WAKTU

JEDA

Selasa, 23 September 2008

Memotong Mata Rantai Korupsi di Daerah

Dimuat di BALI POST, 20 September 2008



Memotong Mata Rantai Budaya Korupsi di Daerah
Oleh: Edy Firmansyah



Problem korupsi di negeri ini kian hari kian parah. Betapa tidak, korupsi seakan telah menjadi virus yang menjalar hampir di semua sendi lembaga pemerintahan. Tidak hanya di pusat saja, virus tersebut kini juga menyebar di daerah sebagai efek otonomi daerah. Ironisnya, pelakunya justru kaum elite yang sejatinya menjadi panutan masyarakat.

Kasus penyelewengan dana operasional dan bantuan hukum di DPRD Jember yang ditaksir merugikan negara sebesar Rp. 485 juta, yang kemudian menyeret ketua dan wakil ketua DPRD ke meja hijau, serta kasus pemberian dana gratifikasi dari Pemkot Surabaya untuk anggota DPRD Surabaya dengan kerugian negara mencapai Rp. 720 juta merupakan puncak gunung es dari kasus korupsi di daerah. Tidak menutup kemungkinan kasus korupsi di daerah lain yang belum terungkap masih terus berlangsung.

Karenanya tak keliru jika Transparancy International (TI) menempatkan Indonesia dalam lima besar negara terkorup di dunia. Disejajarkan dengan Pakistan, Kenya, Cina, Kamerun, Nigeria, India, Rusia dan Bangladesh yang juga merupakan negara sedang berkembang dengan gejolak politik dan kecamuk korupsi yang akut.

Parahnya lagi, para koruptor (atau yang disangka korupsi) di negeri ini justru masih mendapatkan perlakuan istimewa. Misalnya, diberikan tempat khusus dalam tahanan yang terdapat fasilitas layaknya hotel. Mendapat penjagaan ketat dan bisa berkomunikasi dengan keluarga. Banyak kalangan yang menilai perlakukan ini dikarenakan dalam lembaga pengadilan masih terdapat counter opinion, sehingga tidak pernah ketemu antara penghukuman dan pembebasan. Di dalam lembaga penegakan hukum sendiri ada mafianya yang berlindung dibalik kekuasaan sebuah lembaga. Kasus Artalyta yang melibatkan sejumlah jaksa merupakan sedikit bukti bukti merebaknya mafia peradilan.

Padahal korupsi adalah kejahatan yang nyata. Dan sebagai sebuah kejahatan tentu menimbulkan dampak yang luar biasa baik secara sosial, ekonomi, dan politik. Antara lain; terjadinya pemusatan ekonomi pada elite politik, diskriminasi kebijakan, pembangunan yang tidak merata, ekonomi biaya tinggi dan pertumbuhan ekonomi terhambat. Ekses negatif itu menjadikan rakyat miskin semakin tak terbendung jumlahnya, kekurangan gizi, meningkatnya angka pengangguran, serta lunturnya rasa nasionalisme.

Karenanya tak keliru jika Prof JE Sahetapy, salah seorang pakar kriminologi, menyebut para koruptor tak jauh beda dengan bandit atau penjahat berkaliber berat. Pasalnya, mereka (para koruptor itu) berdasi, berjas, berpantalon yang mahal sesuai tuntutan mode, tampak patuh pada undang-undang, beramal dan kalau perlu menjadi anggota panitia sosial ynag terkenal; meluncur dalam Mercedes atau Volvo sembari melakukan praktek kejahatan tersembunyi di balik tutur kata dan sopan satun yang gearticulateerd. Mereka tidak berasal dari lapisan masyarakat miskin, yang kasar; mereka tidak berotot kekar seperti bajingan umum menurut gambaran Lombroso tentang penjahat. Namun prilaku mereka sama jahatnya dengan perampok dan pembunuh, tetapo dengan mempergunakan cara dan metode yang lain.

Pertanyaan sekarang adalah mengapa begitu sulit mengurai benang kusut korupsi di negeri ini? Akankah kita bertahan sebagai negara terkorup di dunia atau bangkit menciptakan counter culture untuk menghilangkan budaya korupsi itu? Suhartono W. Pranoto dalam bukunya yang berjudul Bandit berdasi, Korupsi Berjamaah setidaknya memberikan gambaran mengenai hal tersebut. Bahwa korupsi yang terjadi di negeri ini bukanlah proses asal jadi. Ia hadir, berkembang dan berurat akar berdasarkan proses dialektis. Jadi selama korupsi tidak dibaca secara materialisme-historis, maka proses pemberantasan korupsi hanya akan jalan ditempat. Karena ibarat rumput, kita hanya berhasil memangkas batangnya, tetapi tidak mencongkel akarnya.

Korupsi sebenarnya bermula dari budaya feodal. Budaya feodal (baca: kerajaan) Jawa masih mengikuti konsep Hindu sebagaimana tertuang dalam Kitab Manawa, bahwa rajalah pemilik semua yang ada di langit dan di atas bumi. Karena sebagian besar kerajaan Jawa adalah kerajaan agraris maka pemaknaan atas kepemilikan kekayaan raja adalah tanah. Pemahaman tersebut yang kemudian melahirkan perampasan tanah besar-besaran milik petani. Hal itu dilakukan membayar para birokrat kerajaan. Saat itulah berlaku hubungan hirarkis.

Dimana pejabat rendahan loyal terhadap pejabat tengahan, selanjutnya pejabat tengahan loyal terhadap pejabat atasan yang berpusat pada raja. Bukti loyalitas tersebut berupa pengiriman upati yang sejatinya perampasan terhadap hasil pertanian rakyat. Semakin banyak upati yang dikirim, maka seorang birokrat kerajaan dianggap semakin loyal. Dari sinilah praktek korupsi bermula. Birokrat rendahan tentu saja tidak ingin loyalitasnya hanya berupa loyalitas buta. Maka, ketika mengirimkan upeti, beberapa diantaranya ia simpan untuk menumpuk kekayaannya sendiri. Begitulah berlanjut terus menerus. Budaya birokrasi ini kemudian dilanggengkan oleh kolonialisme Belanda untuk melakukan eksploitasi sumber daya manusia dan alam tanpa berhubungan langsung dengan masyarakat Indonesia.

Sayangnya, pasca kemerdekaan budaya ini bukannya dibabat habis melainkan dibiarkan tumbuh subur hingga sekarang. Karena itu satu-satunya cara membebaskan negeri ini dari budaya korupsi menurut Pranoto adalah transformasi budaya. Yakni upaya melakukan pemotongan satu generasi melalui pendidikan anti korupsi.

Melalui pendidikan yang matang maka secara tak langsung akan mengubah moral dan prilaku anak bangsa. Hanya saja waktunya cukup lama. Untuk mempercepatnya penting ditunjang dengan law enforcement dan reformasi birokrasi radikal. Sehingga efek jera akibat tegasnya hukum, membuat para koruptor semakin gentar melakukan korupsi. Misalnya membuat kebijakan agar KPK membuka kantor cabang di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Berikutnya dengan reformasi birokrasi radikal, lembaga pemerintahan akan dikelola oleh orang-orang yang bersih serta memiliki integritas tinggi untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Tentu saja akan banyak korban yang berjatuhan. Untuk itu, diperlukan political will yang berani dari pemerintah daerah agar negeri ini merdeka dari budaya korupsi.

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: