WAKTU

JEDA

Sabtu, 11 Oktober 2008

Gangguan Jiwa dan Pendidikan Nir Kekerasan

Dimuat di Harian RADAR SURABAYA, 11 Oktober 2008

Gangguan Jiwa dan Pendidikan Nir Kekerasan
Oleh: Edy Firmansyah



Tujuan utama memperingati Hari kesehatan Jiwa Dunia yang jatuh setiap tanggal 10 Oktober adalah mengatasi masalah gangguan kejiwaan yang melanda manusia di dunia khususnya di Indonesia. Pasalnya, masalah gangguan-gangguan kesehatan jiwa dewasa ini sudah sangat mengkhawatirkan.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2001, paling tidak satu dari empat orang di dunia atau sekitar 450 juta orang terganggu jiwanya. Parahnya lagi, di negara-negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia, gangguan kejiwaan yang kerap menjangkiti masyarakat adalah masalah psikotik yang salah satu bentuknya adalah skizofenia, yaitu gangguan pada proses pikir, emosi dan prilaku dengan gejala kemunduran di bidang sosial, pekerjaan dan hubungan interpersonal. Gejalanya adalah maraknya tindak kriminalitas seperti pencurian, perampokan, pencopetan yang disertai dengan kekerasan bahkan penghilangan nyawa.

Di Jawa Timur saja misalnya, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini kasus kriminalitas berupa pembunuhan rata-rata mencapai diatas 150 kejadian. Selain pembunuhan, kasus penganiayaan berat yang sering mengakibatkan korbannya mengalami luka permanent atau cacat mencapai lebih dari 1.000 kasus. Yang paling gres adalah tragedi pembunuhan berantai yang dilakukan Very Idam Henyansyah alias Ryan, si Jagal dari Jombang. Ia dengan begitu sadis tega menghabisi 10 nyawa hanya demi mengejar status ‘kaya’.

Sebelum kasus Ryan terkuak, publik Jatim juga pernah dikejutkan kasus terbunuhnya satu keluarga yang dilakukan Sumiarsih dan keluarnya serta pembunuhan disertai mutilasi yang dilakukan Astini di Surabaya. Banyak kalangan yang menuding faktor ekonomi yang kerap menjadi pemicu terjadinya pembunuhan. Hal tersebut diperkuat dengan hasil tes psikologis yang menyatakan Ryan dalam keadaan sehat tanpa gangguan jiwa. Artinya apa yang dilakukan Ryan tak lebih karena faktor ekonomis. Dengan kata lain, Semakin tinggi biaya hidup membuat banyak orang menghalalkan segala cara untuk menutupi kebutuhan. Dan masyarakat yang terjepit secara ekonomi adalah yang paling mudah melakukan kekerasan. Terlebih lagi, ditengah kondisi serba sulit seperti saat ini masyarakat terus saja dibanjiri iklan-iklan bernada konsumtif yang memaksa alam bawah sadar seseorang untuk terus berbelanja.

Faktor Psikologis
Tetapi ada yang luput dari perhatian publik manakala menganalisa maraknya kasus kejahatan yang berakhir dengan pembunuhan di masyarakat, yakni faktor psikologis. Manusia-manusia yang memiliki psikologis yang stabil tidak akan berbuat tindakan nir kemanusiaan separah apapun kondisi hidup menekannya. Bahkan mereka terus mencari cara keluar dari belitan ekonomi. Sebaliknya, manusia dengan psikologis yang labil cenderung menjadi destruktif manakala dihadapi pada tekanan hidup.

Meski demikian tak semua masyarakat miskin cenderung memiliki psikologi yang labil. Banyak orang-orang miskin yang berhasil meraih kesuksesan ditengah himpitan ekonomi. Kisah inpiratif dalam novel Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata, merupakan sedikit bukti betapa masyarakat miskin ternyata mampu menjawab tekanan ekonomi dengan semangat dan kerja keras.

Apa yang membuat mereka mampu menjawab tantangan hidup dengan gemilang? Pendidikan orang tua. Orang tua yang sejati adalah orang tua yang berhasil menanamkan kejujuran, kebersahajaan, kasih sayang dan harapan pada anak-anaknya ditengah berbagai tekanan hidup. Sehingga anak-anaknya tumbuh menjadi manusia yang tangguh, dan mampu mempertahankan hidup dengan cara yang manusiawi bahkan dalam kondisi paling sulit sekalipun. Anak-anak yang telah memiliki pijakan psikologis yang mapan akan terus berusaha tak kenal menyerah. Bukan hanya sekedar mempertahankan hidup, melainkan juga terus mengasah semangat agar tetap hidup.

Kondisi yang demikian akan melahirkan anak-anak yang memiliki ketenangan batin yang matang. Dan ketenangan jiwa sangat penting bagi sebuah penemuan dan proses kreatifitas. Pribadi yang kreatif ialah jiwa yang berani berhadapan dengan diri sendiri dan melakukan penjelajahan. Hal itu tentunya hanya bisa dilakukan oleh jiwa-jiwa yang tenang, kreatif dan reflektif, bukannya pribadi-pribadi yang tergesa-gesa dan dalam keadaan tegang, atau dalam keadaan terhimpit oleh tekanan-tekanan akibat dari metode pendidikan orang tua yang menekan.

Menciptakan Generasi Nir Kekerasan
Menghasilkan anak-anak yang tangguh secara psikologis tak bisa dilakukan dengan pendidikan yang otoriter, sadis dan kurang humanis. Pernyataan Dorothy Law Nolte berikut ini setidaknya bisa memberikan gambaran bagaimana membangun manusia-manusia yang nir kekerasan;

Jika anak dibesarkan dengan celaaan, maka ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, maka ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, maka ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, maka ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, maka ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan perlakukan yang baik, maka ia belajar berlaku adil
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, maka ia akan menemukan cinta dalam kehidupannya.
Begitulah anak selalu belajar dalam kehidupannya.

Melalu pernyataan Dorothy Law Nolte diatas setidaknya dalam memberikan gambaran bahwa orang dewasa yang pernah menjadi korban penyiksaan di masa kecilnya mungkin saja melampiaskan rasa frustasinya kepada lingkungan sosialnya atau kepada orang-orang yang pada awalnya ia cintai. Prilaku sadis yang dilakukan Ryan, Sumiarsih bahkan Astini kalau mau ditelisik lebih jauh menggunakan psikoanalisa akan terkuak bahwa mereka hidup mereka ketika kanak-kanak amat tidak menyenangkan dan penuh amarah. Sebab dalam analisa Freud, ahli psikologi analis, pengalaman traumatis yang dialami seseorang akan tersimpan jauh di alam bawah sadar seseorang dan dalam kondisi tertekan akan menciptakan prilaku menyimpang melebihi dari efek trauma yang pernah dialaminya.

Karena itu menciptakan masyarakat nir kekerasan harus dimulai melalui pendidikan. Pendidikan yang tidak diskriminatif, yang tidak membeda-bedakan peserta didik berdasarkan status sosial dan anti segala bentuk kekerasan merupakan cerminan dari pendidikan bermutu. Selama pendidikan tidak bersikap humanis maka masyarakat kita akan terus dikelilingi orang-orang dengan gangguan jiwa.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Direktur People’s Education Care Institute (PECI) Surabaya. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

1 komentar:

andreas iswinarto mengatakan...

Buku dan Film Laskar Pelangi menghentak khalayak, menggugah para guru, menginspirasi jutaan pembaca, menghardik dunia pendidikan di negeri ini. Asrori S. Karni menyebutnya The Phenomenon.

Buku Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis barangkali dapat melengkapi gambaran tentang bagaimana anak bila diberikan perlakuan yang tepat (memberikan hati seperti dilakukan bu Muslimah) dan kesempatan untuk berpartisipasi maka anak-anak dapat menjadi subyek/pelaku perubahan sosial yang luar biasa.

Salam hangat dan silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/buku-online-gratis-anak-anak-membangun.html