WAKTU

JEDA

Selasa, 07 Januari 2014

Menunggu "Pasukan" Taufiq Ismail Datang

Menunggu "Pasukan" Taufiq Ismail Datang
Oleh: Edy Firmansyah*)


"Hendaknya jangan ex Lekra berhasil lagi buang air besar di lantai PDS. Ajari mereka agar berak di tempat lain yang pantas …atau saya akan mendatangkan pasukan untuk mengusirnya" (Taufiq Ismail).

            Itulah kalimat terakhir dari satu paragraf SMS Taufiq Ismail yang dikirim berantai, untuk melarang bedah buku Asep Sambodja di gedung PDS HB Jassin karena membahas tentang sepak terjang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), 2011 silam.

Bagi banyak masyarakat sastra Indonesia, SMS Taufiq Ismail barangkali sudah jadi gunjingan sekaligus lelucon. Norak. Bulus. sekaligus keji. Sama bulusnya seperti airmata alumnus dokter hewan UI itu saat membaca puisi dan atau bicara soal bahaya laten PKI (?).

            Tapi bagi masyarakat di luar sastra, yang menganggap sastra adalah dunia adiluhung dan penuh kehalusan sikap dan budi pekerjanya, kata ‘berak’ barangkali merupakan kata yang tak pantas diungkapkan seorang sastrawan “agung’ sekaliber Taufiq (pake Q bukan K) Ismail. Tapi apa boleh buat, kalimat itu memang terlontar dari peraih cultural Visit Award dari pemerintah Australia tahun 1977 itu. Berak!

Dari kalimat terakhir itu tersirat, betapa agungnya PDS HB. Jassin dimata mantan guru di SKP Pamekar dan SMA Regina Pecis, Bogor itu. Tak boleh ada satupun kekuatan atau kelompok yang boleh menista keagungan gedung itu. Karena gedung itu, barangkali,  di mata salah satu penandatangan manifes kebudayaan (manikebu) itu adalah simbol keagungan sastra. ”Sastra jangan diinjak-injak. Menginjak-injak sastra berarti akan berhadapan dengan saya.” Mungkin begitu saya tangkap dari kalimat akhir SMS itu yang tersebar luas tiga tahun silam itu.

            Kalau melihat sepak terjangnya, terutama ketika menghantam maraknya sastra kelamin yang dinamai oleh Penerima beasiswa AFS International Scholarship itu sebagai gerakan syahwat merdeka (GSM) pada awal tahun 2000, ultimatum yang saya sebut diatas ada benarnya. Pidato kebudayaannya yang dia baca di IPB pada 9 Januari 2007 silam juga mengisyaratkan itu. Sayatan pedang kata-katanya ketika berpolemik dengan Hudan Hidayat soal sastra perkelaminan membekas di dinding google.

            Sama membekasnya ketika palu godam dialamatkan pada sastrawan bergelar Datuk Panji Alam Khalifatullah itu karena puisinya berjudul “Kerendahan Hati” dituduh memplagiat puisi berjudul 'Be the Best of Whatever You Are'  karya penyair Amerika Serikat kelahiran tahun 1877, Douglas Malloch.

            Bermula dari kekesalan Bramantyo Prijosusilo karena SMS Taufiq Ismail dengan kata ‘berak’ itu menyebar luas, akhirnya Bram memposting kemiripan puisi “Kerendahan Hati’ dengan puisi Douglas Malloch. Cemoohan di jejaring sosial membuncah. Polemik pecah. Meski penulis buku puisi  “Tirani dan Benteng” itu mengelak bahwa puisi itu miliknya, nyatanya di buku pelajaran sekolah menengah puisi "kerendahan hati" ditulis atas namanya. Hanya saja nama Taufiq menggunakan huruf K, bukan Q.

            Meskipun baik Bramantyo Prijosusilo maupun Taufiq Ismail sudah sama mengulurkan tangan dan saling berbagi maaf terkait polemik tersebut pada acara silahturahmi sastra yang digelar di Fadli Zon Library Jakarta, Kamis (14/4) silam, jejaknya tetap bertahan. Apapun bantahan mantan ketua senat FKHP UI tahun 1960-1961, termasuk bantahan keponakannya, Fadli Zon, soal huruf Q dan huruf K pada nama Taufiq Ismail, polemik itu tak bisa serta merta menghapus stempel yang terlanjur ditabalkan padanya; diduga kuat terlibat plagiator.

Betapa tidak, sejumlah sinyamen secara tidak langsung membentuk premis kehadiran puisi "kerendahan hati" karya Taufiq Ismail dalam kurun waktu 1998 sampai 2008. Bayangkan pada 2009, puisi itu masih sempat dibacakan pada programa Jika Aku Menjadi Special Ramadhan 2010  di TransTV dan Taufiq Ismail tak protes puisi itu menggunakan namanya sebagai pengarangnya. Bahkan beberapa puisi Kerendahan Hati  karya Taufiq Ismail sudah terposting di beberapa blog sejak 2006. Dan tak ada yang menggugatnya, termasuk Taufiq Ismail.

            Jum’at lalu, 3 Januari 2014, masyarakat sastra kembali terbeliak. Marah. Protes. Pada hari itu sebuah buku berjudul “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” diluncurkan di PDS HB. Jassin. 

Kemarahan itu karena Denny JA, bos Lembaga Survei Indonesia (LSI), tiba-tiba masuk dalam daftar 33 tokoh Sastra Paling berpengaruh di Indonesia selama 114 tahun. Kemarahan itu juga dialamatkan pada tim 8 yang diketuai Jamal D Rahman, seorang penyair asal Madura dan salah satu redaktur majalah Horison, yang membuat nama bos tukang survei bernama Lembaga Survei Indonesia (LSI) masuk. Parahnya lagi, peluncuran buku tersebut bertepatan dengan perayaan ulang tahun pemilik akun twitter @dennyJA_World itu.  Bau uang menyebar dari acara peluncuran buku tersebut. Jagat sastra merasa dikencingi seorang makelar politik. Tapi apa boleh buat. Sastra adalah politik, tapi tindakan politik belum tentu sastra. Beberapa gelintir sastrawan yang berhimpun dalam tim 8 telah menjual jasanya untuk melegitimasi “dukun politik” bernama lengkap Denny Januar Ali itu untuk mendapatkan ‘stempel sah’ sastrawan lewat buku “puisi-esai’nya berjudul “Atas Nama Cinta.” Saking jengkelnya, seorang pegiat sastra bernama Dwi Cipta sampai membikin status sarkasme; “Siapapun yang punya uang banyak, bisa beli orang-orang di tim 8 untuk menjadikan kalian sebagai sastrawan top. Dijamin 100% munafiknya.”

Hiruk pikuk soal buku tersebut kembali mengingatkan saya pada Taufiq Ismail. Peluncuran buku tersebut di PDS HB.Jassin jelas merupakan bentuk ‘berak’ yang mengotori PDS HB. Jassin. Persis seperti SMSnya ketika melarang diskusi buku ASep Sambodja. Bedanya, yang dituduh ex. Lekra lewat diskusi buku Asep Sambodja itu memang tak ‘berak’ digedung PDS. HB. Jassin, tapi ‘berak’ di bawah tangga gedung PDS. HB. Jassin karena diusir paksa. Sementara diluncurkannya buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh itu telah nyata dan terbukti ‘berak’ di gedung yang bagi seorang Taufiq Ismail itu begitu agung.

Nama Taufiq Ismail memang ada di dalam buku "33 tokoh sastra paling berpengaruh" itu. Ada di urutan 17. Diapit nama Ajip Rosidi diatasnya dan nama WS. Rendra di bawahnya. Nampak mentereng dan gemerlap. Tapi kalau Taufiq Ismail Konsisten bahwa ultimatumnya tentang berak di PDS HB Jassin akan berhadapan dengan dia dan 'pasukannya' harus juga dibuktikan. Bukankah dulu, ancaman bahwa jika diskusi buku Asep Sambodja Menulis: Tentang Sastra Indonesia danPengarang-Pengarang Lekra (ULTIMUS 2011) tetap didiskusikan di ruang PDS. HB.Jassin, Taufiq Ismail akan mengirimkan ‘pasukan’ untuk mengusirnya?

Tentu masyarakat sastra menunggu ‘pasukan’ Taufiq Ismail datang. Lalu menggempur dan meluluhlantakkan semua yang terlibat dalam pembuatan dan peluncuran buku ”33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” itu. Sebab PDS HB. Jassin sudah diberaki ramai-ramai oleh segelintir sastrawan yang bisa melakukan apa saja atas nama uang untuk menjadikan siapapun yang mau membayar mereka mahal sebagai sastrawan berpengaruh.

Kecuali kata ‘berak’ Taufiq hanya untuk ditujukan kepada segala hal yang berbau Lekra dan Komunis (juga sastra kelamin) saja. Sementara 'berak' yang lain, semisal buku "33 Tokoh Sastra paling berpengaruh" itu, yang tidak ada hubungannya dengan lekra, komunis dan sastra kelamin, bukanlah 'berak.' Tapi sekarung bunga melati harum yang baru dipetik di mana dia ada di dalamnya. Meski sebagian lain melihatnya sebagai mencret! Walluhua’lam.(*)


Madura, 07 Januari 2014
*) Edy Firmansyah, petani melon. mantan loper koran. jurnalis sambil lalu. blogger. fesbuker. penyair.

Tidak ada komentar: