WAKTU

JEDA

Jumat, 31 Oktober 2008

Menggali Neonasionalisme Kaum Muda

Dimuat di RADAR SURABAYA, 26 dan 28 Oktober 2008




Menggali Neo-Nasionalisme Bagi Kaum Muda
Oleh: Edy Firmansyah


Pelajaran berharga yang bisa dipetik dari Sumpah Pemuda yang memasuki perayaan ke-80 adalah semangat nasionalisme yang memuat empat prinsip, yaitu kemandirian, kemerdekaan, kesetaraan dan identitas. Sumpah itu yang kemudian menjadi cikal bakal konsep Indonesia merdeka. Mengutip Benedict Anderson, bahwa Indonesia merupakan komunitas terbayang (Imagined Communities) yang terbentuk atas dasar pembayangan anggota-anggotanya mengenai kehidupan dan cita-cita bersama. Pembayangan itu merupakan hasill hubungan lintas golongan, agama, dan ras dengan ikrar satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air; Indonesia.

Cita-cita tersebut terpatri kuat dalam benak kaum muda karena pengalaman penderitaan dan diskriminasi oleh bangsa kolonial Belanda. Dengan lain kata, nasionalisme Indonesia merupakan sebuah penegasan akan identitas diri versus kolonialisme-imperialisme. Segala bentuk penindasan akan mendapat perlawanan sengit dari kaum muda. Dan semangat itu tak sia-sia. Akhirnya negeri ini berhasil memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Sayang, ketika kolonialisme dan imperialisme tidak lagi menjadi sebuah ancaman, rasa nasionalisme kaum muda kian hari kian pudar. Mereka tenggelam dalam konsumerisme dan hedonisme hasil rekayasa kapitalisme global. Mereka lebih hafal nama deretan artis Hollywood, VJ MTV, atau film produksi warner Bros daripada nama pahlawan atau teks proklamasi. Dalam fenomena semacam ini, apakah nasionalisme Indonesia di mata kaum muda telah luntur? Pertanyaan ini relevan untuk didiskusikan kembali pada perayaan Sumpah Pemuda ke-80 ini.

Dalam studi semantik Guido Zernatto (1944), kata nation berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata nascor ’saya lahir’. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Kata nation mendapat makna baru yang lebih positif dan menjadi umum dipakai setelah abad ke-18 di Prancis.(Sulfikar Amir, 2005). Yakni sebagai kapasitas yang mampu memobilisasi dan menyatukan massa melalui janji-janji kemakmuran. Dengan kata lain nasionalisme akan terus tumbuh dan bersemi selama ada musuh bersama dalam sebuah nation.

Setidaknya ada empat hal yang bisa menumbuhkan kembali semangat nasionalisme, terutama bagi kaum muda. Pertama, spirit berupa kemenangan. Misalnya, keberhasilan para siswa kita dalam olimpiade Fisika, Kimia, Biologi atau Matematika di tingkat regional dan internasional, keberhasilan atlet menjadi juara dunia (tinju), bulu tangkis, bola kaki, dan sebagainya. Kemenangan-kemenangan tersebut secara tak langsung akan menumbuhkan Eforia nasionalisme. Bahwa Indonesia tak bisa lagi dipandang sebelah mata oleh dunia internasional.

Kedua, dengan motivasi terbalik. Motivasi terbalik itu dimaksudkan sebagai bentuk penggugah semangat untuk menjadi lebih baik tetapi dengan menunjukkan kelemahannya. Misalnya, pengalaman dicemoh dan direndahkan sebagai bangsa terkorup, sarang teroris, bangsa pengekspor asap terbesar, salah satu negara penyebab pemasan global, dan sebagainya, seharusnya memicu perubahan supaya kita bisa tampil sebagai bangsa terpandang.

Karenanya transparansi media massa menjadi penting. Tentu sebagai media penyampai informasi tentang kondisi sosial-politik dan ekonomi bangsa baik berita buruk maupun berita yang menyenangkan. Bukankah dalam hadist telah ditegaskan bahwa sampaikan kebenaran walaupun pahit?

Ketiga, bersikap pluralistik. Kita tahu bahwa negara Indonesia sangat plural. Terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa dan agama. Membrikan kebebasan dan rasa aman pada semua kelompok untuk menejawantahkan kebudayaannya sesuai etniknya masing-masing mampu membangkitkan rasa kepedulian terhadap bangsa.

Sebaliknya, Masyarakat akan cenderung bersifat sektarian manakala negara gagal menjamin kebebasan beragama—termasuk kebebasan beribadah dan mendirikan rumah ibadah, persamaan di hadapan hukum, hak mendapatkan pendidikan yang murah dan berkualitas, hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan sebagainya. Dan biasanya kegagalan mengelola soal pluralisme akan berujung pada konflik berdarah.

Yang terakhir adalah membangun keberpihakan terhadap kelas terbawah dalam masyarakat. Artinya semangat neo-nasionalisme haruslah digali dari harapan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat di tingkatan grass-root. Hal tersebut memungkinkan ideologi nasionalisme meresap dan berakar secara kuat (Eric Hobsbawm, 1990). Misalnya dengan memberikan pendidikan gratis, pengobatan gratis untuk masyarakat miskin.

Sehingga semangat anti-kolonialisme bisa dialihkan menjadi spirit perlawanan terhadap kemiskinan, penderitaan dan penindasan dari sebuah sistem. Dengan begitu saya yakin nasionalisme lambat laun akan kembali bergelora dalam jiwa masyarakat kita. Karena—meminjam sudut pandang deterministik Gellner—bahwa nasionalismelah yang melahirkan bangsa, bukan sebaliknya.***


TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: