WAKTU

JEDA

Jumat, 07 Desember 2012

Buku Dunia Tanpa Hak Cipta


Perang Melawan Hak Cipta*)
Oleh: Edy Firmansyah


Judul        : Dunia Tanpa Hak Cipta
Penulis        : Joost Smiers dan Marieke Van Schijndel
Penerbit    : Insistpress, Yogyakarta
Cetakan    : I, Oktober 2012
Halaman    : xx + 167
Peresensi    : Edy Firmansyah

Airmuka Deni Aryasa, seorang perajin asal Bali, diselimuti kesedihan tiapkali mengenang peristiwa tahun 2008 silam kala ia harus berurusan dengan pengadilan. Ia dituding menjiplak dan menyebarluaskan salah satu motif fleur atau bunga milik perusahaan perak asal Kanada, PT Karya Tangan Indah. Dalam sidang yang berlangsung pada medio September 2008 lalu itu, ia dituntut dua tahun penjara. Bahkan Deni sempat ditahan selama 40 hari di LP Kerobokan Bali. Dan sempat pula menjalani tahanan rumah. “Saya mungkin satu-satunya orang yang dituntut melanggar hak cipta yang pernah ditahan selama 40 hari,” kenang Deni Aryasa.

 Padahal motif itu adalah salah satu motif tradisional Bali yang kaya akan makna. Motif serupa dapat ditemui di hampir seluruh ornamen seni di Bali, seperti gapura rumah, ukiran-ukiran Bali, bahkan dapat ditemui sebagai motif pada sanggah atau tempat persembahyangan umat Hindu di Bali.

Ironisnya, motif tradisional Bali ini ternyata dipatenkan pihak asing di Direktorat Hak Cipta, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Republik Indonesia pada tahun 2006 dengan nomor 030376. Pada surat keputusan Ditjen Haki, tertulis pencipta motif fleur adalah Guy Rainier Gabriel Bedarida, warga Prancis yang bermukim di Bali. Sedangkan pemegang hak cipta adalah PT Karya Tangan Indah milik pengusaha asal Kanada, John Hardy.

Tak hanya itu saja. Malah, motif fleur ini juga telah dipatenkan di Amerika Serikat. Sehingga kini perajin perak di Bali yang menggunakan motif sejenis bisa terancam pelanggaran hak cipta pula. Berdasarkan catatan Asosiasi Perajin Perak di Bali, sedikitnya terdapat 800 motif perak tradisional Bali yang telah dipatenkan pihak asing di Amerika Serikat.

Selanjutnya baru-baru ini, sekitar November 2012, Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) mengadukan bisnis karaoke penyanyi dangdut, Inul Daratista, yang bernama Inul Vizta, ke pengadilan. YKCI menuding Bisnis karaoke penyanyi dangdut yang terkenal dengan goyang ngebornya itu melanggar aturan pengelolaan hak cipta yang selama ini digunakan untuk kepentingan bisnisnya.

Menurut YKCI, Inul diwajibkan menyetorkan dana sebesar Rp 21 juta per tahun untuk pembayaran royalti dari lagu-lagu musisi Indonesia yang dipakai untuk kepentingan bisnis karaokenya. Kenyataannya, Inul hanya membayar Rp 3,5 juta per tahun. Sementara itu Inul mengatakan bahwa ia sudah memenuhi tanggung jawabnya. ”Masalahnya ada di manajemen baru YKCI. Sebelumnya kita sudah negosiasi dengan YKCI dan munculnya harga 3,5 juta itu dan kami bayar. Tapi manajemen baru justru ingin mengembalikan tarif lama. Lagipula banyak pencipta lagu yang keluar dari YKCI.” Bantah penyanyi dangdut yang terkenal dengan goyang ngebornya itu.

Dua contoh di atas merupakan contoh kecil dari banyak korban yang berjatuhan akibat perang soal hak cipta. Dan ke depan perang tersebut bukannya kian reda, malah akan makin santer. Salah satu perang yang mengemuka soal hak cipta adalah perang dua perusahaan teknologi besar asal Amerika dengan Korea Selaran, Apple dan Samsung baru-baru lalu.

Nah, bak “dewa” anti perang hak cipta, sepasang ilmuwan politik dan budaya asal Belanda, Joost Smiers dan Marieke Van Schijndel datang dengan gagasan cerdas melalui bukunya yang berjudul, Dunia Tanpa Hak Cipta. Tidak dengan jalan berdamai dengan perusahaan hak cipta, melainkan menantang perusahaan hak cipta tersebut. Melalui penelitiannya itu mereka menjelaskan bahwa sebuah karya cipta ketika dia sudah dilabeli dengan hak cipta, pasti akan menimbulkan masalah. Sebab pelabelan hak cipta pada sebuah karya tak lebih dari kepanjangan tangan dari neoliberalisme yang salah satu tujuannya melakukan privatisasi atas sebuah karya.

Sebab menurut Joost Smiers dan Marieke Van Schijndel ketika sebuah karya telah dilabeli hak cipta, karya tersebut seringkali tidak dimiliki oleh si pencipta, melainkan oleh perusahaan-perusahaan besar, para konglomerat global yang bergerak di bidang kebudayaan. Mereka tidak hanya menguasai produksi atas sebuah karya, tetapi juga distribusi dan pemasaran sebagian besar film, musik, teater, karya sastra, dan seni visual. Perusahaan-perusahaan itulah yang nantinya mengontrol semua jenis karya seni yang layak dan tidak layak muncul dan diapresiasi masyarakat. Alasannya sederhana saja, kebudayaan adalah penghasil uang yang luar biasa. Maka hampir tidak mungkin perusahaan-perusahaan raksasa di bidang budaya itu akan menyerahkan dominasi pasar mereka, baik dalam bentuk material maupun digital.

Di sini logika kelas kembali bermain. Sebagai kepanjangan tangan dari kapitalisme, perusahaan-perusahaan hak cipta itu juga yang akan memukul karya seni yang ‘menyerang’ kemapanan kapitalisme dengan dalih penjiplakan dan pelanggaran hak cipta. Menuding karya seni yang tidak dilabeli dengan hak cipta sebagai karya seni ‘sampah.’ Dan masyarakat sebagai penikmat seni akan semakin dirugikan hak-hak demokrasinya. Karena penilaian mereka kemudian dikontrol dengan ketat oleh perusahaan pelabel hak cipta. Pencipta karya juga setali tiga uang. Dibawah bendera label hak cipta mereka tak lebih hanya sebagai buruh yang diperas proses kreatifnya untuk penumpukan laba perusahaan-perusahaan pemberi stempel hak cipta.

Akhirnya, buku yang edisi bahasa inggrisnya bisa diunduh secara gratis (karena tidak dibatasi hak cipta) di http://networcultures.org/_uploads/tod/TOD4_nocopyright.pdf ini sampai pada kesimpulan menghentikan perang dengan perang melawan hak cipta. Hal tersebut untuk memerdekakan para pekerja seni menjual karya mereka dan mendapatkan penghidupan yang layak, tanpa ada lagi dominasi di pasar yang mendesak mereka tersingkir dari mata dan telinga publik; bagaimana masyarakat bisa bebas memilih berbagai jenis ekspresi seni sesuai cita rasa mereka sendiri; dan bagaimana ranah publik dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan kreativitas seni tidak lagi diprivatisasi, tapi jadi milik bersama (hal. 154). Sungguh buku yang layak dibaca dan didiskusikan bersama.

*) Resensi ini dimuat di Harian KORAN MADURA, Jum'at 07 Desember 2012 ( Link e-paper: http://issuu.com/koranmadura/docs/madura Hal. 9 )

TENTANG PENULIS
Edy Firmansyah adalah Kerani di Sanggar Baca Kita (SBK) Madura. Jurnalis freelance dan pegiat jurnalisme warga. Bisa dihubungi melalui akun twitter : @semut_nungging





Tidak ada komentar: