WAKTU

JEDA

Minggu, 09 Mei 2010

Penantian Yang Luka

Menunggu Ijah Pulang
Cerpen: Edy Firmansyah

Sebelum duduk kembali di bangku ruang tunggu penumpang usai buang air kecil, Kasim sempat melirik jam dinding bulat bergambar kereta api yang dipaku di dinding bagian atas, dekat langit-langit. Pukul Sembilan kurang lima belas menit. ” ah, lima belas menit lagi” batinnya. Kasim menghempaskan lagi pantatnya di kursi besi panjang yang sudah dipadati setidaknya delapan orang. Ia membayangkan lagi sebuah pertemuan yang mengharukan. Istrinya, Ijah, yang hampir dua tahun bekerja jadi pembantu di Jakarta akan keluar dari salah satu pintu kereta eksekutif dengan barang bawaan yang banyak. Ia kemudian melompat dari kursi besi itu, berlari menghampiri istrinya lalu memeluknya erat-erat. “ orang-orang boleh iri. Boleh bergunjing apa saja. tapi ijah istriku. Aku rindu padanya. Aku punya hak memeluknya di stasiun ini” batinnya lagi.

Sengaja memang Kasim tak mengabarkan perihal kepulangan Ijah malam ini pada sanak keluarganya. Ia juga mewanti-wanti Tutik, orang yang memberi tahu Kasim perihal kepulangan Ijah agar tidak bercerita pada tetangga lainnya, termasuk pada mertuanya kabar gembira itu. Tutik adalah tetangganya yang juga bekerja jadi PRT di Jakarta yang kebetulan rumah majikannya tak terlalu jauh dengan tempat ijah bekerja.

Kasim tak mau kejadian lima tahun lalu terjadi lagi. Waktu itu, begitu mendengar sumirah, istri pertamanya yang juga kakak ijah akan pulang dari negeri jiran tempatnya bekerja dari TKW, Kasim langsung girang. Ia cerita pada tetangga dan sanak keluarganya. Ia juga pinjam uang untuk acara selamatan menyambut kedatangan Sumirah. Tapi yang pulang apa? Sumirah pulang tinggal jasad. Yang dikirim ke kampung mayatnya yang disemayamkan dalam peti mati berukir naga kembar. Soal kematian Sumirah juga gelap. Desas-desus mengatakan Sumirah mati kerena disiksa majikannya di Malaysia sana. Kabar angin lainnya sumirah mati setelah diperkosa majikannya. Ia tak kuat menanggung aib. Tak tahu mana yang benar. Yang jelas Sumirah pulang tinggal jasad. Sebagian besar tubuhnya lebam-lebam ketika hendak dimakamkan. Tak ada yang bertanggung jawab. Yang Ada hanya ucapan turut berduka cita dari perusahaan pengirim TKW tempat Sumirah jadi anggota. Dan uang santunan satu juta rupiah. Ya..ya..ya..nyawa Sumirah hanya dihargai dua juta. Dan jadilah kemudian acara selamatan yang akan digelar berubah menjadi tahlilan.

” Sudahlah Sim jangan ijinkan lagi si Ijah jika ingin kerja jadi TKW” begitu pesan Amat karib Kasim usai prosesi pernikahan kasim dan Ijah, adik Sumirah.

Kasim sebenarnya setuju dengan pendapat Amat. Apalagi tiap kali mendengar berita TV tentang buruh migran yang kebanyakan bernasib sama dengan Sumirah. Mati mendadak dan tidak lumrah. Pulang ke kampung tinggal nama. Tapi siapa yang membiayai anak-anak sekolah jika tak kerja? Sebentar lalu Si Lukman anak sulung Kasim masuk SMP. Sedangkan si Mirah juga akan masuk SD. Dan semua tahu biaya masuk sekolah mahal. Siapa yang bayar jika tiba-tiba keluarga sakit? Mengandalkan gaji buruh tani dia yang sehari hanya Rp. 15.000,- jelas tidak mungkin. Itulah mengapa ketika Ijah, seperti halnya Sumirah merengek-rengek ingin kerja Kasim tak bisa apa-apa. Yang dilakukan hanya mengangguk pasrah.

Untunglah Ijah tak memilih jadi TKW. Ia hanya mengadu nasib ke Jakarta. Jadi babu disana. ” dua atau tiga tahun kang. Setelah itu aku pulang.” Begitu janji Ijah. Ijahpun berangkatlah. Barangkali nasib ijah lebih mujur dari Sumirah. Tiap bulan Ijah rutin kirim uang hasil kerjanya. Rp. 300 ribu per bulan. Kadang pernah lebih. Dan mala mini Ijah menepati janjinya. Malam ini Ijah akan kembali ke pelukannya setelah hampir dua tahun berpisah. Dulu di Stasiun ini Kasim melepas kepergian Ijah. Kini di stasiun ini pula Kasim akan menyambutnya. Melalui tutik, tetangga satu kampung yang juga jadi babu di Jakarta, ia titipkan kabar itu. Tak lupa Ijah menitipkan uang pada Tutik sebesar Rp. 500 ribu.

” Apakah Ijah baik-baik saja, Tik?” Tanya Kasim pada Titik ketika mengabarkan rencana kepulangan Ijah.

” Sepertinya majikannya baik. Aku tak tahu pasti kang. Hanya tiga kali aku ketemu waktu belanja di pasar. Tapi ijah tambah gemuk kang.”

” Syukurlah”

Terdengar lagi pemberitahuan dari pengeras suara bahwa kereta api Pegasus adalah kereta api eksekutif terakhir yang akan tiba malam ini. Orang-orang terus memadati stasiun. Pedagang rokok dan tukang semir sepatu berseliweran menawarkan jasa menghampiri satu persatu orang yang menunggu kereta tiba. Ruang tunggu penumpang hiruk pikuk. Kasim menegakkan lagi badannya memperbaiki caara duduknya yang sudah menggelayut ditarik kantuk.

Seperti apa wajahmu sekarang Ijah? Masih cantikkah engkau meski kata titik sudah tambah gemuk? Apakah karena selalu makan enak di Jakarta dengan majikan yang baik-baik? Ataukah sebenarnya kau tambah kurus karena direndam rindu pulang kampung? Tidakkah kau rindu padaku Ijah? Aku kangen…aku kangen…jangan berangkat lagi ke Jakarta Ijah.

Kasim melirik lagi jam dinding bulat bergambar kereta api yang dipaku di dinding bagian atas, dekat langit-langit. Pukul sepuluh. ” Kereta terlambat lagi.” Batin Kasim. Padahal dada Kasim terus menerus berdegup kencang seperti orang jantungan membayangkan pertemuan pertamanya setelah dua tahun tak bersua dengan istrinya, Ijah. Dibayangkan lagi ketika sebentar lagi Ia akan melompat dari kursi besi itu begitu melihat Ijah keluar dari pintu kereta, berlari menghampiri isitrinya lalu memeluknya erat-erat. ”Oh, betapa menyakitkan sebuah penantian.” Begitu batin Kasim.
”Sudahlah. Cukup kali ini saja, Ijah. Lelah dua tahun aku dan anak-anak menunggumu. Selalu berdo’a agar kau mendapatkan majikan yang baik. Tidak disiksa-siksa seperti kebanyakan babu. Setelah ini tak perlu berangkat lagi. Buka warung saja. Aku masih simpan beberapa ratus uang kirimanmu itu.”

Tiba-tiba suara klakson kereta api terdengar dari kejauhan. Bising dan menyayat-nyayat. Suara perempuan dari pengeras suara kembali terdengar: "Kereta Pegasus akan tiba. Periksa sekali lagi barang bawaan anda sebelum meninggalkan stasiun. hati-hati copet." Tak sampai lima menit kereta sudah merapat di staisun. Kasim berdiri dari duduknya. Orang-orang juga. Berkerumun di depan pintu kereta yang masih tertutup.
Beberapa saat kemudian pintu-pintu dari gerbong kereta terbuka. Satu per satu para penumpang keluar. Beberapa diantaranya disambut dengan pelukan. Beberapa yang lain pergi entah kemana dengan supir taksi. Kasim masih berdiri diantara kerumuman orang-orang yang mulai berkurang. Namun Ijah tak juga muncul dari pintu kereta hingga penumpang terakhir. ” Oh, Ijah dimanakah kau Ijah?”

Kasim memberanikan bertanya pada petugas adakah kereta lain yang akan tiba. ” Ada kereta eksekutif mawar. Tapi besok jam lima pagi.” Ujar petugas.

Kasim kembali ke tempat duduknya semula. Ruangan sudah sepi. Yang tinggal hanya anak-anak pengamen, pedagang rokok dan pengemis yang tertindur di lantai dingin beralaskan Koran. diliriknya lagi jam dinding bulat bergambar kereta api yang dipaku di dinding bagian atas, dekat langit-langit. Pukul sebelas. “Dimanakah kau ijah, dimanakah kau?”

Disebuah ruangan gelap dengan cahaya bulan di dekat stasiun di ibukota Ijah terkapar diatas lincak. Pingsan. Pakaiannya koyak. Vaginanya berdarah.

” Mantap, bos. Wanita muda, hamil tua pula.” Kata salah seorang sambil memasang retsliting celananya.

” Ayo cabut. Dan jangan lupa, sekalian bawa barang-barangnya sapa tahu ada yang berharga buat kita bikin pesta”

“Beres boss.” Diambilnya tas Ijah yang diletakkan di bawah lincak. Orang itu kembali mendekati wajah ijah yang sayu. Kemudian dicium bibirnya. Setelah itu ia menyusul bos-nya dengan senyum kemenangan, meninggalkan ruangan gelap dengan pendar cahaya bulan sebagai penerangan. Ijah masih terkapar. Wajahnya dipendari sinar bulan.

Kasim menunggu dengan kesetiaan yang cemas. Kesabarannya ditata lagi. Fondasinya tentang kereta eksekutif yang akan tiba dini hari nanti. Stasiun sudah sepi. Yang tinggal hanya suara dengkur dan deru angin malam yang gigil. ” Ijah dimanakah kau ijah. Aku rindu Ijah.” Kasim masih menunggu dengan kesetiaan yang cemas.

Dengan tertatih-tatih dan menahan sakit yang sangat, Ijah berjalan menuju stasiun yang jaraknya sepelemparan batu dengan tempatnya pingsan tadi. Ijah sadar, hidupnya kini terasa hancur berkeping-keping, tapi Ijah tak mau mengingkari janji. Hari ini ia harus pulang ke kampung, menemui suami dan anak-anaknya sebagaimana janjinya ketika berangkat dahulu. Ia tak mau mengecewakan keluarganya. Bagi Ijah janji adalah hutang. Dan Ijah kembali menunggu kereta api pagi yang akan membawanya pulang.


Sampang-Madura 30 - 31 Maret 2010

Tidak ada komentar: