sungai/selat ternyata tak mampu menjadi alternatif penyeberangan guna menekan pergerakan orang.

Karenanya tak berlebihan jika situs majalah Renegade menurunkan sebuah artikel dengan judul “Fuck Bridges, We Want Ferry!” artikel ini berisi ‘pertarungan’ jembatan dan feri di amerika. Dalam artikel tersebut dikecam kebodohan pengendara yang memacetkan jembatan. Pasalnya, kota yang ‘terbagi’ oleh sungai lebat/selat memang sering hanya ada satu dua jembatan penghubung. Sayangnya, Keberadaan jembatan tersebut ternyata tak berbanding lurus dengan pesatnya produksi dan konsumsi kendaraan bermotor masyarakat. Dampaknya, arus kendaraan jadi menumpuk di jembatan.

Melihat kondisi yang demikian, tidak berlebihan jika ferry ternyata masih akan dibutuhkan meski jembatan-jembatan alternatif terus dibangun. Dengan lain kata, pengelola kapal ferry tak perlu risau perusahaannya akan gulung tikar. Ferry justru menjadi solusi alternatif memecahkan kemacetan. Termasuk juga di jembatan suramadu.

Disamping itu ada beberapa hal unik pengguna ferry yang tidak bisa didapatkan pengguna jalan yang memilih melintasi jembatan. Pertama, ferry bisa jadi tempat istirahat bagi pejalan jauh tanpa harus kehilangan waktu tempuh. Benar memang Suramadu juga menyediakan tempat pemberhentian. Tapi pengguna jembatan akan kehilangan waktu tempuhnya. Lagipula bagi pengendara yang menempuh jarak jauh beristirahat harus kerap dilakukan untuk menghindari ngantuk ketika berkendara. Dengan beristirahat, kemungkinan terjadi kecelakaan akibat kelelahan dan kehilangan konsentrasi ketika berkendara bisa dikurangi. Jadi, bagi para pelancong atau pengendara motor yang menempuh perjalanan jauh, ferry masih bisa jadi pilihan beristirahat tanpa kehilangan waktu tempuh.

Kedua, bagi para pekerja, ferry bisa menjadi tempat rileks. Terlebih lagi kini ferry juga menyediakan penyanyi-penyanyi yang menghibur penumpang plus pramugari yang enak dipandang.

Ketiga, ferry masih bisa menjadi tempat interaksi antar pengendara atau penumpang. Ferry masih dapat menjadi alat transportasi yang menyediakan ruang sosial. Antar penumpang masih bisa saling ngobrol, curhat dan sebagainya. Sementara di jembatan para pengguna jalan cenderung individualistik karena harus berkonsentrasi kala berkendara. Bahkan ferry-pun disinyalir bisa memperamah wajah sebuah kota karena mampu mengurangi emisi gas buang (meski hanya satu jam) yang ditimbulkan oleh asap kendaraan bermotor. Para pengendara sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya bisa menggunakan ferry ketika jembatan suramadu menutup pintunya bagi jenis kendaraan jenis ini.

Tentu saja diperlukan reformasi dan pembenahan diberbagai lini jika ingin ferry akan tetap dilirik para pengguna jalan. Diantaranya dengan mulai pembenahan pelayanan pada para penumpang, kualitas kapal yang semakin baik (mengkandangkan kapal bobrok, dan membeli lagi kapal baru) serta waktu berlayar dan bersandar yang semakin dipersingkat. Sehingga ferry benar-benar menjadi alternatif penyeberangan yang layak dipertimbangkan pengguna jalan. Nah, sekarang tinggal pilihan pembaca masih setia dengan ferry atau menggunakan jembatan Suramadu untuk menyeberang?

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Pengguna jalan jalur Madura-Surabaya. Pemerhati masalah sosial. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy), Jakarta.

Tidak ada komentar: