WAKTU

JEDA

Senin, 06 Oktober 2008

Mewaspadai Anomie Urbanisasi

Dimuat di SURABAYA POST, 3 Oktober 2008


Mewaspadai Anomie Urbanisasi
Oleh: Edy Firmansyah



Urbanisasi merupakan salah satu permasalahan kota besar menjelang dan pasca lebaran selain meningkatnya angka kriminal. Angka urbanisasi tiap tahun selalu meningkat tajam.
Di Surabaya misalnya, berdasarkan catatan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil) Surabaya, dengan menggunakan metode sampling, laju pertumbuhan urbanisasi pasca lebaran 2007 mencapai 1,8 persen dari total penduduk 2,8 juta jiwa atau sekitar 50.400 jiwa. Sampel tersebut diambil dari responden pendatang yang masuk ke Surabaya melalui enam titik utama, yaitu Terminal Purabaya, Terminal Oso Wilangun, Stasiun Pasar Turi, Stasiun Gubengm Stasiun Wonokromo dan Pelabuhan Tanjung Perak Zamrud. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data laju urbanisasi tahun 2006 yang dicatat Badan Pusat Statistik, yakni hanya mencapai 32.912 jiwa. (Kompas Jatim, 10/09/08). Dan sebagaima fenomena gunung es, tidak menutup kemungkinan angka diatas bisa saja bertambah dua kali lipat atau lebih.

Padahal menurut Emile Durkheim, jika kondisi ini dibiarkan maka akan menimbulkan anomie, yakni suatu keadaan dimana nilai lama ditinggalkan demi meraih nilai baru yang belum mengakar kuat di masyarakat. (Arif Budiman dalam Nurdin, 1982). Yang terjadi kemudian sebuah kehancuran. Barangkali dalam benak masyarakat urban, berbondong-bondong pergi ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya guna meraih harapan dan cita-cita untuk memperoleh pekerjaan demi mencapai masa depan kehidupan yang lebih baik. Namun, tak pernah dipikirkan bahwa desa kehilangan sumber daya manusia untuk mengelola sawah dan ladang, sehingga tanah menjadi kering dan tak bisa lagi dijadikan tempat bergantung hidup.

Sedangkan kota mulai kelebihan penduduk yang berakibat semakin mudah terjadi konflik. Betapa tidak, dengan membengkaknya masyarakat urban itu tak heran jika kondisi perkotaan di Surabaya semrawut. Rumah-rumah berdempet-dempet, kendaraan bermotor bertambah drastis. Makanya jangan heran jika kebakaran dan macet selalu menjadi fenomena yang tidak asing di Surabaya. Belum lagi masalah perumahan-perumahan kumuh, PKL, anak jalanan dan prostitusi yang tak kunjung tuntas.

Sebenarnya apa yang memaksa masyarakat urban itu berbondong-bondong ke kota? Padahal cerita soal kegagalan masyarakat urban mengais rejeki di kota besar jauh lebih banyak dibandingkan dengan cerita sukses masyarakat urban. Tak henti-hentinya media cetak dan elektronik menayangkan betapa kejamnya kota besar. Jumlah pengangguran kota besar yang kian membengkak, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain sebagainya adalah sekilas gambaran kehidupan kota besar.

Karena tak heran jika Sastrawan sekaliber Pramodya Ananta Toer melarang keras masyarakat daerah mengadu nasib ke Jakarta. Dalam esai panjangnya berjudul Djakarta Pram memberi warning pada masyarakat yang hendak melakukan urbanisasi. “…Jangan mengadu nasib ke Jakarta (baca: kota besar) jika tidak memiliki kemampuan lebih. Karena kalian hanya akan menjadi kuda. Menjadi roda kota besar. Dan ketika kembali ke kampung halaman, kalian akan menjadi sampah. Sampah-sampah itu jumlahnya bakal lebih banyak dari korban revolusi,…”

Tapi siapa peduli. Urbanisasi terus meningkat dari tahun ke tahun. Inilah yang disebut Yusraf Amir Piliang (dalam Idi Subandy Ibrahim, 2004) sebagai ’ketidaksadaran massa.’ Ketidaksadaran massa ini lahir dari perkembangan kapitalisme tingkat tinggi yang merasuk ke berbagai lini kehidupan masyarakat. Melalui kotak ajaib bernama televisi, masyarakat digerakkan untuk percaya bahwa segala yang berasal dari ’desa’ adalah sesuatu yang usang. Dan merupakan hukum sejarah bahwa yang usang itu akan diganti yang baru, yang modern. Nah, kota-lah yang kini menjadi pusat segala modernitas itu.

Untuk bisa menjadi manusia modern, kota adalah pilihan satu-satunya. Gambaran tersebut sengaja dibenamkan kapitalisme lewat tayangan sinetron dan cerita indah para selebritis. Untuk apa? apalagi jika bukan untuk percepatan laju produksi dan konsumsi. Semakin banyak massa mengambang di kota besar, semakin mudah barang-barang produksi menguap.

Di samping itu, kondisi serba sulit yang dihadapi masyarakat desa semakin mempercepat terjadinya proses ketidaksadaran massa tersebut. Cerita sedih soal tanaman padi yang diserang hama, gagal panen karena kekeringan, harga pupuk yang mahal, dan banjir yang menghancurkan tembakau sudah menjadi berita sehari-hari para petani di desa. Sehingga wajar jika banyak diantara kaum tani berpendapat; ”apalagi yang bisa diharapkan hidup di desa?” ditengah keputusasaan itulah urbanisasi dijadikan solusi memperbaiki nasib.

Sayang, fenomena inilah yang luput dari perhatian publik terutama pemerintah. Pemerintah masih menggunakan paradigma lama dalam menganalisa urbanisasi. Bahwa satu-satu pemicu adalah kesenjangan ekonomi. Sehingga solusi yang diambil seakan tak mampu membendung arus urbanisasi. Misalnya, salah satu solusi yang diambil Pemerintah Kota Surabaya untuk membendung arus urbanisasi adalah memperketat syarat pengajuan Surat Keterangan Tinggal Sementara (SKTS). Yang diantaranya akan memuat persyaratan jaminan tempat tinggal dan pekerjaan bagi pemohon. (Kompas Jatim, 10/09/08). Hanya saja siapa yang bisa menjamin adanya manipulasi data dan kongkalikong dengan petugas capil. Bukankah semakin membludaknya pemohon SKTS justru menjadi ’proyek’ bagi petugas capil untuk menambah penghasilan mereka?

Sampai disini saya sepakat dengan Pram bahwa cara membendung urbanisasi adalah memberikan rasa aman bagi masyarakat desa untuk menyambung hidup mereka. Misalnya, distribusi bibit, irigasi dan pupuk lancar, serta memberikan bekal kemampuan dalam penguasaan teknologi tepat guna. Dan yang diperlukan untuk itu adalah tenaga-tenaga muda yang ahli dibidang sosial, politik, ekonomi dan tehnologi. Sehingga desa mampu menjadi sumber kegiatan sosial, sumber kesadaran politik dan sumber penciptaan dan latihan kerja.

Inilah yang disebut pembangunan bebasis lokalitas. Karena itu, penyebaran pendidikan, kesehatan, teknologi, serta informasi harus berimbang antara kota dan desa. Artinya fokus pembangunan kota dan desa harus merata, tak ada diskriminasi. Sehingga kualitas SDM sebagai ujung tombak mengelola sumber daya alam desa lebih maksimal. Sehingga nantinya masyarakat desa tak perlu lagi berbondong-bondong ke kota hanya untuk sekedar mencari sesuap nasi.

Hanya saja masalahnya, pembangunan yang digalakkan pemerintah masih saja menjadikan kota sebagai pusat segala. Dan inilah yang menjadikan kaum urban dan kota besar ibarat gula dan semut.***

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

i like......