WAKTU

JEDA

Selasa, 16 September 2008

Membongkar Hegemoni Media

Dimuat di KPO Bali, Edisi 1-15 September 2008

Membongkar Hegemoni Media
Oleh Edy Firmansyah


Judul : Membongkar Kuasa Media
Penulis : Ziauddin Sardar
Penerbit : Resist Book, Yogyakarta
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : 178 Halaman

Tak seorangpun bisa lepas dari jeratan kuasa media. Berdasarkan riset, rata-rata manusia di era mondial ini menghabiskan lebih dari 15 tahun dalam kehidupan untuk menonton televisi, film, video, membaca surat kabar, mendengarkan radio dan berselancat di internet. Artinya, manusia menghabiskan sepertiga dari hidupnya dengan membenamkan diri dalam media. Sehingga kemampuan berbicara, berpikir, berhubungan dengan orang lain, bahkan mimpi dan kesadaran akan identitasnya sendiri dibentuk oleh media.

Padahal tak semua tayangan dan isi media memberikan pengetahuan dan wawasan baru sebagai upaya manusia mengembangkan diri. Pasalnya akumulasi media di tangan beberapa korporasi justru lebih mempertimbangkan bagaimana mendapatkan laba sebesar-besarnya di tengah ketatnya persaingan antar media. Makanya tak heran demi mengejar popularitas dan menjadi media nomer satu yang paling diminati pemirsanya mereka malah menayangkan acara yang nyaris penuh dengan fatamorgana, hiperealitas dan bertendensi mengeksploitasi pemirsa.

Bagi penikmat media yang tidak memiliki pertahanan diri yang kokoh, maka dihadapan media, manusia akan mudah—meminjam penjelasan Yasraf Amir Piliang—dipaksa tenggelam dalam wacana simulasi. Dimana perbedaan antara yang ‘nyata’ dan ‘fantasi’ atau yang ‘benar’ dan ‘palsu’ menjadi sangat tipis. Sehingga manusia dipaksa hidup dalam ruang ‘khayali yang nyata.’ Karenanya isi tayangan dan pemberitaan media tak kalah ampuhnya dengan pelajaran sejarah atau etika di sekolah yang menawarkan informasi dan membentuk sikap dan gaya hidup.

Karena itu, menurut Ziauddin Sardar, penulis buku Membongkar Kuasa Media ini, satu-satunya cara agar kita tidak dimangsa media adalah kita harus memandang aktivitas kia sendiri secara kreatif dan menjadi pengguna media yang kritis. Artinya, memahami konsep bahwa tidak semua yang bacaan di suat kabar atau tayangan televisi dapat dipercaya begitu saja. Karena sebagian yang kita lihat di televisi merupakan masalah politik, sebagian lagi sebagai sastra dan sebagian masalah sosiologi.

Bahkan Sardar pada awal pembuka buku ini memberikan amaran bahwa studi media penting diajarkan pada anak-anak di sekolah dasar. Kalau perlu dijadikan sebagai kurikulum reguler di sekolah. Kita harus memastikan bahwa anak-anak selayaknya diberikan alat untuk mengembangkan ketrampilan memandang sesuatu dengan kritis sejak usia dini.

Mengapa? Karena penikmat media (terutama teevisi) yang paling rapuh tentu saja anak-anak. Betapa tidak, berdasarkan data anak usia SD-SM (7-15 tahun), mengisi waktu 30-35 jam seminggu untuk menonton televisi. Padahal isi tontonan televisi sebagian besar berisi sinetron. Alih-alih isi dan cerita sinetron mendidik, menurut yayasan pengembangan Media Anak, sepanjang 2006-2007 adegan kekerasan dan seks sangat dominan dalam sinetron. Celakanya, sulit sekali menghapus sinetron dari daftar tayangan televisi. Pasalnya, tayangan ini memang kerap memperoleh rating tinggi, yang menarik minat pengiklan, yang menyedot lebih 60 persen belanja iklan nasional.

Dan sekali lagi, anak-anak paling mudah menjadi mangsa iklan. Menurut Sardar, salah satu contoh klasik tentang ’kekuatan rengekan’ yang dikaitkan dengan gaya hidup sehat bagi anak-anak dan menempatkan orang tua di posisi yang mudah untuk dipengaruhi adalah Iklan Sunny Delight di Amerika. Dalam iklan tersebut disebutkan bahwa minuman itu mengandung vitamin A, B (1 dan 6) dan C. Para orang tua berpikir minuman tersebut lebih sehati daripada merk konvensional seperti coke dan Pepsi. Karenanya kemudian minuman tersebut laris keras. Bahkan ibu-ibu di Amerika membekalkan minuman itu dalam kota makan siang anak-anaknya. Padahal berdasarkan badan Pengawas makanan Sunny Delight justru sarat dengan bahan pengental, pewarna dan perasa makanan yang membuatnya terlihat seperti jus buah (hal.15-16). Dengan kata lain, semua yang ditayangkan iklan hanyalah trik pemasaran belaka hanya agar masyarakat terus tenggelam dalam budaya konsumerisme.

Hal itu dilakukan agar kaum kapitalis dapat terus mempertahankan hegemoninya dan mencegah krisis produksi terjadi. Krisis produksi yang dimaksud adalah menumpuknya barang produksi di gudang karena konsumen mulai jenuh. Nah, dengan menggunakan media para kapitalis mampu meng-indokrinasi dan memanipulasi publik dan mendorong masyarakat tenggelam dalam kesadaran palsu tanpa pernah menyadarinya.

Barangkali karena juga ditujukan sebagai pengetahuan dasar anak-anak mengenai media, buku ini tidak seperti buku studi media umumnya. Buku studi media tergolong ’berat’ dan sulit dicerna karena analisanya yang kompleks. Sebab menganalisa media adalah menyuguhkan relasi terselubung antara media, ideologi pengetahuan dan kekuasaan. Namun dalam buku ini kita justru diajak menjelajah sejarah media, industri media, riset-riset media, ekploitasi perempuan dalam media hingga menelaah bagaimana audiens dibentuk oleh media dan pada gilirannya menginterpretasikan isi dan makna dalam representasi media tanpa perlu mengerutkan dahi. Sebab buku membongkar kuasa media ini disuguhkan dalam bentuk komik.

Disamping itu, meski buku ini merupakan tinjauan kritis terhadap media, ternyata isinya tidak dijejali dengan bahasa yang provokasi sehingga pesan yang hendak disampaikan buku ini mudah dicerna bahkan oleh pembaca awam sekalipun. Karenanya buku ini layak dibaca oleh siapa saja yang memiliki perhatian terhadap kekuasaan, pengaruh dan perkembangan media.


TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Pustakawan di Sanggar Bermain Kata (SBK), Madura. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy), Jakarta. Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.


Tidak ada komentar: