WAKTU

JEDA

Senin, 03 Desember 2012

Madura Dalam Ciuman Pertama

Madura dalam Ciuman Pertama*)
Oleh: Fesha AF


Judul            : CIUMAN PERTAMA
Penulis         : Edy Firmansyah
Penerbit       : Gardu (Yogyakarta)
Cetakan       : I, Juni 2012
Tebal           : 108 Halaman
Peresensi     : Fesha AF

Adalah T.S Eliot yang mengatakan bahwa tidak ada penyair yang menyimpan makna lengkapnya sendiri. Artinya, betapapun seorang penyair adalah seorang individu yang bebas kreatif, ia dan karya-karyanya  dibentuk dan dipengaruhi oleh hal-hal di luar dirinya. Baik berupa bahasa yang digunakan, maupun tradisi dan sejarah dimana sang penyair hidup atau menjalani hidupnya. Melalui pengaruh itulah gagasan, cita rasa, ideologi, hasrat dan motif penyair bercampur baur saling mengisi untuk kemudian diolah oleh penyairnya menjadi sebuah karya.

Dalam sudut pandang seperti itulah mestinya antologi puisi “Ciuman Pertama” ( selanjutnya disingkat CP) karya Edy Firmansyah dilihat dan diapresiasi. Sebab baik penyair maupun pembaca tidak bisa lepas dari posisinya dalam struktur sosial masyarakat. Ketika menerima dan membaca sebuah buku puisi, misalnya, seorang pembaca tidak bisa tidak akan menimbang berdasarkan posisinya dalam struktur sosial masyarakat tempat ia tinggal.

Barangkali pembaca menduga dengan membaca judul puisi yang ditulis mantan reporter Jawa Pos ini pembaca akan berkesimpulan bahwa isinya soal cinta picisan. Tapi jika membaca buku puisi yang terdiri dari sekitar 68 puisi barangkali pembaca akan menarik ulang kesimpulannya tersebut. Benar memang beberapa puisi di dalamnya mengambil tema soal cinta. Namun cinta dalam puisi CP bukanlah cinta picisan. Beberapa sajak cinta dalam CP justru merekam kisah cinta masa silam. Yang kini tinggal kenangan. 

Sebagaimana dalam sajak Ciuman Pertama sendiri. Yang sajak lengkapnya terdapat di cover belakang antologi ini. Dalam sajak itu berkisah soal sepasang muda mudi yang saking kasmarannya berciuman di kamar mandi masjid. Untuk ukuran pembaca generasi tua sajak ini jelas sajak yang “nekad” dan “kontroversial.” Jika benar aku lirik memotret soal percintaan muda-mudi di Madura, tempat penyairnya besar. Tapi kalau kita mau lebih jujur pada kenyataan sosial, soal ciuman pertama di kamar mandi masjid itu bukanlah soal yang serius jika dibandingkan dengan dekadensi moral yang terus mendera remaja Madura. Taruhlah contoh prilaku seks bebas, misalnya. Bukankah sudah berkali-kali kita dikejutkan oleh pemberitaan media soal peredaran video seks porno di Madura yang direkam sendiri oleh pelakunya yang juga berasal dari Madura?

Tapi sajak ciuman pertama tidak berhenti di situ saja. Ternyata kejadian ciuman pertama itu sudah 15 tahun lalu terjadi dan dilakukan aku lirik (tokoh orang pertama dalam sajak tersebut). Nyatanya setelah itu kedua pasangan muda-mudi yang pernah berciuman itu bertemu lagi di sebuah warung. Tapi ternyata tidak terjadi apa-apa, karena ada dinding tebal yang memisahkan hasrat birahi keduanya. Itu karena aku lirik dalam sajak itu sudah beristri. Bisa kita lihat disini, betapa setianya aku lirik dalam sajak ciuman pertama itu. Bukankah cinta yang paripurna adalah cinta yang setia. Itulah mengapa kesetiaan cinta selalu jadi abadi dalam karya sastra. Mulai dari Romeo dan Juliet-nya Shakespeare, cerita legenda Sampek Engtay di Cina, hingga kisah cinta klasik seribu satu malam. 

Atau barangkali sajak ciuman pertama merupakan sebuah permainan ironi yang hendak didesakkan penyairnya melihat realitas sosial di Madura di mana banyak pejabat-pejabat yang berumur justru masih doyan selingkuh, memelihara dan menumpuk-numpuk istri muda dengan menerabas dinding tebal hati ( metafor dari nurani ) sehingga ‘rela’ menghancurkan jati dirinya sebagai manusia? Entahlah.

     Nyatanya tidak hanya soal percintaan saja yang digarap penyair Edy. Madura sebagai tanah kelahirannya tak lepas dipotret dengan apik dalam buku puisi CP. Namun berbeda dengan penyair Madura lainnya, Madura dalam pandangan Edy Firmansyah justru penuh dengan kepedihan seperti misalnya dalam sajak berjudul “Melintasi Pesisir Pantai Camplong.” Sudah bukan rahasia umum lagi kalau Madura kini punya akronim baru selain madu dan darah, yakni madunya Negara. Sederhana saja, sebab saat ini sumber daya alam berupa, minyak dan gas di tanah madura tengah dieksplorasi dengan giatnya. Tapi di tengah-tengah maraknya eksplorasi minyak dan gas di tanah garam ini rakyat Madura masihlah rakyat yang miskin. Petani dan nelayan terus berhadapan dengan harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, bahan bakar minyak (BBM) yang terus dicabut subsidinya dan mahalnya biaya kesehatan. Seperti dalam bait “Melintasi Pesisir Pantai Camplong.”: O, ada mata kilang di laju kapal/mengebor dasar laut paling dalam/lautmu/laut yang jadi nadimu/sebentar lagi tak lagi milikmu// Dan yang tersisa hanya segenggam kepedihan seperti kucing yang terluka/dan pada layar sampanmu/angin kematian terus menyapa//

    Selain sajak “Melintasi Pesisir Pantai Campling” saja yang memotret soal kepedihan yang dialami masyakarat marjinal di Madura ditengah keeksotisan dan kekayaan alam Madura yang maha besar. Sajak-sajak seperti; “Madura,” “Ketika di Gardu Tua Blega,” “Di Kilometer 20,” “Tanahku,” “Sajak Pagi,” “Sajak Olle Ollang,” “Senja di Suramadu,” “Kampung Patemon,” “Catatan,” “Sajak Sepi,” dan sebagainya merupakan sajak-sajak yang mengangkat tema soal tempat di Madura dengan berbagai kepedihannya. 

    Dengan lain kata meski puisi merupakan imajinasi kreatif dalam proses penciptaan, tetapi di dalamnya terkandung relasi sosial, gagasan, kesadaran dan ideologi pribadi penyairnya dalam hubungannya dengan masyarakat tempat penyairnya tinggal. Dan Edy Firmansyah seperti hendak konsisten dengan pernyataan TS. Elliot diawal tulisan ini dalam menggarap CP. Sebab merupakan tanggung jawab dan tugas pengarang/sastrawan untuk merespon segala yang terjadi dalam realitas masyarakatnya. Dengan demikian puisi jadi punya makna dan berharga dalam kehidupan penyair dan pembacanya. (*)

*) Resensi ini dimuat di Harian RADAR MADURA, Minggu 02 Desember 2012

Tentang Penulis
Fesha AF merupakan nama pena dari Triya Diansyah. Penulis adalah penikmat sastra. Alumni Bahasa Arab STAIN Pamekasan. Tulisan-tulisannya berupa artikel dan puisi dimuat di berbagai media massa baik cetak maupun internet, misalnya: Radar Madura, Surya, Surabaya Post, Pembelajar.com, dsb. Kini bekerja sebagai pedagang buku sastra.

Tidak ada komentar: