WAKTU

JEDA

Rabu, 24 Maret 2010

BAPAKKU BRIGADIR KEPALA SULAIMAN HASBI

Cerpen Oleh: Edy Firmansyah

Malam itu hujan turun dengan deras. Tapi Andini tak peduli meski bajunya basah karena menerobos hujan. Andini segera mencegat Taxi begitu mendapat pesan singkat bahwa Pacarnya, Irwan, menjadi korban penganiayaan dalam aksi pengrusakan sekretariat Himpunan Mahasiswa di Kota M oleh beberapa oknum kepolisian. Dalam perjalanannya ke rumah sakit berkali-kali Andini mengumpat dan mengutuk polisi. “Dasar Polisi Bajingan! Kalian tak berhak melakukan tindakan brutal itu. Tidak berhak. Shit!”

Sebenarnya Andini mencoba bersikap tegar. Bukankah memang begitu resiko perjuangan? Bukankah begitu resiko memiliki kekasih seorang aktivis, yang tiap kali turun ke jalan selalu dibayang-bayangi ancaman represi aparat Negara? Tapi tak terasa airmatanya leleh juga. Ia tak bisa membayangkan betapa sakitnya tubuh dan hati Irwan ketika dihantam dan digebuki tangan keras polisi, diinjak-injak sepatu Lars sembari dicaci maki dan dipecundangi. Lelaki yang lembut, penuh pengertian dan penyayang itu, yang telah mengisi hidupnya hampir dua tahun lebih itu kini harus meringis kesakitan di rumah sakit. ” Benar-benar biadab!”

Meski berkali-kali mengumpat, sebenarnya Andini masih setengah hati membenci polisi. Betapa tidak. Ia lahir dan dibesarkan di keluarga polisi. Kakeknya adalah purnawirawan polisi. Tepatnya anumerta. Ayahnya juga seorang polisi. Kakaknya juga seorang polisi, anggota Densus 88 yang terkenal itu. Artinya, biaya hidupnya dari kecil hingga ia kuliah sekarang ini adalah hasil jerih payahnya Ayahnya yang berpangkat Brigadir Kepala mengabdi pada negara. Tapi ayahnya bukanlah sosok yang keras. Selama hidupnya, ayahnya tak pernah melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Ia sosok penyabar dan penyayang. Tak hanya pada ibu, juga pada anak-anaknya. Meski seorang polisi yang didik dengan latihan militer yang penuh dengan kekerasan, ayahnya tak pernah membentak atau berteriak jika sedang marah.

”Kekerasan itu menghancurkan Andini. Tidak hanya fisik, tapi secara psikologis. Dan Ayah mencoba mengindari itu didalam menjadi kepala keluarga,” begitu nasehat Ayahnya pada Andini. ” Tak semua Polisi berwatak keji. Tak sedikit pula yang memiliki sikap ksatria dan tidak menggunakan kekerasan dalam menginterogasi pelaku kejahatan,” begitu penjelasannya ayahnya di waktu yang lain ketika Andini mengajak ayahnya diskusi usai mendengar pengakuan Kemat, salah satu korban peradilan sesat dalam acara Kick Andy, yang bercerita ketika ia dinterogasi polisi sambil disiksa dan diancam pistol agar mengakui perbuatan yang tak pernah dilakukannya, yakni membunuh sesosok mayat yang diduga bernama Asrori.

Kebanyakan Polisi yang memiliki anak yang kuliah selalu menasehati anaknya agar tidak masuk organisasi mahasiswa. Tapi Ayahnya pula, Brigadir Kepala Sulaiman Hasbi, yang justru mengijinkan ia bergabung dalam organisasi mahasiswa dengan alasan yang cukup sederhana; ”Anak muda harus banyak pengalaman dan wawasan yang luas. Dan organisasi mahasiswa bisa mengantarkanmu memperluas wawasan, memiliki banyak kolega dan mendapat banyak pengetahuan. ”

Pun ketika ia bercerita pada Ayahnya ketika sudah resmi menjadi anggota Himpunan Mahasiswa, salah satu organisasi ekstrakampus, ayahnya mengacungi jempol. ” Pilihan yang tepat. Organisasi itu banyak jaringannya. Kau bisa cepat mendapat kerja. Meski polisi begini aku pengagum pemikiran Nurcholish Madjid,” seloroh ayahnya. “Ah, seandainya semua polisi seperti ayahku. Pasti tak ada lagi kekerasan, tak ada lagi adu domba. Tak perlu intelejen polisi untuk mencetak preman-preman bayangan meresahkan masyarakat tapi jika diperlukan bisa membantu polisi. Dan polisi tak perlu harus fokus latihan fisik untuk mengekarkan otot tapi juga wajib baca buku diperpustakaan biar otaknya tak tumpul, sehingga bernas dalam menyelesaikan masalah,” begitu batin Andini.

Tapi Andini memang tak lama di Himpunan Mahasiswa. Hanya satu tahun ia aktif disitu. Berikutnya ia eksodus ke Liga mahasiswa yang menurutnya lebih progresif. Bagi Andini Himpunan Mahasiswa tidak banyak memberikan ghiroh berorganisasi pada dirinya. Himpunan Mahasiswa bagi Andirni bulanlah organisasi yang progresif. Sejarah organisasi itu bagi Andini amat kelam. Pada tragedi berdarah 1965 Himpunan mahasiswa justru bergandengan tangan dengan angkatan darat dalam membantai secara membabi buta jutaan kader-kader PKI dan aktivis organisasi progresif seperti Lekra dan Gerwani. Himpunan Mahasiswa pula yang menjadi pelopor bangkitnya Fasisme orde baru. Sungguh organisasi yang berlumuran darah. Itulah mengapa bagi Andini Himpunan Mahasiswa tak pernah jelas dalam gerakan. Andini masih ingat betapa Himpunan Mahasiswa begitu ultranasionalis ketika gencar berunjuk rasa soal isu-isu ganyang Malaysia, ketika ikon kebudayaan seperti tari pendet dan batik diklaim sebagai milik Malaysia. Tanpa pernah menjelaskan secara historis soal batik. Ya, memang Jawalah yang mempopulerkan budaya membatik sejak abad ke-17. Tapi kebudayaan yang hampir sama dengan batik sebenarnya telah ada di Afrika dan India sekitar 2.000 tahun yang lalu. Pola-pola batik juga amat dipengaruhi oleh budaya Hindu dan, setelah itu, oleh budaya Timur Tengah dengan motif Arabesque-nya. Justru karena "perselingkuhan" inilah motif-motif itu makin beragam.

Pun organisasi ini Tak garang ketika Indonesia memuluskan laju neoliberalisme dengan membiarkan investor asing menguasai sumber daya mineral penting dan memuluskan pakta pasar bebas dengan Cina yang nyata-nyata meluluhlantakkan kehidupan ekonomi masyarakat miskin.

Namun berorganisasi adalah pilihan politik. Itulah mengapa meski kini ia pindah organisasi, cintanya pada Irwan, tak pupus. Cinta tak ada hubungannya dengan organisasi. ”Aku tidak bersetubuh dengan organisasi. Aku bersetubuh denganmu, Mas Irwan,” seloroh Andini ketika berdiskusi dengan kekasihnya.
Soal pindah organisasi itu Ayahnya juga tahu. Dan ia tak banyak bicara soal itu. ”Jika menurutmu itu baik, lakukan. Tapi saran Ayah hati-hati dengan organisasi Liga Mahasiswa. Ia antek komunis gaya baru,” begitu nasehat ayahnya. Andini hanya tersenyum sembari menggeruti dalam hati. ”Isu klise. Sudah masuk keranjang sampah kok masih saja disebar-sebarkan. Huh….!”

Tapi Soal hubungannya Irwan, Ia memang tak pernah cerita pada Ayahnya. Belum, belum waktunya. Tak pernah Irwan diajak ke rumahnya. Pun tak pernah Irwan tahu silsilah keluarganya. ”Jika tiba waktunya aku akan bercerita banyak tentang aku dan keluargaku. Dan aku akan memperkenalkan kau dengan keluargaku. Tapi tidak sekarang,” begitu pinta Andini pada Irwan. Yang Irwan tahu, Andini adalah anak polisi. Titik. Hal itu dilakukan Andini karena tak ingin mengecewakan Ayahnya. Sebab sejak awal kuliah Ayahnya selalu berharap jika Ia menjalin hubungan serius dengan laki-laki, laki-laki itu haruslah Polisi. ” Aku ingin suamimu nanti Polisi, Andini. Aku ingin punya mantu polisi. Apalagi Perwira.” Begitu selalu pesan Ayahnya.

Sebenarnya apa yang dikatakan ayahnya soal keinginannya menjalin hubungan serius dengan polisi tidak tanpa alasan. Setidaknya sudah lima kali Letnan Dua Arbi, salah seorang teman SMA Andini dulu yang juga salah satu atasan Ayah main ke rumah. Juga sudah dua kali Andini diajak nonton film bareng di Twenty one. Tapi sama sekali Andini tak tertarik dengan Arbi. Benar memang waktu SMA Andini pernah pacaran dengan Arbi. Tapi hanya dua bulan. Hanya cinta monyet. Tak lebih.

“Tapi aku masih mencintaimu, Din!” ucap Asbi usai nonton film Bahwa Cinta itu Ada di Twenty One.
”Tapi aku tidak!”

“Lihatlah, Din. Aku dah kerja sekarang.”

”Maaf, Arbi. Bagiku cinta tak ada hubungannya dengan harta atau pangkat. Mungkin bagi Ayahku iya. Tapi Cinta soal hati. Dan aku tak tergiur dengan perwiramu itu. Aku tak pantas untukmu.”

Memang Ayah Andini berharap besar Andini bisa serius dengan Letnan Dua Arbi. Tapi Andini samasekali tak setuju dengan Ayahnya soal cinta. Meski begitu Andini semakin kagum pada Ayahnya, Brigadir kepala Sulaiman Hasbi. Itulah mengapa ia terus mendorong ayahnya agar segera naik pangkat. ”Harusnya Ayah ambil Sekolah Calon Perwira itu. Biar ayah bisa jadi Perwira. Biar Bisa memberikan pendidikan antikekerasan pada anak buah. Agar Polisi-polisi muda itu tak lagi anarkis dan menganggap dia paling hebat dan menganggap orang lain di luar institusi kepolisian atau institusi militer tepatnya sebagai masyarakat rendah yang layak ditindas dan digebuki.”

Tapi apa jawab ayahnya? ”Mau kamu Ayahmu jadi perwira tapi kau tidak bisa kuliah dan jadi sarjana? Mau? Andini, jadi perwira itu butuh uang yang tidak sedikit. Sudah hampir ratusan rupiah Ayah keluarkan untuk masukkan kakakmu ke kepolisian. Sudahlah, cukuplah begini saja, asal anak-anak ayah sukses masa depannya. Kamu bisa kuliah. Kalau mau, kamu sajalah yang cari suami perwira polisi nanti.”

Andini hanya mengulum senyum mendengar penjelasan Ayahnya. Ia kemudian memeluknya erat sekali. ”Ingin aku membahagiakan Ayah dan Ibu sebagai balas jasa membesarkan dan menyekolahkanku. Tapi, maaf Ayah, hingga saat ini aku masih mencintai Mas Irwan. Masih. Dimataku Mas Irwan sudah cukup sempurna. Tapi aku bangga jadi anak Brigadir Kepala Sulaiman Hasbi.” Batin Andini.

***
Hujan sudah reda ketika Andini tiba di Rumah Sakit Dharmala. Ia bergegas ke lantai tiga ruang Paviliun kamar C, tempat Mas Irwan dirawat. Di depan kamar tampak puluhan aktivis Himpunan mahasiswa menyambut Andini.

” Besok mau kita turun lagi. Kamu mau bikin front?” Kata Sidik, ketua Himpunan Mahasiswa

“Aku setuju. Biar jadi mimpi buruk presiden. Polisi sudah habis. Di Toraja Ratusan pelajar SMK
menghancurkan polsek hanya karena temannya dianiaya oknum aparat. Masyarakat semakin paham cara melawan kekerasan terorganisir. Masa kita kalah sama pelajar.”

”Tapi besok kita mencoba tidak tersulut.”

”Setuju. Aku dan kawan-kawan ikut turun besok. Sebelum Kapolda dicopot dan oknum pelaku ditindak tegas. Dan penindakannya disiarkan pada publik. Tapi isu gulingkan SBY-Boediono tetap jalan.”

Setelah beberapa menit berdiskusi, Andini masuk ke kamar rawat dimana Irwan terbaring. Irwan tersenyum. Meski kedua pipinya lebam dan matanya memar, aura ketampanannya masih kelihatan.

“Kau tidak apa-apa, Mas!”

”Tidak! Mungkin hanya sedikit nyeri dibagian ini dan ini.” Sambil menunjuk pipi dan dadanya. Kontan Andini memeluk kekasihnya itu.

” Sudah tahu pelakunya?”

” Tidak semua. Ketika aku tiba di Kantor Polisi untuk melaporkan aksi pengrusakan Sekretariat Himpunan Mahasiswa yang dilakukan beberapa oknum polisi, aku langsung dibekap dari belakang. Kemudian beberapa orang memukuliku ramai-ramai. Semuanya berjaket. Jadi tak kulihat papan nama didada mereka.”

” Kejam betul mereka itu. Tapi Mas ada yang kenal?”

” Ada. Salah seorang yang menginjak-injakku lupa tak pasang resliting jaketnya. Papan namanya kelihatan.”

” Siapa?”

”Sulaiman Hasbi.”

Andini tertegun. Wajahnya yang memerah karena amarah tiba-tiba cair. Kesedihan membekap dadanya. kesedihan yang aneh. Airmatanya leleh.

“Kamu kenal?”

” Sulaiman Hasbi. Ia Bapakku!”


Pamekasan, 07 Maret 2010

Tidak ada komentar: