WAKTU

JEDA

Selasa, 30 September 2008

Religiositas Toron dan Kekalahan Kaum Urban

Dimuat di METROPOLIS JAWA POS, 30 September 2008



Religiositas Toron dan Kekalahan Kaum Urban
Oleh: Edy Firmansyah



Mudik menjadi ritual tahunan yang mewarnai hari-hari menjelang lebaran di negeri ini. Masyarakat berjibaku menerobos hiruk-pikuk lalu lintas, rela berdiri memadati gerbong kereta api dan kapal ferry demi apa yang disebut ”pulang kampung.” Sesungguhnya apa yang dikejar masyarakat negeri ini dengan tradisi mudik?

Dalam masyarakat Madura tradisi mudik lebih dikenal dengan istilah Toron (baca: turun). Di manapun orang Madura merantau, entah di pulau-pulau kecil atau besar, entah di kota maupun di pedalaman, tiap pulang ke kampung halaman, bahasa yang digunakan adalah Toron. Berbeda dengan sebutan tradisi mudik di masyarakat Jawa dan Sunda. Pulang ke kampung halaman bagi masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah Munggah (baca: naik).

Namun tulisan khusus membahas mudik dari budaya madura. Pasalnya, orang madura dikenal sebagai masyarakat perantau. Hampir di semua wilayah di nusantara ini terdapat orang Madura. Bahkan meski tak sedikit orang-orang madura di rantau yang hanya menjadi pengemis, PKL, anak jalanan, gali, pencopet dan pekerjaan kasar lainnya, mereka merasa bangga bisa berada di luar madura. Tentu saja pandangan tersebut harus diluruskan.

Bahasa Toron barangkali merujuk pada hakekat asal muasal manusia. Dalam masyarakat Madura ada lima manusia yang harus dipatuhi segala petuah dan diamini segala perbuatannya), yakni Bapa’ Babu’ ghuruh, ratoh (Ayah, ibu, guru dan raja). Nah, istilah toron itu untuk kembali bersembah sujud atau sungkem pada kedua orang tua (bapak ibu). selain itu, mudik juga digunakan untuk menghormati nenek moyang dan tanah kelahiran.

Artinya dalam tradisi toron, tercermin suatu makna perennial bahwa setiap orang menghendaki atau mengharapkan kembalinya diri ke tempat asal-muasal. Tidaklah heran jika pemudik rela menggadaikan barang, berhutang kesana kemari kemudian menempuh perjalanan panjang meskipun berjarak ratusan kilometer—bahkan rela antre berjam-jam di loket bus, stasiun kereta api—hanya untuk bertemu dengan sanak famili barang sehari dua hari di hari lebaran.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa tradisi mudik atau toron dilakukan justru menjelang dan mendekati selesainya puasa yang merupakan bulan suci bagi umat Islam Indonesia? Menurut Jacob Somardjo, salah seorang budayawan Indonesia, gejala ini menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang tingkat religiositasnya tinggi sejak dahulu kala. Hidup ini bukan masalah sekular belaka. Hidup ini selalu merupakan bagian, menyatu, dengan hal-hal metafisika. Hidup ini fisikal-metafitrikal, halus-kasar, sakral-profan, rohaniah-badaniah, surgawi-duniawi. Substansi ini amat terasa hadir selama bulan Ramadan. Di situ manusia merasa amat dekat dengan Allah, mematuhi perintahnya, tunduk padanya seratus persen, manunggaling kawula Gusti.

Dalam konteks inilah Idul Fitri kemudian menjadi klimaks dari arus mudik. Ketika praktis sebelas bulan lamanya manusia disibukkan dengan segala aktivitas yang bisa memalingkan dirinya dari potensi keilahian, maka melalui Idul Fitri, manusia dituntut mampu melakukan pemaknaan kembali terhadap fitrah kemanusiannya. Jika dalam paradigma modernisme, kebermaknaan dilihat dari ukuran material, maka dengan Idul Fitri kebermaknaan manusia diukur dari seberapa dalam kemampuannya dalam mentransedensikan dirinya melalui olah rohani serta kemampuannya merajut jalinan kasih dengan sesama manusia.

Jadi mudik dalam hal ini diartikan sebagai bentuk penyerahan diri. Penyucian diri dari segala laku lampah yang buruk selama diperantauan agar fitrah diri manusia yang awalnya dari tanah kembali mewujud dalam diri individu-individu.

Hal di atas bisa dimaklumi, karena selama masa perantauannya, masyarakat urban “dipaksakan” menerima dan menjalankan tatanan sosial yang sebenarnya bertentangan dengan “kodratnya.” Menurut Pramodya Ananta Toer manusia dilahirkan sejatinya untuk mencipta dan bekerja. Tapi bukan kerja menghamba. Nah, kondisi di perkotaan justru sebaliknya. Masyarakat urban berkerja sebagai ‘kuda’, tidak hanya ratusan tapi ribuan masyarakat urban yang terpaksa menjadi kuli-kuli untuk sekedar mendapat sesuap nasi.

Sampai disini bisa dilihat—Meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer—bahwa gelombang mudik yang terjadi di masyarakat Madura (barangkali juga Jawa) bukanlah gelombang kemenangan. Cerita soal kemenangan atau soal kekayaan selama merantau semua hanyalah bualan tentang kisah kesenangan orang-orang mapan. Bukan milik masyarakat urban itu sendiri. Kembalinya mereka ke kampung halaman sebenarnya membawa tragedi tentang kekalahan, karena selama bertahun-tahun merantau di kota besar, sebenarnya mereka telah jadi ‘sampah’.

Karena itu saya sepakat dengan Pramoedya Ananta Toer dalam esainya berjudul Djakarta ) yang memberikan peringatan pada para pemudik untuk mengembangkan tanah kelahirannya. ”Lupakan Jakarta. Tinggallah di daerahmu. Buat­lah usaha agar daerah bisa menjadi sumber kegiatan sosial, sumber kesadaran politik dan sumber penciptaan dan latihan kerja. Sehingga daerah bisa juga melahirkan bunga bangsa di kemudian hari.” (Almanak Seni, 1957)

Dengan kata lain mudik kali ini harus mampu melahirkan pahlawan-pahlawan baru. Yakni, pahlawan yang bisa membendung tiap-tiap orang yang hendak hidup dan memadatkan kota besar. Karena usaha tersebut bukan solusi efektif mengentaskan kemiskinan, melainkan menggali semakin dalam lobang hitam keterpurukan. Nah, siapa yang akan memulai?

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Pemudik Asal Madura. Peneliti pada IRSOD ( Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: