WAKTU

JEDA

Jumat, 31 Oktober 2008

Membebaskan Masyarakat Dari Kemiskinan

Dimuat di BALI POST, 20 Oktober 2008

Membebaskan Masyarakat Dari Kemiskinan
Oleh: Edy Firmansyah


Kemiskinan di negeri ini memang memprihatinkan. Hingga Juni 2007, angka kemiskinan masih berada pada angka 37,17 juta atau 17,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dan angka ini relatif belum banyak berubah dari angka tahun 2005.

Angka diatas belum termasuk masyarakat miskin baru yang terus bertambah seiring dengan kenaikan harga BBM sebesar 26,8 persen beberapa waktu lalu. Dengan kenaikan BBM harga seluruh komoditas (yang sebelumnya telah merambat naik) menjadi semakin tak terjangkau. Akibatnya transaksi antarkota, antar propinsi dan antarpulau dipastikan turun drastis, bahkan berhenti total. Sebab harga barang dagangan tak akan mampu bersaing karena harus menyesuaikan dengan biaya transportasi yang juga akan naik.

Dengan kondisi tersebut jelas banyak usaha yang gulung tikar. Sehingga PHK pekerja menjadi peristiwa yang tak terelakkan. Angka pengangguran juga melonjak drastis. Imbasnya tentu saja jumlah masyarakat miskin akan semakin meningkat. Berdasarkan perkiraan Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi, kenaikan harga BBM sebesar 30 persen berpotensi mengakibatkan orang miskin bertambah sebesar 8,55 persen atau sekitar 15, juta jiwa.

Kondisi diatas semakin diperparah dengan sikap pemerintah yang menggunakan sudut pandang konservatif mengenai penanggulangan kemiskinan. Kaum konservatif dengan tokoh August Comte atau Emile Durkheim berpendapat, kemiskinan terjadi akibat kultur dan mentalitas orang miskin yang tidak bisa beradaptasi dengan tatanan sosial yang ada. Kaum konservatif selalu memandang positif struktur sosial yang ada. Karena itu bagi kaum konservatif, kemiskinan bukan masalah yang serius.

Buktinya, hingga kini belum terlihat gelagat politik pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang benar-benar pro masyarakat miskin baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya, terutama dalam upaya mencerdaskan dan menyehatkan warga negara dan pendampingan menyeluruh pada kaum miskin.

Lihat saja, mereka makin susah sekolah dan tak bisa dirawat di RS karena tak bisa membayar uang muka, tak ada air bersih dan tak punya rumah. Sebagian yang lain banyak terkena gangguan jiwa. Benar memang ada bantuan yang dikucurkan negara untuk menjawab masalah kemiskinan. Misalnya, ketika harga BBM melonjak, pemerintah mengucurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sekitar 3 Trilyun rupiah. Untuk menelamatkan daya beli (baca: konsumsi) masyarakat

Namun jawaban tersebut terkesan instan. Bukannya menuntaskan kemiskinan itu sendiri, justru kita saksikan masyarakat mendaftarkan diri menjadi pengemis. Kaum miskin (dan orang-orang yang pura-pura miskin) rela antre sembari ‘menengadahkan tangan’ sebagai pesakitan guna mendapatkan talangan dana dari pemerintah.

Ironisnya, meski secara tidak langsung pemerintah mengajari kaum miskin menengadahkan tangan dan mengharap iba dari negara melalui BLT, sikap pemerintah justru terkesan amat paradoksal ketika menyikapi pengemis, pengamen jalanan, tukang semir dan PKL yang mencoba bertahan hidup di kota besar. Kaum miskin itu justru dihadapkan pada penggusuran dan operasi yustisi dengan alasan merusak keindahan kota.

Kebijakan Pro Poor
Karena itu kemiskinan tidak akan banyak berubah jika hanya mengandalkan aksi turun ke jalan selama pemerintah tidak memiliki political will yang kokoh untuk mengubah paradigma kemiskinan yang konservatif menjadi paradigma penanggulangan kemiskinan yang radikal. Yakni upaya penanggulangan kemiskinan dengan memberikan pendidikan politik, menekan diskriminasi disegala lini dan memberikan ruang gerak yang lebih luas pada kaum miskin untuk bangkit dari keterpurukannya.

Negara yang telah memberikan kedudukan yang sama pada warga negaranya, memberikan pelayanan yang sama pada warganya (tanpa membedakan kaya atau miskin), memberikan kesempatan kerja yang sama pada semua masyarakatnya, memberikan penghargaan yang sama pada warga negaranya, tentu akan menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kreativitas dan semangat kerja tingkat tinggi. Dengan demikian mampu mendongkrak ekonomi dan pendapatan perkapita negerinya. Misalnya saja; petani di desa bisa dengan santai melakukan penelitian di laboratorium kecilnya untuk menemukan penangkal hama sambil menunggu hasil panen tanpa harus khawatir harga gabah bakal anjlok di pasaran. Atau PKL di Rawasari bisa terus mengembangkan kreativitasnya dengan membuat kramik-kramik bernilai seni tinggi tanpa harus resah pada penggusuran.

Sebagaimana yang diutarakan Pramoedya Ananta Toer, orang yang terbebas dari kemiskinan sebenarnya adalah orang yang bisa mengembangkan pekerjaannya, tanpa ancaman dan tanpa gangguan, apapun pekerjaan yang digelutinya. "Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri." (Bumi Manusia, Hal. 39). Sebab kerja adalah kodrat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hanya dengan bekerja manusia dapat mempertahankan eksistensi dirinya sebagai manusia sejati. Dan sudah menjadi tugas negara sebenarnya—sebagaimana termaktub dalam UUD—untuk menciptakan pekerjaan yang layak bagi warga negaranya sebagai wujud keseriusannya menyatakan perang terhadap kemiskinan.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Pekerja di Badan Pemberdayaan Masyarakat. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: