WAKTU

JEDA

Sabtu, 13 September 2008

Optimalisasi Zakat dan Wajah Pendidikan

Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, 12 September 2008


Optimalisasi Zakat & Wajah Pendidikan
Oleh Edy Firmansyah


Pendidikan yang sejatinya menjadi pilar membangun peradaban sebuah bangsa ternyata belum mendapat perhatian serius di negeri ini. Buktinya, masih banyak anak-anak dari keluarga miskin tidak bisa bersekolah atau harus putus sekolah, hanya gara-gara tidak bisa membayar biaya sekolah.

Berdasarkan data Depertemen Pendidikan Nasional, sedikitnya 7,2 juta anak Indonesia tidak mampu merasakan bangku sekolah, terdiri dari 4,2 juta siswa SLTP dan 2,9 juta siswa SD dan SLTA. Sedangkan menurut data dari Pusat Informatika Balitbang Depdiknas menyatakan rata-rata angka putus sekolah SD (APS-SD) nasional sebesar 3,57 persen atau sekitar 940.438 siswa, rata-rata angka putus sekolah SLTP (APS-SLTP) di tingkat nasional sebesar 7,66 persen atau 429.555 siswa. Ini artinya lebih besar dari APS-SD meski lebih kecil dalam kuantitas.

Tragisnya lagi, beberapa di antara anak-anak keluarga miskin itu terpaksa nekat bunuh diri gara-gara tak mampu memenuhi biaya pendidikan. Masih ingat tragedi Miftahul Jannah, anak kelas VI SDN Karangsemande, Gresik, yang memilih gantung diri daripada harus memanggung malu karena tidak bisa membayar iuran study tour? Atau kisah Yanto (13), yang terselamatkan dari usaha gantung diri karena malu tidak bisa membayar iuran ekstrakulikuler sebesar Rp 2.500?

Benar memang pemerintah tidak tinggal diam dalam menyikapi fenomena tersebut. Di beberapa daerah sudah muncul inisiatif dari pemerintah untuk menekan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) di sekolah-sekolah negeri menjadi serendah mungkin. Bahkan ada yang mengratiskan SPP untuk sekolah negeri.

Namun kebijakan semacam itu belum menyentuh pada akar masalah kesulitan pendanaan pendidikan keluarga miskin. Di Jakarta, misalnya, meski sebagian besar warga miskin sudah mendengar tentang kebijakan pemerintah daerah yang menggratiskan SPP, namun mereka masih khawatir tidak bisa membiayai sekolah anak-anaknya (Kompas, 13/6/07). Maklum, meski SPP sudah digratiskan toh sekolah masih dapat menarik berbagai macam pungutan dari siswa. Mulai dari jual-beli seragam, buku pelajaran dan lainnya.

Nah, apakah kisah duka kaum dhuafa dalam memperoleh pendidikan yang layak akan terus berlanjut? Sebenarnya tidak. Masalah pendanaan pendidikan bagi kaum marginal bisa diatasi dengan pengalokasikan zakat secara optimal. Alternaitf pilihan tersebut cukup obyektif mengingat jumlah masyarakat muslim di Indonesia cukup besar.

Menurut Khamami Zada (2003), zakat dalam ajaran Islam memiliki dua makna, teologis-individual dan sosial. Makna pertama menyucikan harta dan jiwa. Penyucian harta dan jiwa bermakna teologis-individual bagi seseorang yang menunaikan zakat untuk mereka yang berhak. Jika makna ini dipedomani, ibadah zakat hanya berdampak individual, yakni hubungan vertikal antara seorang hamba dengan Tuhannya. Makna pertama lebih berdimensi individual, menyucikan harta dan jiwa untuk mendapat keberkahan.

Makna kedua memiliki dimensi sosial, yakni ikut mengentaskan kemiskinan, kefakiran, dan ketidakadilan ekonomi demi keadilan sosial. Karena dengan membayar zakat terjadi sirkulasi kekayaan di masyarakat, yang tidak hanya dinikmati oleh orang kaya, tetapi juga orang miskin.

Kemiskinan Struktural
Sebagai dimensi sosial tentu saja pertama-tama dan terutama diperuntukkan bagi golongan fakir-miskin serta mereka yang berada dalam kesulitan hidup seperti al-riqab (mereka yang terbelenggu, yakni, para budak; dalam istilah modern dapat berarti mereka yang terkungkung oleh ”kemiskinan struktural”) dan al-gharimun (mereka yang terbeban berat hutang), serta ibn al-sabil (orang yang telantar dalam perjalanan), demi usaha ikut meringankan beban hidup mereka.

Tentu saja zakat yang dimaksud bukan sekadar mengeluarkan 2,5 kilogram beras, atau membagi-bagikan uang untuk memenuhi zakat mal setahun sekali. Artinya zakat yang dialokasikan untuk dana pendidikan adalah zakat yang bersifat kontinyuitas. Dengan kata lain tidak tidak berhenti pada periode Ramadan dan Syawal saja serta terbatas pada aturan fikiah sebesar dua setengah kilogram beras.

Yang dibutuhkan mayoritas masyarakat miskin negeri ini adalah uluran tangan agar anak-anaknya dapat memperoleh haknya bersekolah secara layak. Bagi masyarakat miskin, pendidikan boleh jadi menjadi satu-satunya peluang untuk memperbaiki nasib. Mereka berharap besar mampu menyekolahkan anak-anaknya agar generasi penerus mereka tidak lagi terjerembab dalam lembah kemiskinan. ”Jangan jadi seperti bapak, Nak. Kamu harus sekolah yang tinggi agar masa depanmu cerah di kemudian hari,” begitu pesan para orangtua keluarga miskin pada anak-anaknya yang mulai memasuki usia sekolah.

Karenanya ketika sistem pendidikan di negara kita cenderung meningkat semakin mahal, maka menjadi kewajiban orang kaya agar mau berderma bagi mereka yang miskin meskipun bukan di bulan Ramadan dan Syawal. Bagaimana bentuk penyalurannya? Misalnya para penderma dan pengelola zakat bekerja sama dengan penyelenggara pendidikan dapat menciptakan sekolah-sekolah unggulan yang memungkinkan berkesempatan menyekolahkan pula anak didik tak mampu, namun bersemangat tinggi. Penggalangan dana melalui upaya ini adalah pengokoh lain bagi terselenggaranya usaha bersama agar kaum Muslim bersedia peduli pada sistem pendidikannya sendiri. Model pengelolaan zakat semacam ini saya rasa cukup efektif dan tepat daripada hanya berbagi zakat dengan cara mengundang masyarakat miskin, kemudian membagikan sejumlah uang.

Oleh karena itu zakat fitrah harus diberi substansi lebih lanjut dan lebih besar dalam seluruh aspek hidup kita sepanjang tahun, berupa komitmen batin serta usaha mewujudkan masyarakat yang sebaik-baiknya, yang berintikan nilai keadilan sosial. Yang nantinya berujung pada kesejahteraan bagi semua.


Penulis adalah Direktur People Education Care Institute (PECI) dan Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy).

Tidak ada komentar: