WAKTU

JEDA

Jumat, 05 Maret 2010

KENTUT-KENTUT CINTA (Dalam Empat Adegan Cinta)

KENTUT-KENTUT CINTA (Dalam Empat Adegan Cinta)
CERPEN: Edy Firmansyah


Alina menutup gorden warna biru. Kamar hotel yang terang tiba-tiba redup. Tapi sambil menutup gorden tangan Alina tak lepas menutup hidung yang mancung. Sedari tadi Alina dan brondongnya memang sedang mengumbar kentut.

“Tuuuut…..”

“Preeee…t”

“Kentut kamu bau sekali, Pras!”

“Kentut Mbak juga!”

Keduanya lantas tertawa. Kemudian berpelukan dan saling pagut.
“Tapi meski bau, orang perlu kentut setiap hari, Mbak! Kalau tidak bisa jadi penyakit. Kalau sudah jadi penyakit, biayanya mahal. Tapi menurutku bukan hanya perut saja yang perlu buang gas. Otak harus buang gas juga.”

“Ah kau mulai lagi dech….”

“Lha, ini serius. Banyak orang yang sekarang ngomongnya mencla-mencle. Suka menipu, berbohong, itu karena otaknya tak pernah kentut. Para wakil rakyat yang ngomongnya mencla-mencle dan presiden yang ngomongnya berbelit-belit itu karena otaknya tidak kentut. ”

“alah…ngedabrus dech! Seperti apa otak itu kalau kentut?…”

“Kenal semar?” Alina mengangguk. “Nah, semar itu dalam pewayangan jawa adalah tokoh paling bijaksana. Ia muncul ketika masalah menjadi sangat rumit dan butuh penyelesaian bijak. Dalam pertempuran senjata andalannya kentut. Kentutnya itu busuk sekali. Orang yang mencium baunya bisa terkapar. Tapi biasanya usai mencium kentut Semar, musuh-musuhnya langsung khilaf. Itu yang sadar, yang nggak sadar bisa stress. Gila. Nah, pikiran yang baik adalah pikiran seperti kentutnya semar itu. Dan yang paling ideal adalah berpikir secara materialism-historis. Itu penting, Mbak. Nah Mbak sebagai dosen, jika tidak punya bekal berpikir secara materialis akan terjebak pada determinisme sempit. Determinisme itu yang membuat Mbak akhirnya menjelaskan teori-teori di kuliah mencla-mencle, nggak jelas arahnya. Atau menyelesaikan masalah sering serampangan. Sehingga yang lahir bukan masalah selesai tapi memperumit keadaan. Nah biar "kentut otak"nya lancar mbak harus baca buku ini,” Prasetya mengambil buku dari tasnya kemudian menempelkan ke dada alina yang hanya ditutupi BH. Sebuah buku bersampul coklat berjudul Reason in Revolt: Revolusi berpikir Dalam Ilmu Pengetahuan Modern. Karangan Alan Wood dan Ted Gran.

“Nggak mau ah…”

“Terus maunya apa?”

“Mau kamu?”

Keduanya lagi-lagi tertawa lepas. Kembali saling pagut, tapi kali ini lebih panas. Dan suara Andy F Noya yang memandu acara Kick Andy dengan tema korban-korban peradilan sesat di Indonesia tak kedengaran lagi. Suara Kemat salah satu korban peradilan sesat yang bercerita ketika ia dinterogasi polisi sambil disiksa dan diancam pistol agar mengakui perbuatan yang tak pernah dilakukannya, yakni membunuh sesosok mayat yang diduga bernama Asrori sudah tertindih suara desah dan erang kedua kekasih yang tengah terbakar birahi.

***

Di sebuah kamar hotel lain, seorang perempuan bernama Lusi menutup pintu kamar sambil menutup hidung karena bau kentut.

“Kentut lagi kamu ya, mas!”

“He…eh”

“bau…k taukk..”

“Biarin. Emangnya kentutnya nggak pernah bau? Kalau sama-sama punya kentut bau jangan saling mencela. Tapi ngomong-ngomong kau suka khan?”

“Preeee….t”

“Ihhhh…najisss!” Lusi menutup hidungnya lagi.

“Cinta itu seperti kentut. Ditahan bikin gelisah, dilepas pengen kentut lagi, eh, maksudku pengen lagi.”

“Gombal”

“Plak!” tiba-tiba Reksa meloncat dari ranjang. Lalu menepuk pantat Lusi yang sedari tadi hanya mengenakan G-string warna hitam dipadu BH warna abu-abu.

“Aku kangen…”

“Ah…gombal. Buktinya aku telepon kemarin tak digubris. Diangkat nggak. Di sms juga nggak!”

“Aku lagi dirumah itu. Sama istri dan anak-anak.”

“istrimu aja kau urusin. Aku nggak.”

“Nah..ini sudah tak urusin. Sekalian tak urutin.”

Keduanya bersitatap. Lalu saling pagut. Tangan Reksa kemudian meraih remote di atas ranjang. Lalu Mematikan televisi yang sedari menyiarkan berita tentang banjir di kabupaten Bandung. Kamar hotel hening. Yang tinggal suara desah dan erang nafsu yang basah.

Diluar hotel, hujan terus mengguyur dengan deras. Dari lantai enam kamar hotel itu terlihat seorang pengemis perempuan yang menggendong anak lari menuju pohon beringin di depan hotel. Tapi hujan terlalu deras keduanya basah kuyup.

***

Di sebuah rumah yang mungil sepasang suami istri baru saja menunaikan sholat Maghrib berjamaah dalam kamarnya. Diarah kiblat tampak sebuah foto keluarga; Reksa, Alina dan keduanya anaknya yang menginjak remaja. Disamping persembahyangan tampak sebuah ranjang dengan sprai biru.

Usai menggulung sajadah, keduanya kemudian bercengkrama di tempat tidur.
“Gimana pelatihannya lancar?”

“Biasa saja. Nih dikasih buku sama mahasiswaku.” Alina menunjukkan buku Reason in Revolt: Revolusi berpikir Dalam Ilmu Pengetahuan Modern karangan Alan Wood dan Ted Gran, pemberian Prasetya.

“Bagus sepertinya”

“Bagus apanya!? Mahasiswaku pikir aku gampang dipengaruhi dengan buku-buku komunis macam beginian. Nggaklah…”

“Bruuuut….”

“Ah, papa mulai lagi deh kentutnya. Apa nggak bisa dikurangi to? Masak tiap berduaan bawaannya kentut mulu…”

“Tumben protes. Biasanya dengar bunyi kentut langsung nafsu.”

“Nafsu? Emangnya kentut itu obat perangsang apa? Nggak dech…”

“Alah…yang bener?”

“Adauwww. Sakit Pap!” Alina mengusap-usap pantatnya.

“Tapi kalau melihat perkembangan kayaknya pemikiran itu perlu juga dipelajari. Mengingat negeri ini sedang dalam krisis. Toh, Cuba, kemudian Venezuela dan Bolivia sukses besar menjalankan ideologi ini.”

“Kalau papa suka nih baca aja sendiri. Aku nggak.”

“Aku pengen baca kamu aja, dech, mam!”

Apanya yang mau dibaca?”

“Isi celana dalammu.”

“Hus…habis sholat kok ngomongnya porno begitu!?”

“Kalau sama orang lain porno. Tapi sama istri sendiri itu pahala.”

“Alah, mulai ngawur dah!”

“Aku memang sedang mabuk. Mabuk cinta.”

“Broooot……t”

“Ah, papa! Bau nih!”

“Sini kubantu hilangkan baunya”

“Ackhhh…papa jahat!”

Keduanya saling bersipagut. Lamat-lamat terdengar adzan Isya.’ Tapi kedua suami istri itu sudah tenggelam dalam nafsu yang sangat. Yang tinggal kemudian hanya erang dan desah. Dalam setiap erangnya, Reksa membayangkan Lusi yang akan ditemuinya dua hari lagi. Sementara dalam setiap desah, Alina melamunkan Prasetya sedang menggerayangi tubuhnya.

***

Di sebuah rumah yang lain, di sebuah kamar yang lain pula, Prasetya sedang duduk disamping Ibunya yang terbaring lemah akibat kanker stadium empat. Diraihnya tangan sang bunda kemudian menyusupkan jemarinya ke sela-sela jemari ibunya. Pras meresakan betapa dinginnya tangan perempuan yang melahirkannya itu.

“Preet………”

“Hus…nggak sopan. Didekat ibu masih berani kentut pula. Kebangetan kau itu“ teriak Lusi sambil menepuk pundak kakaknya.

“Daripada jadi penyakit. Weeekkk….” Prasetya menjulurkan lidahnya di wajah Adiknya yang manis itu.

“Bruuuu….t”

Sambil bertarung melawan nyeri, sang bunda mencoba menyunggingkan senyum. “Sudah berapa lama nggak pulang, kamu nak?” Suara perempuan itu terdengar sangat lirih seperti berbisik.

“Dua hari, mam!”

“kemana saja? ibu dan adikmu disini kesepian.”

“Cari uang, mam. Buat biaya pengobatan dan biaya kuliahku.”

“tapi lain kali kalau bisa cobalah pulang ke rumah. Jangan tidur di luar.”
“baik, mam!”

“bersihkan badan sana. Lalu kita Jama’ah Magrib bersama”

Prasetya berdiri dari kursi lalu ngeloyor keluar kamar, menuju kamar mandi. Tapi tangannya terus menyeret tangan adiknya.

“Lepasin ah…..”

“Kau harus ikut aku.”

“Kemana?”

“Mandi.”

“Ih…najiss! Mas, lepasin”

“Aku kangen…..”

Kedua kakak beradik itu lenyap dibalik pintu kamar mandi berwarna coklat. Beberapa saat kemudian terdengar suara air mengucur dari kran. Lamat-lamat terdengar suara erang dan desah dari balik kamar mandi bersamaan dengan adzan magrib yang berkumandang dari surau dekat rumah.

Sampang, 16 Februari 2010

Tidak ada komentar: