WAKTU

JEDA

Jumat, 05 Maret 2010

Siang Kelabu Atawa Amir dan Aisyah

SIANG KELABU
Oleh: Edy Firmansyah


Nek, ceritakan padaku tentang Penderitaan.” Kata Fesha pada neneknya yang jago cerita itu. Maka sang nenek bercerita tentang Amir.

Tekad Amir sudah bulat untuk meminang Aisyah, perempuan yang ia pacari sejak setahun lalu. Surat Aisyah yang keduapuluhlima yang baru saja dibacanya itulah yang menjadikan tekad itu menggelora dan menuntut disudahi. Sekali lagi Amir membaca surat itu.

Mas Amir tercinta,
Barangkali Mas tidak menyangka aku akan membalas surat mas secepat ini. Itu karena aku dilanda kegembiraan yang sangat, Mas. Makanya aku segera menulis surat ini.
Mas, abah merestui hubungan kita. Kemarin abah memergoki aku membaca suratmu. Aku sempat takut, Mas. Takut sekali. Takut abah menamparku lagi, seperti waktu kita pertama kali bertemu di belakang pesantren itu. Tapi Abah tidak melakukan itu. Abah hanya berpesan agar kamu segera datang ke pesantren. Abah akan menikahkan kita Mas. Nikah siri. Baru nanti setelah Mas punya pekerjaan tetap, abah akan menikahkan kita di KUA.

Sungguh aku tak menduga Abah bisa secepat itu berubah. Sempat aku ragu kalau-kalau abah hanya hendak mempermainkan kita. Tapi nyatanya tidak. Abah sungguh-sungguh, Mas! Abah bahkan titip salam sama Mas dan meminta maaf atas kejadian di belakang pesantren enam bulan lalu. Karena itu aku bersegera berkirim surat ini, agar mas bisa memberi kabar kapan akan ke pesantren.

Mas, kegigihan kita membuahkan hasil. Mas benar, tak ada yang lebih ampuh usaha. Tak ada yang lebih sejuk dari do’a. Mas harus segera kesini. Aku menunggu dengan segenap cinta.

Yang mencintaimu
Aisyah.


Amir melipat kembali surat dari kekasih hatinya itu. Ya, tak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan, batin Amir. Tak ada. Bahkan Haji Siraj, ayah Aisyah, pemilik pesantren putri Al-hidayah tak bisa lepas dari hukum itu. Haji Siraj yang pada awal-awal hubungannya dengan Aisyah begitu membenci dirinya akhirnya luluh juga. Amir masih ingat betul bagaimana Haji Siraj menampar dan mencacinya dihadapan Aisyah ketika ia tertangkap basah sedang berduaan dengan anak semata wayangnya itu.
“Dasar bajingan! Pertama datang kesini kau sudah bikin onar. Mengajak masyarakat berunjuk rasa menolak pembebasan tanah untuk perluasan pesantren. Kini kau ingin menzinai anakku. Dasar komunis sialan. Bertobatlah kamu sebelum dilaknat Allah. Laknat Allah jauh lebih kejam.”

“Plak-Plak!” tangan Haji Siraj cengan depat menampar pipi Amir. Raungan Aisyah tak dihiraukan Haji Siraj. Malah Aisyah diseret kembali ke dalam Pesantren oleh beberapa santriwati. Haji Siraj terus saja mengumbar caci maki dan sumpah serapah pada Amir. Amir tak melawan. Tak ada guna melawan orang yang penuh amarah. Jelas akal sehatnya sedang tertutup kabut benci. Juga orang macam beginian tak bisa lagi diajak diskusi.

Tapi Amir yakin apa yang ia lakukan benar. Bahwa penolakan atas pembebasan tanah untuk perluasan pesantren itu penting. Bagi masyarakat petani, tanah adalah sukma mereka. Ketika petani sudah kehilangan tanah, maka mereka kehilangan daya hidup mereka. Kehilangan rejeki mereka yang sedikit itu. Ketika tanah-tanah mereka sudah habis dijual dengan harga murah atas nama apapun, termasuk juga atas nama agama, mereka akhirnya hanya akan menjadi hamba. Yang laki-laki menjual tenaganya ke kota untuk jadi buruh murah. Sementara para perempuan terpaksa karena tuntutan ekonomi akan menjual tubuhnya. Jadi pelacur.

Boleh saja Haji Siraj bersikukuh bahwa menjual tanah dengan harga murah untuk perluasan pesantren adalah jihad. Jihad atas nama agama. Tapi bagi Amir pernyataan Haji Siraj tak lebih dari pernyataan kaum pemilik modal yang hendak menguasai tanah dengan hukum ekonomi keji; mendapatkan laba sebesar-besarnya (memperluas pesantren berarti menambah daya tampung santriwati. Jika daya tampung bertambah pemasukannya akan bertambah pula) dengan modal sekecil-kecilnya (membeli tanah dengan harga murah) dengan menggunakan agama sebagai tamengnya.

Toh, ketika kriminalitas mulai marak di Desa Sokoturo dan pelacuran mulai menggeliat Haji Siraj tak akan melihatnya sebagai dampak dari ketakbermilikan masyarakat akan akses bertahan hidup yang layak. Karena kemampuan mereka hanya macul dan bercocok tanam, ketika tak punya tanah mereka akan kelimpungan cari makan. Dan sisi paling negatif dari kondisi itu adalah kriminalitas dan pelacuran. Haji Siraj hanya akan berceramah soal kemaksiatan dan perbuatan keji imbas dari tak tekunnya beribadah. Bah….lagi-lagi nantinya ia hendak lepas tangan dengan tameng hadist dan ayat suci.
Itulah mengapa Amir dengan gigih memberikan pendidikan politik dan membangkitkan kesadaran massif pada masyarakat tempat ia KKN. Dan tak sia-sia Amir menggeluti dunia aktivis sejak kuliah. Agitasinya berhasil. Demo besar-besaran terjadi. Rakyat tak jadi menjual tanahnya.

Soal jatuh cinta Amir juga tak merasa dirinya keliru. Ia mencintai Aisyah setulus hati. Meski ayahnya membencinya, toh Amir tak membunuh cintanya. Bagi Amir Aisyah adalah perempuan idamannya. Cantik. Hatinya polos. Berjilbab pula. Amir memang sudah jengah dengan perempuan kota yang tak lebih hanya jadi korban iklan dan mode. Dan Aisyah menurut pandangan Amir tak masuk perempuan korban iklan. Tak hanya itu. Tiap melihat Aisyah, Amir seperti melihat almarhum bundanya. Hidup Aisyah mirip dengan hidup bundanya. Sejak kecil tinggal bersama Ayah karena nenek Amir, Ibunya bunda Amir meninggal. Begitu juga Aisyah. Ia sejak kecil diasuh Haji Siraj tanpa pernah mengenal belaian ibu. Dan entah mengapa hingga Aisyah dewasa haji Siraj tak pernah kawin lagi.

Bukan, bukan pula soal Aisyah anak sematang wayang Haji Siraj yang punya tanah luas dan harta banyak. Bukankah Amir pernah bersikukuh jika hubungannya tidak direstui ia akan bawa lari Aisyah. Itulah mengapa Meski KKN usai dan Amir harus kembali ke Surabaya ia tetap menjalin hubungan dengan Aisyah. Paling banyak memang lewat surat-surat. Tapi pernah dua kali Aisyah datang ke Surabaya untuk sekedar melepas rindu.
Dan memang tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Sebentar lagi ia akan memiliki Aisyah seutuhnya. Tak perlu ada niatan melarikan Aisyah. Tak perlu lagi. Sebab hubungannya kini direstu orang tuanya.

“Oh, Aisyah kabar itu semakin memantapkan cintaku padamu. Dan aku tak akan mengecewakanmu jika kita bersatu nanti. Tak akan. Aku akan menulis lebih giat lagi. Agar lebih banyak yang dimuat di Koran. Agar kita bisa makan dari honor-honor tulisan itu. Bukankah itu lebih membahagiakan, makan dari jerih payah dan keringat sendiri. Daripada sekedar menyusu pada orang tua atau mertua?” begitu batin Amir.
Amir kemudian mengambil Bollpoint dan mulai menulis surat balasan, bahwa minggu depan ia akan dating ke Pesantren Al-Hidayah memenuhi permintaan Haji Siraj.

***

Amir akhirnya tiba di Desa Sokoturo mengendarai vespa bututnya. Matahari sudah meninggi. Tapi Desa Sokoturo masih menyisakan sejuknya embun pagi. Desa yang terletak di Kabupaten Lumajang itu tak banyak berubah. Sepanjang jalan masih dipenuhi debu. Karena jalanan di desa itu tak pernah dikeraskan oleh batu apalagi aspal. Hanya tanah liat berwarna kekuningan. Jika panas berdebu. Jika hujan becek. Di sisi kiri jalan nampak dua-tiga orang mengendarai sepeda sembari membawa rumput, pakan untuk sapi-sapi pembajak. Di sisi kanan jalan nampak beberapa perempuan memikul bakul berisi sayur dan ubi-ubian hasil tanah mereka untuk dijual di pasar. Sawah-sawah terhampar luas. Pohon-pohon bambu yang berdaun lebat semakin menambah hijaunya Sokoturo.

Menuju Pesantren Al-Hidayah tidaklah susah. Cukup mengikuti jalan Desa ini saja sampai di pertigaan pertama, lalu belok kiri. Sekitar 500 meter setelah belok kiri akan terlihat bangunan pesantren yang luas.

Tapi ketika tiba di depan pesantren dada Amir tiba-tiba berdegup kencang. Bayangan Aisyah tiba-tiba melintas dalam benaknya. Tak lagi ditemukan bangunan pesantren yang megah. Yang ada hanyalah puing-puing gedung yang menghitam. Asap masih terlihat membumbung di beberapa bagian gedung. Serpihan kaca, genting dan batu bata memenuhi halaman yang ditumbuhi rumput. Pesantren Al-Hidayah tinggal puing-puing. Beberapa orang Nampak sedang mengais-ngais sisa-sisa reruntuhan.

Ada apakah gerangan? Oh, Aisyah dimanakah dikau berada kekasihku?

“Nak Amir?” sapa seseorang di belakang Amir. Amir menoleh.

“Pak Carik!” keduanya lantas berpelukan. Dulu di rumah Pak carik inilah Amir menginap selama KKN.

“Ada Apa ini pak? Kemana Haji Siraj? Kemana Aisyah?”

“Haji Siraj meninggal tiga hari lalu. Ia dihakimi massa. Ia tertangkap basah tengah menyetubuhi santriwatinya sendiri. Para santriwati yang melihat kejadian itu kemudian melapor ke kepala desa. Usut punya usut ternyata dari kesaksian beberapa santriwati, Haji Siraj tidak hanya sekali dua melakukan perbuatan biadab itu. Setidaknya ada 23 santri yang mengaku pernah ditiduri haji Siraj. Dan atas dorongan teman-temannya ke-23 santriwati itu berani mengaku. Bahkan dua diantara santriwati itu sedang hamil. Warga yang mendengar kesaksian itu langsung kalap. Ratusan warga kemudian menyerbu Al-Hidayah. Membakar pondok pesantren itu, kemudian menggebuki beramai-ramai Haji Siraj hingga tewas dengan mengerikan. Kedua tangannya putus. Di tubuhnya ada puluhan sabetan senjata tajam.”

“Bagaimana Aisyah, Pak? Dimana dia?”

Pak Carik diam lama sekali. Menarik nafas kemudian melanjutkan bercerita. “Aisyah meninggal. Jasadnya jadi abu. Ia mati hangus terbakar. Ketika massa membakar pesantren, Aisyah sedang tidur pulas. Abunya sudah kami kuburkan di belakang Pesantren kemarin bersebelahan dengan makam ayahnya.”

Amir tiba-tiba lungrah. Semangat hidupnya pecah berkeping-keping. Siang itu bumi seakan berhenti mengelilingi matahari. Amir tak sanggup lagi menyangga berat tubuhnya. Amir lindap kemudian jatuh ke tanah.

“Aisyahhhh……”

“Bagaimana nasib Amir selanjutnya, Nek?”

“Itu sama sekali tidak penting cucuku. Sama sekali tidak penting. Bukankah tak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan?” Ujar nenek sambil membelai rambut Fesha yang lurus.

Sampang, Akhir Februari 2010

Cerpen ini dimuat di Harian SURABAYA POST, 03 Juli 2010

Tidak ada komentar: