WAKTU

JEDA

Senin, 15 Desember 2008

Proletarisasi Spiritual Dalam Kurban

Dimuat di LAMPUNG POST, 09 Desember 2008




Proletarisasi Spiritual Dalam Kurban
Oleh: Edy Firmansyah



Merayakan Idul Adha (Hari raya Kurban) yang kali ini jatuh pada 8 Desember 2008 bukan sekedar sholat Idul Adha di pagi hari dan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk ritualitas semata. Lebih daripada itu, perayaan hari raya Idul Adha harus dijadikan momentum untuk membela nilai-nilai kemanusiaan.

Perintah Tuhan terhadap Nabi Ibrahim untuk mengurbankan anak semata wayangnya, Ismail, dan dipenuhi sepenuh hati oleh Ibrahim, janganlah dimaknai sebagai sebuah tanda legalnya tindak kekerasan atas nama agama sebagaimana yang diamarkan Rene Girard.

Sebaliknya, praktek kurban justru merupakan peletakan fondasi humanisme di atas segala hasrat dan egoisme pribadi. Sebab menurut Ali Syariati, dalam bukunya berjudul Hajj, ketika Nabi Ibrahim hendak menyembelih Ismail, lalu Tuhan menggantikannya dengan seekor kampung, merupakan sebuah bentuk penghapusan tradisi kuno masyarakat di zaman Nabi Ibrahim yang suka mengorbankan nyawa manusia demi kepentingan para dewa dan roh suci yang mereka yakini. Dengan kata lain, melalui praktek qurban, Tuhan hendak menyerukan; hentikan tindak kekerasan antar manusia.

Karena itu setiap tetes darah hewan kurban yang jatuh ke bumi, dimaknai sebagai bentuk penghancuran sikap individualistik dan prilaku culas manusia digantikan dengan solidaritas sosial dan sikap kemanusiaan terhadap sesama tanpa pamrih. Dan itulah yang menjadi bekal seorang itu menjadi muslim sejati. Sebagaimana yang diungkapkan Sayyid Qutb bahwa Islam adalah sebuah perlawanan yang bertujuan menghancurkan segala bentuk hubungan manusia yang menuhankan sebagian diatas sebagian yang lain. Segala ritual keagamaan dalam Islam haruslah menjadi sumber kekuataan hukum dalam melawan segala bentuk kesewenang-wenanganan sebagai bentuk ego pribadi manusia. dan tindakan penuhanan manusia atas manusia tersebut (dalam Prasetyo, 2007).

Pasalnya nafsu ego pribadi yang tak jarang menyebabkan penderitaan dan kemiskinan umat manusia dengan dibungkus pengalaman spiritual. Banyak orang enteng membelanjakan ratusan ribu rupiah untuk membeli hewan untuk disembelih dengan harapan memperoleh pahala dan rejeki berlimpah dari Tuhan, tapi malas mengeluarkan puluhan ribu rupiah bagi pembebasan kebodohan dan penderitaan orang lain.

Padahal kita tahu bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ini angka kemiskinan di Indonesia belum membaik. Hingga juni 2007, angka kemiskinan masih berada pada angka 37,17 juta atau 17,75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu angka pengangguran terbuka hingga Juni 2007 berkisar pada angka 10,6 juta orang (9,8 persen). Dan angka ini relatif belum banyak berubah dari angka tahun 2005.
Kondisi diatas jelas sangat berbahaya. Bukankah dalam hadist telah disebutkan bahwa kemiskinan sangat dekat dengan kekufuran. Dan kufur dalam hal ini bukan saja merupakan sikap berpaling pada keesaan tuhan tetapi juga berpaling pada kemanusiaan. Lihat saja, tindak kriminal, teror, penganiayaan, kekerasan dan konflik yang terus menjadi berita sehari-hari di negeri ini pemicu utamanya lebih disebabkan oleh kemiskinan. Dan angka kemiskinan diatas tidak akan tuntas bahkan sampai hari kiamat jika hanya mengandalkan pembagian daging kurban setahun sekali. Dengan kata lain, konflik, kekerasan, teror, tindak kriminal akan terus mewarnai perjalanan kehidupan masyarakat negeri ini. Jika kondisi ini dibiarkan, jelas negeri ini sedang menuju kehancurannya.

Karenanya perayaan Idul Adha dapat dijadikan sebagai pembuka kunci pemecahan masalah yang tengah dihadapi seandainya ada keberanian para elit politik dan keagamaan negeri ini untuk mulai mengorbankan gengsi jabatan, kekayaan dan keagamaan bagi pemulihan spirit kemanusiaan yang telah lama pudar. Sebagaimana yang dilakukan Nabi Ibrahim ketika diperintahkan mengurbankan anaknya, Ismail.

Tapi masalahnya, praktek kesalehan keagamaan manusia negeri ini masih dimaknai sebagai bentuk penumpukan pahala, bahkan menguasai tuhan bagi dirinya sendiri, serta menutup peluang bagi orang lain memperoleh posisi serupa. Akibatnya, praktek ritual keagamaan seperti hampa manfaat duniawi dan fungsi sosial-ekonomi produktif. Pemeluk agama berlomba-lomba mengumpulkan pahala, tanpa pernah peduli ritual kegamaannya itu bermanfaat bagi publik (terutama kaum mustadla’ afin) atau tidak.

Bahkan dengan cukup lihai kapitalisme telah membungkus ritual perayaan keagamaan yang individualistik tersebut hanya sebagai ajang belanja baju-baju koko dan mukenah mewah di plasa-plasa, dan mal-mal ternama dengan diskon besar. Sehingga timbul kesan bahwa perayaan keagamaan bukanlah momentum untuk perlawanan terhadap sikap antikemanusiaan, melainkan perayaan sebuah pesta. Karena jangan heran jika korupsi semakin menggila ditengah kemiskinan yang merana hanya untuk memenuhi kaidah pasar.

Nah, pertanyaannya siapa yang bakal memulai? Tentu saja kita semua yang sadar bahwa Islam dengan segala hari besar keagamaan didalamnya adalah wujud dari pembebasan semua umat manusia dari penderitaan dan penindasan. Dan yang paling penting adalah kepedulian para elit politik, birokrat dan ulama keagamaan—meminjam kata-kata Ali Syariati—untuk tidak berlaku pasif atas ketidakadilan dan kesengsaraan orang yang tidak berdaya dan tertindas.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Pemerhati Masalah Keagamaan. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy).


Tidak ada komentar: