WAKTU

JEDA

Rabu, 10 Maret 2010

SUMPAH POCONG

SUMPAH POCONG
Oleh: Edy Firmansyah


(Dimuat di ANNIDA ONLINE, 09 Maret 2010)

Mungkin kalau bukan karena permintaan Ibu aku tidak mau menemui Mbak Hindun lagi. Buat apa membujuknya lagi untuk mengurungkan niatnya? Percuma memberikan pandangan pada Mbak Hindun. Percuma. Mbak Hidun bergeming dengan keputusannya. Tekadnya sudah bulat untuk melakukan sumpah segala sumpah itu; Sumpah Pocong. Ini sudah kali ketiga aku bertemui dan berbicara pada kakak Sulungku itu. Tapi hasilnya masih sama saja.

“Aku sudah ndak tahan diinjak-injak terus, Din. Nggak tahan. Ini satu-satunya jalan aku mendapatkan harga diriku lagi sebagai perempuan. Aku berani melakukan itu, berarti aku benar. Biar masyarakat kampung sini tahu itu.” Ujarnya sambil menghapus titik air mata yang jatuh dipipinya.

Aku merasakan betul kesedihan Mbak Hundun. Ia memang perempuan sama seperti aku. Tapi ia adalah tulang punggung keluarganya. Kalau bukan Mbak Hindun yang rajin menyisihkan gajinya, ia pasti tak bisa punya rumah sendiri. Mbak Hindun bekerja sebagai pelayan di sebuah café. Sudah berkali-kali ia bercerita padaku bahwa tuduhan suaminya, Mas Purwa, adalah fitnah belaka. Ia bersumpah tak pernah menjual tubuhnya pada pria manapun. Tak pernah. benar memang sebuah café indentik dengan dunia remang-remang. Tapi tak semua perempuan yang kerja disana adalah perempuan gampangan. Bahkan berkali-kali ia sujud di kaki suaminya untuk membuktikan omongannya. Tapi Mas Purwa tak pernah mau mengerti. Sebaliknya, ia mulai kerap memukuli Mbak Hindun. Alasannya macam-macam. Nggak becus kerja rumahanlah. Membantah suamilah. Mbak Hindun memang tak pernah menuruti hobi suaminya yang suka main judi itu. Ia tak pernah kasih kalau suaminya minta duit untuk taruhan bola atau taruhan balapan burung dara. Tapi ia tak pernah mempermasalahkan soal Mas Purwa yang tak punya pekerjaan tetap seperti yang digunjingkan orang-orang kampung. Tak pernah.

Benar memang pernikahan Mbak Hindun dan Mas Purwa memang tak bisa dikatakan biasa. ceritanya begini, sebelum menikah Mas Purwa memang naksir mbak Hindun. Tapi Mbak Hindun selalu menolak cintanya. Entah alas an apa. Sampai akhirnya, Mas Purwa memperkosa Mbak Hindun di pematang sawah. Memang hanya satukali kejadian itu. Tapi Mbak Hindun Hamil. Ketika Mas Purwa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu ia tak mengelak. Itulah yang membuat benih-benih cinta Mbak Hindun tumbuh. “Laki-laki yang baik adalah laki-laki yang mau bertanggungjawab. Aku yakin Ia adalah laki-laki yang baik. Bukankah tak ada manusia yang sempurna, Din. Tak ada. Kita berhak member kesempatan pada manusia yang jahat sekalipun untuk berubah jadi baik. Dan Mas Purwa jelas bukan manusia jahat. ” Ujar Mbak Hindun pada hari pernikahannya.
Namun sejak Mbak Hindun keguguran dan sejak Mas purwa di PHK sebagai buruh pabrik rokok sikapnya berubah. Ia jadi suka memukul. Marah-marah. Kadang mencaci Mbak Hindun di hadapan orang banyak. Pernah Mbak Hindun dijambak rambutnya lalu diseret dari pasar hanya karena ia berbicara lama dengan Kang Usman, teman sekolahnya waktu SD yang baru pulang dari Arab sebagai TKI. Terlebih lagi sejak Mbak Hindun kerja di café. Mas Purwa semakin sering ringan tangan. Bahkan yang paling parah, ketika Mbak Hindun hamil anak keduanya, ia pernah diinjak perutnya oleh Mas Purwa hanya karena pulang Pak Rudi, bekas tetangga Ibu, yang kebetulan Satpam di Café tempat Mbak Hindun kerja. Untunglah jabang bayi diperutnya itu lahir dengan selamat.

Tapi Mas Purwa tak pernah mau mengakui Aldira, anak perempuannya, yang baru saja lahir itu sebagai anak kandungnya. Darah daging Mas Purwa sendiri. “Aku tak percaya padamu lagi, Dun. Anak itu pasti anak haram. Hasil selingkuhanmu. Ngaku saja. Tak perlu pura-pura,” begitu tuduh suaminya. Tak hanya itu Mas Purwa malah menyebarkan gossip pada masyarakat kampung bahwa Aldi, yang lahir dari rahim Mbak Hindun adalah anak haram. Anak selingkuhannya Mbak Hindun.

Itulah mengapa Mbak Hindun bersikukuh melakukan sumpah pocong. Perempuan mana yang tahan dituduh menjual diri. Perempuan mana yang tahan dirinya dituduh berselingkuh dan melahirkan anak haram. ”Perempuan merdeka adalah perempuan yang bebas berkreasi, bebas berekspresi, bebas menetukan nasibnya sendiri, bebas mengembangkan pengetahuan dan wawasan, dan upaya meraih itu semua mendapatkan dukungan dari laki-laki pendampingnya. Dan aku tak pernah mendapatkan itu. Karena itu aku ingin meraihnya, membuka hati suamiku untuk mengerti arti kmerdekaan perempuan,” ujar Mbak Hindun.

“Tapi tidak dengan sumpah Pocong, Mbak. Sumpah, apapun bentuknya tidak menyelesaikan masalah. Sumpah tak akan menyelamatkan pelakunya dari petaka. Entah ia orang jujur atau pembohong sekalipun. Celaka milik semua orang yang hidup. Sumpah tak memberikan pemecahan masalah.”

”Hanya orang yang jujur yang berani melakukan sumpah segala laknat itu, Din. Dan aku tak mau dituduh pembohong dan perempuan pezina. Biar masyarakat tahu itu.”
”Mbak sebaiknya melaporkan kasus KDRT itu pada komnas Perlindungan perempuan atau pihak berwajib. Itu lebih menjanjikan.”

“Menjanjikan apa? Siapa yang percaya hukum sekarang? Prosedur yang berbelit-belit. Birokrasi yang butuh biaya tinggi. Dan interogasi yang keji. Aku tahu Mas Purwa menyakiti aku. Tapi aku tak tega dia disakiti ketika interogasi. Aku tak tega.”

”Mbak……”

”Alah….sudahlah Din. Kau berbusa-busa dengan cara apapun tak akan mengurungkan niatku melakukan itu. Malah aku semakin gigih untuk segera melakukannya. Doakan saja Mbakmu ini selamat dan sumpah pocong itu berjalan lancar. Itu saja sudah cukup membantu.”

Dan lagi-lagi aku pulang dengan tangan hampa. Manusia memang sebuah enigma. Ia tak bisa ditebak isi hatinya hanya dengan sekali menatap matanya. Tidak. Ditengah kelemahan manusia tersimpan sebuah kekuatan yang tak tertuga. Kekuatan itu bisa muncul ketika penindasan sudah tak lagi bisa dibendung raganya.

***

Sumpah Pocong yang dipimpin KH. Minhari di Masjid Al-Hidayah berlangsung lancar. Hampir semua warga kampung menyaksikan prosesi sumpah itu. Beberapa warga menangis. Mungkin iba dan takut tuah yang akan menimpa pelaku sumpah jika ketahuan ia berbohong. Mungkin juga miris akan keberanian perempuan seperti Mbak Hindun berani melakukan sumpah segala laknat itu. Mbak Hindun juga mengucapkan sumpah dengan lancar. Itulah cerita Ibu padaku lewat telepon sehari usai prosesi sumpah pocong itu. Aku memang tak bisa datang. Tugas kuliahku sedang padat-padatnya waktu itu.
Bahkan setelah seminggu usai sumpah pocong itu, pandangan masyarakat pada Mbak Hindun seperti berubah. Mbak Hindun kini tak lagi dipandang sinis oleh masyarakat karena termakan isu Mas Purwa bahwa kakak sulungku itu perempuan nakal dan pengumbar nafsu. Masyarakat juga mulai menerima pekerjaan Mbak Hindun sebagai pelayan café yang menuntut Mbak Hindun harus keluar rumah di malam hari dan kembali menjelang subuh sebagai sebuah profesi yang tak ada hubungannya dengan prostitusi.

“Aku merasa lebih tenang menjalani hidup, Din. Sangat tenang sekali hari-hari ini,” begitu SMS Mbak Hindun padaku.

Sementara Mas Purwa seperti tak berubah. Ia masih menjadi suami yang ringan tangan. Tiap kali pulang ke rumah selalu saja ada pertengkaran dengan Mbak Hindun yang ujung-ujungnya berakhir pada tindak kekerasan. Bahkan Aldira, anak semata wayang mereka yang baru berusia delapan bulan kerap menjadi korban luapan kemarahan Mas Purwa. Yang paling parah Aldi sempat dibawa ke rumah sakit karena telinganya berdarah akibat ditampar Mas Purwa. Oh, perempuan mengapa tak usai-usai penderitaan yang datang menyelimuti hidupmu.

***

Liburan kuliah kali ini aku memutuskan pulang kampung. Selain aku kangen sama ponakanku Aldira yang katanya sudah mulai bisa bicara aku juga pengen rehat sebentar dari rutinitasku sebagai editor lepas. Lagipula sudah dua hari ini baik Ibu maupun Mbak Hindun tak lagi berkirim kabar. Berkali-kali aku hubungi HP Mbak Hindun tapi selalu nada sibuk. Ketika hendak berangkat tiba-tiba Pak De Karta, kakak Ibu yang bekerja sebagai tukang linting rokok di pabrik yang tak jauh dari kontrakanku, sudah ada di depan pintu kontrakanku.

“Tumben Pak De mampir kemari. Ada apa?”

“Nak Andin sendiri mau kemana?”

“Pulang ke Desa. Ada apa?”

“Desa kita kena longsor sejak kemarin. Ribuan rumah tertimbun tanah. Ratusan orang jadi korban. Sekarang masih dalam proses evakuasi. Juga rumah Ibu dan kakakmu. Tapi beruntung Jasad Ibu, Hindun dan Aldira sudah ditemukan. Tapi orang kampong tak berani menyentuhnyaa. Takut kena tulah laknat sumpah pocong. Sementara Purwa pergi entah kemana.”

Aku tertegun. Tiba-tiba tenggorokanku kering. Kering sekali. Oh, Ibu. Oh kakak. Tiba-tiba langit seperti sungsang. Tak kuingat lagi apa yang terjadi. Satu-satunya suara yang kurekam adalah suara Pak De berteriak minta tolong. Setelah itu aku lungrah. Gelap gulita menjelaga dimana-mana. ***


Sampang, Madura Awal Maret 2010

2 komentar:

dwisuka mengatakan...

cerpen yg bagus.... Soal KDRT, culture, agama, kena semua. Salam kenal....

edyfirmansyah mengatakan...

makasih komennya. salam kenal dari jauh!