WAKTU

JEDA

Kamis, 20 Desember 2012

Membaca Hegemoni dan Politik Media*)


Membaca Hegemoni dan Politik Media*)

Saya akan mengawali tulisan ini dengan cerita fakta dari negeri Paman Sam. Pada bulan Mei 1986, publik Amerika dikejutkan dengan terbitnya sebuah buku memoir yang ditulis Armando Valladeres, seorang bekas tawanan Kuba yang baru saja dibebaskan. Berdasarkan ulasan buku yang dilansir media seperti Washington Post dan New York Times secara berulang-ulang, buku tersebut dianggap sebagai buku yang membangkitkan inspirasi karena menceritakan tentang kebiadaban sebuah penjara di negeri sosialis di mana Fidel Castro berkuasa. ”Inilah laporan tentang sebuah sistem penyiksaan dan pemenjaraan yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan Castro untuk menghukum dan memusnahkan musuh-musuh politiknya” demikian media menjelaskan isi dari memoir tersebut.

Dan dengan cepat, buku tersebut menjadi sensasi di berbagai media. Menjadi pembicaraan publik Amerika hingga membuat gedung putih merasa perlu bereaksi atas pemberitaan media soal memoir tersebut. Apa reaksi gedung putih? Pada sebuah upacara di gedung putih yang disebut Hari Hak Asasi Manusia, tulis Noam Chomsky, Velladeres dipilih oleh Ronald Regan sebagai wakil Amerika di Komisi Hak Asasi Manusia PBB karena ketegarannya melewati horor dan sadisme yang dilakukan tiran Kuba yang kejam. Hal itu dilakukan tak lain karena Kuba adalah musuh bebuyutan Amerika. Dan penunjukkan Velladeres bisa menjadi alat cuci tangan AS terhadap kekejaman yang dilakukan pada masyarakat El Savador dan Guatemala saat mendirikan negara ‘boneka’nya.

Sementara itu, di bulan yang sama, Noam Chomsky melanjutkan, beberapa anggota kelompok HAM El Savador yang selamat—beberapa pimpinannya telah dibunuh—tertangkap dan disiksa, termasuk direkturnya, Anaya. Mereka dibawa ke sebuah penjara yang bernama La Esperensa (harapan). Mereka disiksa dengan keji; mulai dari pemukulan hingga sengatan listrik. Tapi penyiksaan tak menyurutkan perjuangan mereka. Sebaliknya, karena sebagian besar dari mereka adalah pengacara, perlawanan terus dilakukan. Salah satunya dengan mengumpulkan tanda tangan persetujuan bukti tentang adanya penyiksaan tersebut. Hasilnya, dari 432 narapida di La Esperensa mereka berhasil mengumpulkan 430 tanda tangan di bawah sumpah tentang adanya penyiksaan yang mereka alami. Termasuk penyiksaan yang dilakukan oleh seorang Mayor Amerika yang mengenakan seragam dan dijelaskan dengan tambahan beberapa detail.

Pengakuan tersumpah yang tebalnya 160 halaman itu berhasil diselundupkan ke luar penjara dan disebarkan oleh satgas antar agama di Marin Country. Apa yang terjadi? Tidak ada media dan stasiun televisi yang mau meliputnya. Apalagi melakukan investigasi. ”Memang ada sebuah artikel yang ditulis dan dimuat koran lokal di Martin Country, San Fransisco Examiner, tapi setelah itu tak ada lagi. Tak ada yang mau menyentuh persoalan ini” tulis Noam Chomsky.

Dan tak ada penghargaan apa-apa yang diperoleh Anaya. Pemerintah Amerika tidak menunjuk Anaya mewakili Komisi HAM di organisasi internasional manapun seperti yang diberikan pada Armando Valladeres. Sebaliknya justru tragedi menimpa Anaya. Dia dibebaskan dalam sebuah pertukaran napi dan kemudian dibunuh oleh kesatuan rahasia Amerika. Tak ada yang mempertanyakan kelanjutan laporan Anaya. Juga media. Laporan Anaya tentang kekejaman penjara El Savador dan Guatemala di mana Amerika berhasil mendirikan negara “boneka” di sana hilang tertindih oleh isu-isu lain.

Apa yang bisa ditarik dari cerita di atas di tengah makin menjamurnya media baru baik cetak maupun online di Indonesia? Mungkin masyarakat mempunyai beragam pilihan bacaan atas tafsiran media (dengan awak reporternya di lapangan) atas peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tapi perlu diingat bahwa media juga mempunyai peran besar dalam mengontrol opini publik berdasarkan tafsirannya atas peristiwa. Bukankah pemberitaan yang dilakukan media Amerika seperti diawal tulisan ini juga kerap terjadi di negeri ini? Pada medio 2009 publik Indonesia dikejutkan dengan peristiwa yang menimpa Manohara Odelia Pinot, seorang model Indonesia yang mendapatkan KDRT oleh suaminya, Pangeran Kerajaan Kelantan, Malaysia, Muhammad Fakhry. Media massa di Indonesia memberitakannya dengan detail. Sontak Manohara mendapatkan perhatian publik. Dan pemberitaan media pula yang mendorong pemerintah (melalui Kementerian Perempuan) memperjuangkan “nasib” Manohara. Tapi berbeda misalnya pemberitaan media mengenai kasus TKW dan TKI di Malaysia yang mendapatkan perlakukan keji dari majikannya. Media tak sanggup mendorong pemerintah menuntaskan banyak kasus TKI dan TKW yang meninggal secara tak wajar di negeri Jiran, misalnya. Dalam kasus lain misalnya, kasus penghilangan paksa aktivis-aktivis pada medio 1996-1997 yang dilakukan negara melalui kopassus dengan tim mawarnya juga tak mendapatkan berita serius dari media massa. Siapa dalang dibalik penghilangan paksa itu juga belum terungkap hingga sekarang. Sebuah ironi sebenarnya ditengah menjamurnya media massa cetak dan elektronik di negeri ini.

Itulah mengapa diperlukan sikap kritis atas maraknya kemunculan media massa baik cetak maupun online yang bak jamur di musim hujan. Sikap kritis tersebut diperlukan karena tidak ada pemberitaan yang ‘bersih’ di media manapun. Kita tak bisa sepenuhnya percaya pemberitaan media. Setiap media punya sikap politik dan ekonominya sendiri-sendiri. Kisah soal Armando Valladeres dan Herbert Anaya diawal tulisan ini bisa dilakukan media manapun dalam bentuknya yang lain.  Tentu saja kita tak menginginkan itu terjadi. Ataukah memang tengah terjadi dan terus terjadi juga di negeri ini? Entahlah.

Tapi saya punya pengalaman untuk menutup tulisan ini. Pada awal 2006 saya meliput demo besar buruh di depan kantor Gubernur Jatim yang menuntut soal UMR. Saya mewancarai aktivis dari FNPBI dan PRD Jatim sebagai perwakilan ‘suara’ buruh. Ketika hasil liputan itu saya serahkan ke redaktur, tiba-tiba saya dipanggil.

”Ganti narasumbermu. Bos tidak suka komentar dari PRD dan sejenisnya.” Kata redaktur saya. Malam itu saya pontang-panting mencari narasumber lain dari serikat buruh. Beruntung ada kawan reporter dari media lain yang baik hati mau membantu saya membagi hasil wawancaranya dengan perwakilan serikat buruh yang moderat.  Esoknya, berita saya turun. Dan komentar dari perwakilan FNPBI dan PRD Jatim tak muncul. Diganti dengan komentar dari serikat buruh yang saya dapat dari kawan saya itu. Nah!

*) Tulisan ini dimuat di Harian Radar Surabaya, 09 Desember 2012

Tidak ada komentar: