WAKTU

JEDA

Senin, 30 Juni 2008

Malaria dan Pembangunan Kesehatan Monokultur

DIMUAT DI HARIAN SURYA, 30 Juni 2008


Malaria dan Pembangunan Kesehatan Monokultur
Oleh: Edy Firmansyah



Keterpurukan sejumlah bangsa di berbagai belahan bumi dalam kubangan kemiskinan, pendidikan, dan kematian mulai menjadi perhatian serius dunia. Pasalnya, keterpurukan tersebut mengancam keberlangsungan hidup sebuah bangsa. Karenanya pada abad 21 badan PBB mengumpulkan kepala pemerintahan untuk menandatangani pembangunan milenium (MDGs) di New York. Tujuannya, tak lain untuk menyelamatkan bangsa (save nations).

Setidaknya ada delapan tujuan MDGs. Namun dari jumlah itu, ada tiga tujuan yang terkait dengan keberlangsungan hidup. Yakni, penurunan angka kematian ibu dan anak, memerangi HIV/AIDS dan memerangi malaria.

Namun tulisan ini tidak akan membahas semua tujuan pokok MDGs, melainkan fokus pada perang melawan malaria. Malaria merupakan penyakit yang sangat cepat menular dan masih merupakan masalah dunia. Diperkirakan 1,2 juta miliar manusia tinggal di daerah endemis malaria. Bahkan menurut laporan WHO 1998 setidaknya 1,50-2,70 juta jiwa manusia meninggal akibat penyakit malaria.

Di Indonesia sendiri serangan malaria tak kalah ganasnya. Ada sekitar 15 juta jiwa penduduk yang menjadi korban malaria. Dan 30 ribu jiwa diantaranya meninggal dunia. Hal itu terjadi terus hampir setiap tahunnya.

Nah, pertanyaan mendasar yang diajukan adalah apa penyebab malaria menjadi penyakit yang ’mematikan’ terutama di Indonesia? Ternyata menurut Gutomo Priyatmono, penulis buku Bermain Dengan Kematian, Potret Kegagalan Pembangunan Kesehatan Monokultur di Negeri 1001 Penyakit, keganasan malaria bukan hanya disebabkan oleh serangan nyamuk semata. Melainkan juga karena Pembangunan kesehatan modern di Indonesia menempatkan dirinya sebagai sebuah pasar.

Dalam pasar, semuanya dikelola berdasarkan untung rugi. Mulai dari obat-obatan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Rumah sakit, puskesmas, dokter, termasuk didalamnya apotek menjadi kekuatan legal yang menentukan sehat tidaknya seseorang. Akibatnya, program bio-medis modern yang bertujuan untuk kepentingan peningkatan kesehatan justru membuat masyarakat mengalami hal lebih buruk.

Berdasarkan penelitiannya tentang kasus pemberantasan penyakit malaria di dua wilayah pedesaan yang terletak di perbukitan Manoreh Kabupaten Kulon Progo Propinsi DIY, yaitu Hargowilis dan Hargotirto, menunjukkan bahwa program pemberantasan malaria di dua wilayah tersebut belum mampu membawa masyarakat mempunyai pengetahuan baru tentang penyakit dan malaria. Malah sebaliknya, menjerumuskan masyarakat pada ketidakpastian dalam pencegahan, pengobatan dan penyembuhan penyakit tersebut.(Priyatmono, 2007;252)

Contoh dari hal diatas adalah penanganan penyakit seperti demam berdarah dan malaria yang selalu didasarkan pada standar operasional yang sesuai dengan aturan Departemen Kesehatan. Inilah yang disebut Ivan Illich sebagai monopoli bio medis terhadap masyarakat. Usaha menyehatkan dengan teknologi, seperti pengasapan dan pemasangan kelambu berada di tangan penguasa medis.

Padahal keterlibatan aktif masyarakat sebenarnya merupakan pencegah utama dari menjalarnya wabah. Sebab masalah sehat, sakit dan penyakit erat hubungannya dengan kepercayaan, sosial dan psikologi masyarakat.

Karenanya Priyatmoko menuding yang paling bertanggung jawab atas merebaknya penyakit malaria di Indonesia (bisa jadi di negara lainnya) adalah para ahli bidang kesehatan dan para pengambil kebijakan yang berada di Departemen Kesehatan RI. Sebab model pembangunan yang dilakukan pemerintah Indonesia selama hampir 40 tahun hanya sekedar mengedepankan rasionalitas tujuan (instrumental rationality) yang mengarahkan pembangunan pada terminologi construction. Dengan kata lain, pembangunan kita adalah pembangunan yang mengutamakan hasil kuantitatif (material) (hal. 22). Yang terjadi kemudian hasil pembangunan justru bermuara pada depedensi, eksploitasi dan marginalisasi masyarakat. Pembangunan model ini sudah merambah hampir di semua sektor. Termasuk juga di sektor kesehatan.

Betapa tidak, program pemberantasan malaria yang dipahami masyarakat di Hargowilis dan Hargotirto sebatas kegiatan fisik dan bantuan. Kegiatan fisik dan bantuan itu berupa penyemprotan, pembagian kelambu, pembagian poster kampanye anti malaria dan pembagian obat gratis. Tidak lebih.

Sedangkan yang dibutuhkan masyarakat dalam penanganan dan pencegahan penyakit adalah wawasan dan pengetahuan yang lebih mengenai seluk beluk penyakit. Sehingga penanganan dan pencegahan bisa dilakukan dengan cara-cara tradisional seperti dengan tanaman jamu, dan lainnya. Sehingga ketika penyakit menyerang, masyarakat sudah mampu melakukan antisipasi dini, tanpa menunggu pertolongan program pemerintah yang kerap terlambat. Tapi sayang, kesempatan untuk mengetahui sistem pengetahuan dibalik bantuan tersebut justru terkunci rapat.
Masyarakat justru diarahkan pada paradigma baru bahwa konsep sakit dan penyakti malaria hanya bisa diselesaikan dengan cara mengkonsumsi jasa dan obat-obatan malaria yang diproduksi korporasi farmasi multinasional. Alih-alih menyehatkan masyarakat, para komprador di bidang kesehatan ini justru hendak meraup keuntungan atas pemasaran obat-obatan.

Karenanya selama pemerintah tidak mengubah paradigma sehat dan sakit di masyarakat dengan konsep pembelajaran dan pencerdasan masyarakat mengenai seluk beluk penyakit dan cara mengatasinya secara mandiri, maka yang terjadi adalah ketergantungan. Dan jika keadaaan itu dibiarkan, penyakit akan terus menyerang masyarakat.
Pemberdayaan puskesmas adalah langkah paling tepat untuk mengatasi berbagai penyakit. Melibatkan bakul jamu, sinse pengobatan cina, ahli akupuntur menjadi anggota puskesmas adalah hal yang mendesak. Dari mereka, masyarakat miskin akan belajar banyak hal mengenai penanganan penyakit. Sehingga lambat laun masyarakat akan mampu menangani wabah penyakit dengan kemampuannya sendiri, tanpa harus merepotkan pemerintah.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy) Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: