WAKTU

JEDA

Jumat, 19 Juni 2009

MONOLOG KENANGAN

Monolog Kenangan


Bagiku inilah Kamis yang penuh dengan kelebatan masa silam. Masa lalu yang tiba-tiba tumpah membasahi notebookku. Kemudian mengering dan menyuguhkan peta tentang kenangan. Memaksaku kembali bercerita tentang masa silam.

Kenangan memang bukan barang baru bagi manusia. Dari generasi ke generasi setiap anak manusia selalu menyimpan masalalu. Entah itu kenangan buruk atau kenangan bahagia. Baik itu dalam catatan atau hanya sebentuk ingatan. Dan beberapa orang diantaranya kerap membukanya kembali, membaca ulang, untuk sekedar berkaca atau mencari kekuatan berpijak merengkuh masa depan yang gemilang. Tapi kenangan pula yang bisa membuat seseorang ambruk dan tak bisa lagi bangkit menata hidupnya kembali.

***
Berawal dari fesbuk baruku
Kau datang dengan cara tiba-tiba


Lagu Group Band Gigi berjudul My Faceebook melantun tenang dari speaker notebookku. Ya, facebook itulah yang membawaku kembali mengingatmu. Mungkin bagi banyak orang pertemuan kita hanyalah sebuah pertemuan biasa. Kebetulan belaka. Kadang-kadang kita bertemu begitu saja dengan seseorang yang tidak kita kenal, dengan teman dekat yang lama tak bersua, kemudian menjadi karib seperti amplop yang ditempeli prangko yang sudah dijilat-jilat punggungnya, lantas mendadak berpisah begitu saja tanpa sebab. Tapi aku memang tak terlalu percaya pada kebetulan. Pertemuan kita bukan kebetulan, Fee. Jejaring-jejaring dunia maya yang sedemikian luas dan jlimet itu yang telah mendudukkan kita di satu meja. Kita memilihnya jalannya. Kita sendiri.

Tak perlu Fee. Tak perlu kau bersusah payah menceritakan kehidupanmu sekarang. Sebab barangkali kita berdua memang sudah tak peduli dengan itu semua. Lagipula aku hanya akan terus menjadi pendengar tanpa banyak komentar, karena aku memang tak banyak berubah, Fee, masih saja pria pendiam dan pemalu, seperti dulu. Barangkali salah satu keberanian yang kumiliki saat ini hanyalah memintal kata-kata. Tak lebih.

Matahari terus meninggi. Panasnya seperti tembus di ruang AC ini. Butir-butir keringat mulai keluar dari pori-pori. Dan aku kehilangan kata-kata. Yach, masih seperti masa lalu khan fee!? Setiap kita bertemu aku selalu kehilangan kata-kata. Padamu aku memang hanya sanggup bersapa tetapi tak pernah sanggup berbagi cerita. Jika sekarang, mungkin alasannya sudah cukup jelas, kita punya kehidupan yang berbeda. Semua orang tahu, menyusun kehidupan itu memang gampang-gampang susah. Karena itu tak banyak orang yang mau merusak kehidupan yang telah dibangunnya tanpa alasan yang logis.

Masih ingatkah kau bagaimana kita membangun hubungan? Ya, keberanianku hanya lewat telepon. Bercinta dengan suara. Aku bisa bicara apa saja jika lewat telepon. Kita bisa saling tertawa, saling ledek, saling senyum. Tapi ketika berjumpa, hanya sepatah-dua kata yang berhasil meloncat dari lidahku. Tak lebih. Setelah itu hening! Hening menjelaga disetiap perjumpaan kita.

Mungkin lebih tepat kalau aku disebut pejantan imajinasi yang bisa menjadi pria sejati lewat mimpi-mimpi. Ya, aku mencintaimu hanya lewat mimpi. Dalam dunia realitas kau barangkali hanya sekedar teman biasa. Tapi dalam setiap mimpi-mimpiku kau adalah perempuan yang layak untuk dicatat diujung hatiku.

Memang peristiwa itu sudah puluhan tahun lalu. Tapi jejaknya masih saja tak bisa dihapus dari ingatanku. Meski aku lupa kapan tanggal dan waktunya tapi setiap inci peristiwanya kini berkelebat dalam anganku. Ya semenjak pertemuan kita di dunia maya, kau muncul lagi. Menyapaku sembari mengulum senyum.

Tolol? Kau katakan bahwa kelebatan kenangan masa lalu adalah sebuah ketololan!? Aku rasa tidak. Kita memang tak bisa kembali ke masalalu. Waktu tak bisa mundur. Lagipula aku tak terlalu tertarik untuk mengulang masalalu kita. Aku lebih suka mengenangnya. Sebab sejarah adalah cermin kita untuk hadir pada masa depan dengan cemerlang. Bukan begitu kata para motivator?

Tapi bicara soal ketololan, memang cinta monyet seringkali bikin tolol. Upaya menarik perhatian lawan jenis sudah dilakukan para binatang jauh hari sebelum manusia ada dibumi. Bahwa pasangan yang dipilih adalah pasangan yang berkarakter. Seorang pejantan akan mencari betina yang memiliki kelebihan dan keunikan. Sebagaimana seorang betina menilai pejantan dari potensinya. Karena kelebihan dan potensi kadangkala bisa dimiliki oleh lebih dari satu pejantan, upaya kawin dunia hewan kerap diwarnai pertumpahan darah.

Dan dunia manusia aku rasa juga tak jauh-jauh beda. Gara-gara rebutan kekasih orang bisa saling tikam. Gara-gara perselingkuhan manusia bisa saling gorok. Dan memang syahwat itu khan juga kebutuhan dasar yang alamiah. Tapi bicara soal potensi aku memang nol kala itu. Aku tak lebih dari penjantan yang pesakitan. Tak ada yang bisa diandalkan waktu itu. Yang bisa kulakukan hanya bersikap “liar”, seliar-liarnya untuk terus menarik perhatianmu. Dan aku sadar cara itu memang tak efektif. Sejatinya seorang pecinta harus mampu menunjukkan produktivitasnya yang tinggi pada orang-orang yang dicintainya. Kerja-kerja produktif adalah kerja kemandirian. Tentu saja jangan disalahkan artikan produktif dengan kesibukan. Banyak orang menganggap produktif itu sibuk. Sibuk ikut organisasi, sibuk mengerjakan PR, sibuk mengurusi kerjaan kantor, kemudian pension dan hidupnya, aktivitasnya dianggap selesai. Padahal produktif itu berkarya. Menghasilkan karya sebagai modal bertahan hidup untuk kemandirian. Manusia yang berkarakter tidak diukur dari seberapa banyak ia mampu menjadi bagian dari manusia elitis, hidup dengan mengandalkan gaji bulanan. Manusia berkarakter diukur dari karya-karya yang dihasilkan. Semakin bermanfaat produktifitasnya bagi banyak orang, maka ia semakin dikagumi.

Hidup menjadi produktif itu memang bukan watak masyarakat negeri ini. Berabad-abad lamanya, sejak feudal hingga colonial kita dipaksa menjadi pemalas. Masyarakat negeri ini lebih bangga hidup menjadi manusia gajian. Padahal tak ada yang bisa diandalkan dari orang-orang gajian, kecuali penghambaan yang total pada birokrasi yang banal. Mudah memang hidup menjadi pendamping manusia gajian; kemapanan jelas didepan mata, kebutuhan hidup nyaris tak kekurangan. Tapi alangkah indahnya seorang manusia yang mampu bertahan dalam penderitaan karena pasangan hidupnya melakukan kerja-kerja produktif hingga akhir hayatnya. Bergembira diatas penderitaan sendiri, susah juga dibagi berdua. Bukankah masih lebih bermakna seorang istri petani miskin yang bersetia sampai mati menemani suaminya yang terus-menerus menyetubuhi sawah untuk produktif mengolah tanah hanya sekedar bertahan hidup, daripada istri pejabat yang mapan dan bahenol tapi selalu saja terangsang melihat pemuda-pemuda ingusan karena suaminya sudah mulai pesakitan?

Terimakasih fee akhirnya kau memang tak memilihku (karena akupun memang tak akan pernah sanggup mendampingimu). Kau telah memiliki pejantan yang mapan. Yang hidup dalam kemapanan dan masa depannya gemilang. Kau tak perlu takut keturunanmu hidup dalam kubangan kemiskinan, kecuali ekonomi keluargamu pailit akut. Tapi tak ada kaum mapan kelas menengah yang berani mempertaruhkan hartanya untuk hal-hal yang masih dalam mimpi. Dan kau bahagia? Pasti! Kemapanan memang kerap dianggap standar dasar kebahagiaan. Sementara akupun juga memlih betinaku sendiri yang lagi-lagi hanya bisa kupeluk dan kusetebuhi dalam mimpi-mimpiku. Sampai akhirnya aku terjaga dan harus mulai percaya bahwa satu-satunya cara bertahan hidup, penuh makna dan dihargai adalah hadir dengan produktifitas tinggi. Aku terus mencobanya fee, terus dan terus. Dan kenangan masa silam kerap menjadi pembuka jalan untuk menemukannya. Karena sesampah apapun sebuah kenangan, ia menyimpan mutiara yang tak ternilai.

Madura, Juni 2009


Tidak ada komentar: