WAKTU

JEDA

Senin, 29 September 2008

Lebaran dan Fitrah Kemanusiaan Sejati

Dimuat di Harian SURYA, 29 September 2008


Lebaran dan Fitrah Kemanusiaan Sejati
Oleh: Edy Firmansyah



Umat Islam mengakhiri bulan Ramadhan dengan merayakan Idul Fitri atau Lebaran. Sejatinya makna silaturahmi damai dan solidaritas-hospitalistik terpancar kuat dalam tradisi lebaran. Bahkan melalui tradisi lebaran, kodrat keagamaan yang sering cenderung eksklusif mengkotak-kotakkan dan ujungnya memecah belah persatuan dan kesatuan pelan-pelan mampu terkikis.

Betapa tidak, usai sholat Id semua manusia secara bergelombang merobohkan dinding-dinding dendam, konflik, rasa benci, rasa iri dengan berbagi maaf. Saat itulah semangat inklusif dan memberi ruang harmoni yang melahirkan damai dalam kehidupan bersama bersemi dengan indah.

Semangat itulah yang sejatinya merupakan iman tertinggi yang lahir dari sisi terdalam kemanusiaan. Dimana semua manusia dariberbagai golongan, ras, etnik dan agama sebenarnya memiliki kedudukan yang sama di hadapan tuhan. Menurut Fowler dalam bukunya Stages of Faith: The Psychology of Human Development and The Quest for Meaning (1981) iman manusia mengalami perkembangan, dari tahap intuituf-proyektif, mitis-literal, sintesis-konvensional, individual-reflekstif, konjungtif ke tahap universal. Dalam perkembangan tertinggi, iman dihayati sebagai upaya menginkarnasi dan mengaktualisasi semangat berlandaskan inklusifitas dan universalitas.


Disini, perhatian dan kepentingan tidak lagi terkungkung batas-batas umat atau kelompok sendiri. Melainkan lebih memberikan penghargaan kepada pihak lain sekaligus dorongan untuk membangun persaudaraan yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. (Prakosa, dalam Fitrah Manusia, Kompas, 12/08/07). Artinya, semakin seseorang memiliki kedewasaan iman, ia akan semakin bersikap terbuka kepada pihak lain yang berbeda darinya.

Ironisnya, ternyata masih sulit menemukan pemeluk agama dengan keimanan sejati sebagai pembawa bendera perdamaian ditengah maraknya tindakan teror, tindak kekerasan atas nama agama, diskriminasi pemeluk agama mayoritas terhadap pemeluk agama minoritas.

Padahal sungguh betapa nikmatnya, jika saja setiap umat manusia memahami ajaran fitrah paling fundamental sebagaimana diutarakan Fowler diatas. Niscaya kekerasan dan teror tak akan terjadi dalam masyarakat dunia. Semua umat manusia akan hidup dalam kedamaian dan rasa persaudaraan sebagai makhluk Tuhan. Sayangnya, kehidupan umat manusia selalu penuh konflik disertai kekerasan hanya karena berebut kuasa dan kekayaan. Sejarah umat manusia selalu merupakan kisah pertarungan setan dan malaikat, manusia saleh dan manusia culas yang munafik, yang sering dimenangkan setan yang piawai untuk berlaku manis dan menyembunyikan maksud jahatnya, kadang atas nama Tuhan dan keimanan itu sendiri.

Hal itu karena kita selalu memaknai kitab suci dengan ambisi mengubah dunia kita lebih cepat dari kemampuan kita mengubah diri sendiri. Sehingga kita menerapkan makna kitab suci yang ditulis dengan latar sejarah masa lampau pada masa kini. Kita terbiasa menoleh ke belakang. Padahal peristiwa apapun alangkah baiknya kita tidak menoleh kebelakang. Selalu menatap ke masa depan adalah langkah bijak membangun peradaban manusia.

Karena itu di hari kemenangan ini, menurut Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya Sufi Pinggiran; Menembus Batas-batas, penting kiranya mempertanyakan kembali, apakah sebenarnya yang kita cari dalam hidup berbatas badan wadag yang dikenai sakit dan jiwa ragawi yang dikenai kesedihan ini? Tanpa kritik atas hasrat ego keimanan pada tuhan itulah keagamaan manusia tak lebih dari sekedar mencari alasan untuk membunuh orang lain atas nama Tuhan dan kebenaran ajaran-Nya. Tuhan pun diperkosa bagi kepentingan nafsu serakah dan hasrat seksual melalui kuasa-kuasa politik dan ekonomi. Dan jika kondisi ini yang terjadi maka kita, manusia, tak lebih dari sekedar hewan berakal.

Karenanya Idul Fitri kali ini haruslah digiring menuju ’kemenangan’ yang sejati. ’kemenangan’ itu menurut Hassan Hanafi dalam Bukunya Islam Kiri adalah menyuarakan pembelaan pada kaum tertindas, lemah dan miskin, membela kepentingan seluruh umat manusia, mengambil hak orang miskin dari orang kaya dan menjadikan manusia sama rata kecuali atas dasar ketaqwaan dan amal saleh. Dengan meningkatkan kepedulian dan berada di garda depan perjuangan membela kaum tertindas itulah sebenarnya merupakan jalan universal menumbuhkan kedewasaan iman. Karena perjuangan terhadap ketertindasan bukanlah milik segelintir penganut agama atau aktivis kemanusiaan, melainkan merupakan kewajiban setiap manusia.

Itulah sebenarnya yang menjadikan inti mengapa agama diturunkan ke bumi. Yakni untuk melahirkan ideologi yang bercirikan perdamaian, keselamatan dan kebersamaan bisa diwujudkan. Bukankah ideologi itu yang menjadikan manusia mampu kembali ke fitrah secara kaffah? Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 Hijriah. Maaf Lahir dan Batin.


TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Pemerhati Masalah Keagamaan. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: