WAKTU

JEDA

Kamis, 13 Desember 2012

Membaca Sastra Indonesia Hitam Putih

Membaca Boemipoetra, Membaca Sastra Indonesia Hitam Putih*)

Judul                : Djoenal Boemipoetra
Penulis              : Wowok Hesti Prabowo, dkk
Penerbit            : Boemipoetra, Tangerang
Cetakan           : I, November 2012
Halaman           : 272 halaman



Jurnal itu cuma sekedar corat-coret di toilet. Begitulah kira-kira komentar Goenawan Mohammad (GM) ketika menanggapi terbitnya Djoernal Boemipoetra (selanjutnya disingkat BP). Malah saking tak bergunanya BP di mata penyair yang juga pernah jadi pemimpin redaksi Majalah Tempo itu, ia sempat meramalkan, dalam sebuah wawancara, bahwa BP tak akan bertahan lebih dari enam bulan.

Tapi ‘’ramalan’’ salah satu penandatangan manifes kebudayaan (manikebu) itu keliru sama sekali. BP terus terbit. Dicetak 1000 eksemplar tiap edisinya, meski dananya berdasarkan patungan antar redakturnya dan hasil sumbangan dari sukarelawan. Bahkan pada Oktober 2011 lalu BP memasuki usianya yang genap lima tahun.

Nah, buku ini adalah salah satu bentuk perayaan awak redaksi BP. Jurnal BP yang bertebaran selama lima tahun itu dikumpulkan ulang kemudian dijadikan buku. Tujuannya sebagai pelajaran bagi kesusastraan Indonesia bahwa di mana tumbuh rezim sastra, disitu akan lahir pejuang-pejuang yang menentangnya. Tidak untuk menjadi pahlawan atau pecundang. Yang terpenting dari perlawanan adalah mengangkat bendera tinggi-tinggi. Pena dilesatkan.

Lalu apa yang membuat GM memandang rendah BP hingga menganggap isinya sekedar corat-coret di toilet? Kalau membaca pengantar di cover belakang buku ini ( yang diambil dari “tajuk rencana” BP edisi kedua 2007) kita akan mengerti mengapa GM memandang sinis BP. Sebab BP tanpa tedeng aling-aling menuding GM sebagai pecundang bangsa, penipu rakyat dan pelacur budaya.

Buktinya? Pertama, GM yang selama ini mencitrakan dirinya sebagai orang yang pro demokrasi ternyata prilakunya sangat anti demokrasi. Contoh kongkretnya adalah kasus DKJ (Dewan Kesenian Jakarta). Nyaris hampir semua pengurus DKJ adalah orang-orang KUK ( Komunitas Utan Kayu) yang dipilih dengan cara amat tidak demokratis.

Kedua, GM yang selama ini mencitrakan dirinya pro-rakyat nyatanya tidak berpihak pada rakyat. Ia dan antek-anteknya secara nyata mengiklankan dirinya mendukung kenaikan BBM melalui iklan sehalaman penuh di berbagai koran nasional. Mereka dibiayai Freedom Institute milik keluarga Bakrie yang kini menenggelamkan Sidoarjo dengaan lumpur lapindo.

Ketiga, alih-alih menghargai keberagaman, justru ia dan antek-anteknya memaksakan keseragaman pikiran dan nilai-nilai barat yang diimpornya ke dalam kebudayaan Indonesia. Termasuk upayanya menyeragamkan warna kesusastraan Indonesia dengan sastra kelaminnya.

Bukan hanya GM yang diserang oleh BP. Komunitas Utan Kayu (KUK) dan Salihara, dua ‘lembaga’ yang menjadi wadah kesenian yang didirikan GM juga tak luput dari tajam pena BP. Termasuk juga karya yang dikeluarkan anggota komunitas tersebut. Kritik sastra dan sastra kritik dilancarkan BP baik melalui esai-esai, cerpen, dan puisi. Misalnya esai yang ditulis kritikus sastra Indonesia asal Jerman, Katrin Bandel, berjudul “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa” ( BP edisi Mei-Juni 2008), atau esai “Seksualitas dalam Sastra Indonesia” untuk mengkritik Novel Saman karya Ayu Utami (BP edisi Januari-Maret 2010).

Apa reaksi mereka yang dituduh BP secara terang-terangan tanpa tedeng aling-aling itu? Seorang Sitok Srengenge dalam suatu kesempatan pernah mengatakan bahwa BP hanya berisi fitnah belaka. Tapi salah seorang redaktur BP yang dikenal sebagai presiden penyair buruh, Wowok H Prabowo, justru menantang balik Sitok. ”Jika benar ada isi BP fitnah, silahkan tunjuk tulisan mana yang berisi fitnah. Bila perlu melalui jalur hukum” tulis peraih penghargaan Yin Hua tahun 2001 itu di BP edisi Agustus-Oktober 2011.

Tantangan Wowok terhadap Sitok menunjukkan bahwa BP tidak digarap main-main dan asal-asalan untuk sekedar meraih popularitas dalam jagad sastra Indonesia. Banyak sastrawan ternama yang menjadi kontributor di BP. Mulai dari D. Zawawi Imron, Katrin Bandel, Beni Setia, Kusprihyanto Namma, Saut Situmorang, Ahmadun Y. Herfanda, untuk sekedar menyebut beberapa nama. Dengan lain kata tudingan GM bahwa BP sekedar corat-coret di toilet makin menunjukkan bahwa komentar penulis catatan pinggir itu hanya sekedar asal bunyi belaka. Sulit dibantah misalnya, esai-esai Katrin Bandel dalam BP sekedar corat-coret di toilet belaka, meskipun beberapa tulisan istri Saut Situmorang itu di BP itu sebelumnya pernah juga diterbitkan dalam buku kumpulan esainya ”Sastra, Perempuan dan Seks” oleh penerbit Jalasutra tahun 2006 silam.

Nyatanya bukan hanya GM dan antek-anteknya di KUK dan Salihara saja yang diserang BP. Taufiq Ismail dan Seno Gumira Adjidarma juga tak luput dibahas BP. Pasalnya, keduanya terlibat kasus plagiasi. Taufiq Ismail diduga kuat melakukan plagiasi dalam puisinya berjudul “Kerendahan Hati” atas puisi salah satu penyair Amerika, Douglas Malloch (May 5, 1877 – July 2, 1938). Sedangkan Seno Gumira Adjidarma diduga kuat melakukan plagiasi atas cerpen Tiga pertama karya sastrawan legendaris Rusia, Leo Tolstoy, dalam cerpennya berjudul “Dodolitdodolitdodolibret. Ironisnya, cerpen penulis buku kumpulan cerpen “Saksi Mata” yang juga peraih SEA Write Awars itu justru mendapatkan anugerah cerpen terbaik pilihan Kompas 2010. (BP, edisi Januari-Juni 2011).

Karena itu, bagi mereka yang ingin tahun perkembangan sastra Indonesia dengan berbagai intrik politik yang terjadi di dalamnya selama lima tahun silam buku setebal 272 halaman ini layak dibaca. Dalam buku ini kita diajak membuka mata lebar-lebar bahwa sastra bukanlah dunia suci yang turun dari kepala dewa-dewa langit. Sastra adalah produk kebudayaan. Sebagai sebuah produk kebudayaan sastra tidaklah netral. Disamping itu, buku ini penting bagi mereka (terutama sastrawan di daerah yang mengtahui hiruk-pikuk sastra “nasional” dari media mainstream) yang memitoskan sastrawan KUK dan Salihara sebagai ‘dewa’ sastra untuk menata ulang pikirannya tentang mitos-mitos yang telah disebarkan melalui media massa.

Dibandingkan buku lain buku BP ini ”unik”. Selain tidak dilengkapi halaman (karena sekedar mengkliping 22 edisi BP selama lima tahun), buku ini juga terbilang besar; 21 x 29,5 cm. Pembaca akan membaca versi asli BP yang dibeberapa edisi masih banyak typo di sana-sini. Meski begitu hal tersebut tak mengurangi manfaat buku ini. Hanya saja buku ini tidak dijual bebas di toko buku di Indonesia. Mereka yang berminat harus memesannya lewat akun twitter @indiebookcorner atau melalui situs www.bukuindie.com yang kabarnya saat meluncurkan buku BP ini situs tersebut diserang hacker. Meski demikian, buku tersebut telah melanglang buana ke benua eropa (Belanda, Jerman dan Prancis) dibawa salah satu redaktur BP, Saut Situmorang, dalam perjalanan sastranya pada akhir November 2012 lalu.

*) Tulisan ini dimuat di KORAN MADURA, 13 Desember 2012 [ http://issuu.com/koranmadura/docs/koran_madura ]

Tidak ada komentar: