WAKTU

JEDA

Kamis, 06 Mei 2010

TEPUK TANGAN-TEPUK TANGAN-TEPUK TANGAN

TEPUK TANGAN

Oleh: Edy Firmansyah


Ini bukan perlombaan main-main. Perlombaan ini adalah membuat maksimal tiga cerita pendek dalam waktu satu menit yang berkisah tentang peristiwa koja yang baru saja ditayangkan televisi siang tadi. Ketiga cerita itu dibuat dan dibacakan langsung di depan gubernur. Jurinya para penonton yang kebanyakan pejabat dan aparat kepolisian.

Jika tiga cerita yang dibuat dan dibacakan didepan gubernur dan para pejabat dianggap tidak menghibur, tidak mendapatkan aplaus, atau malah isinya mencemarkan institusi Negara, maka sangsinya adalah hukuman penjara. Ini serius. Bukan main-main. Sebaliknya, jika ceritanya menghibur dan bisa bikin pejabat terhibur dan merenung, maka gubenur akan mengangkat pemenangnya menjadi staf ahli bidang kesenian.

Dari 1.435 orang yang ikut, setelah melalui tahapan seleksi yang ketat akhirnya hanya tiga orang yang dianggap mumpuni dan berhak membacakan tiga ceritanya diatas panggung. Disaksikan langsung oleh yang terhormat bapak gubernur. Aku dan dua orang penulis cerita yang aku tak kenal namanya yang menjadi kandidat itu.

Dan perlombaan itupun dimulai. Penonton riuh redam. Peserta juga berdebar kencang, takut-takut dirinya yang gagal dan menerima hukuman.

” Peserta pertama, dipersilahkan naik ke panggung.” Kata panitia lomba.

Seorang penulis bertubuh tambun dan berkacamata naik ke panggung. Berdiri di depan mik lalu membacakan cerita pendeknya yang baru saja ia tulis dalam tempo satu menit di depan juri. Si penulis bertubuh tambun itu pun mulai membaca:

Sayang Bapak
Menyaksikan Bapaknya yang Sat Pol PP sedang menendang anak usia 13 tahun di TV, Leman meloncat dari kursi. “Hajar, Pak! Biar tahu akibatnya kalau melawan Negara.” Malam harinya Leman menangis menyaksikan bapaknya mati diantara container barang. “Ini kejam. Kejam!”

Pengayom Rakyat
Seorang palacur jalanan yang terkena razia mengumpat. “Sat Pol PP bajingan.” Seorang Sat Pol PP yang mendengar itu geram. “Siapa yang bilang barusan?” Ia kemudian menyeret pelacur itu. Menendangnya hingga tersungkur. “Sat Pol PP itu pengayom rakyat.” Teriak si Sat Pol PP.

Di Depan Kaca
Seorang Sat Pol PP hendak melaksanakan sholat dhuhur usai melakukan eksekusi lahan dan menginjak-injak seorang pemuda yang melawan. Ia ambil wudhu. Sebelum masuk masjid ia berkaca. Alamak, didepan kaca kepalanya sudah tak ada.

Tak ada tepuk tangan. Tak ada decak kangum. Penulis dan pembaca cerita itu turun dari panggungh dengan lunglai. Tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar teriakan.

“Tangkap pembaca cerita itu. Ceritanya melecehkan institusi Negara. Tangkap!”

Penulis cerita bertubuh tambun itu akhirnya ditangkap. Tangannya diborgol dan dimasukkan dalam mobil polisi yang sudah disiapkan sejak awal acara itu.

“Pembaca cerita kedua, silahkan naik ke panggung” ujar panitia lomba.

Aku berjalan ke panggung. Membungkuk sebentar pada yang terhormat bapak gubernur, lalu mengeluarkan kertas dari saku celana yang berisi tiga cerita pendekku yang baru saja ditulis di depan juri. Aku mulai membacanya:

Istri Yang Setia
Sudah berhari-hari perempuan itu menunggu suaminya dengan cemas di ruang tamu. Bedaknya sudah luntur. Rambutnya yang basah sudah kering dan acak-akan. Sejak kerusuhan Priuk pecah, Suaminya belum juga pulang ke rumah.

Pahlawan
Sebelum massa yang bringas menggabuki tubuhnya hingga sekarat, ia benturkan kepalanya ke kontainer tua disampingnya hingga pingsan. Besoknya ia masuk koran. Mati sebagai pahlawan.

Bentrokan
Rusidin pulang dengan sumringah. Meski ia dan kawan-kawannya di Sat Pol PP gagal melakukan penggusuran, ia puas. Sebab ketika bentrok dengan warga ia berhasil menyeret seorang anak muda waktu aksi saling dorong. Anak muda itu ia gebuki, diinjak-injak hingga sekarat.
Sementara, di rumah istrinya histeris. Anaknya pulang dengan berdarah-darah di wajah. “kenapa nak?” Tanya sang ibu. Sambil mengerang kesakitan si anak menjawab: “Digebuki Sat Pol PP!”

Hanya sekitar sepuluh orang yang bertepuk tangan usai aku membaca cerita super pendekku itu. Gubernur-pun tidak bereaksi apa-apa. Hanya tersenyum saja menatapku. Tandanya ia tak suka, barangkali. Itu artinya aku akan bernasib sama dengan penulis tambun yang pertama membaca cerita itu. Dan benar saja dugaanku.

” Tangkap! Pelecehan pada institusi Negara.”

Akupun ditangkap. Diborgol. Tapi tidak dimasukkan ke mobil polisi. Namun disuruh duduk di dekat para reserse yang duduk di pojok ruangan.

“Peserta terakhir silahkan naik ke panggung.” Ujar panitia lomba. Dan seorang penulis yang kurus tinggi dengan rambut lurus dan mengenakan kacamata minus naik ke panggung. Membungkuk sebentar lalu membacakan ceritanya yang ada di PDA-nya.

Masa Kecil
'Mintalah mutasi, Mas! Aku tak tega melihat kau menindas orang miskin mulu' saran istrinya. ' Sat Pol PP juga manusia bune' ujar si suami. 'Tapi orang miskin bukan anjing.' bantah istrinya. Mendengar kata Anjing si Suami terkejut. “Sejak kapan istriku tahu masa kecilku?” batinnya.

Laporan Ajudan
Seorang ajudan berlari tegopoh-gopoh ke ruang pribadi atasannya. 'Pak, Sat Pol PP bentrok dengan masyarakat priuk!' ujar ajudan itu.
'Segera nyalakan TV!' teriak sang pejabat.

Kematian Seorang Sat Pol PP
Seorang sat Pol PP mati. Dihajar pentungannya sendiri.

“Tangkap!” teriak si reserse dari sudut ruangan. Tapi suara teriakannya tak terdengar karena semua penonton riuh memberikan standing aplaus pada pengarang tadi. bahkan gubernurpun juga berdiri bertepuk tangan.

Si reserse kemudian mencoba bertanya pada komandannya yang juga memberikan tepuk tangan pada pembaca cerita itu.

” Ndan, ceritanya juga mencemarkan institusi negara. Kenapa semua orang bertepuk tangan. Ia harus ditangkap dan diperiksa.”

” Kamu tahu dia siapa?” ditanya demikian si ajudan menggelengkan kepala.

“Pengarang itu anak bungsu Gubernur!” ujar komandannya.

Si reserse langsung bertepuk tangan. Keras sekali.



[Sampang, 22 April 2010]

Tidak ada komentar: