WAKTU

JEDA

Selasa, 09 Desember 2008

Politik Perempuan Sebagai Jalan Pembebasan

Dimuat di harian PELITA, 02 Desember 2008

Politik Perempuan Sebagai Jalan Pembebasan
Oleh: Edy Firmansyah


Hari anti kekerasan terhadap perempuan yang jatuh setiap tanggal 25 November masih diperingati dengan kondisi memprihatinkan oleh perempuan negeri ini. Kampanye-kampanye antikekerasan terhadap perempuan yang kerap dilakukan para artis, aktivis perempuan bahkan istri pejabat belum cukup efektif mendudukkan perempuan sejajar dengan kaum adam.

Betapa tidak, perempuan Indonesia masih ibarat katak dalam tempurung. Mereka lebih memilih tenggelam dalam kabut patriakat daripada tampil dalam kancah politik. Dalam pandangan patriakat, perempuan tak lebih hanya sekedar perhiasan semata. Mereka lebih layak berada dalam etalese domestik; dapur, kasur, sumur. Kodratnya sebagai kholifah (baca: pemimpin) dan berhak sejajar dengan laki-laki telah digantungkan di langit-langit kamar. Artinya perempuan yang baik adalah mereka yang cantik, patuh terhadap suami dan mampu mengurus anak-anaknya di rumah.

Padahal sejarah negeri ini telah membuktikan bahwa perempuan juga dapat menjadi pemimpin. Misalnya saja, di Aceh kita kenal pemimpin perempuan Cut Nyak Dien. Di Maluku kita pernah memiliki Martha Tiahahu. Bahkan kita punya Kartini sebagai perempuan pertama pelopor pencerahan.

Ironisnya, kaum perempuan sendiri justru ragu tentang kapabilitasnya sebagai pemimpin. Pasalnya, perempuan dikenal dengan prilakunya yang lemah lembut dan lamban dalam mengambil keputusan. Jika kaum perempuan menjadi pemimpin kemungkinan gerak politik kekuasaan akan berjalan lamban. Sifat tersebut justru dituding sebagai penghambat pembangunan dan politik. Pandangan ini jika tidak segera diluruskan akan menimbulkan gelombang ketidak percayaan publik pada gubernur terpilih dan hal ini jelas bakal menghambat laju pemerintahan.

Sebenarnya pandangan tersebut sebenarnya berangkat dari watak maskulinitas yang telah mengakar kuat di negeri ini. Maskulinitas kekuasaan artinya penyelenggaraan kekuasaan secara keras, macho dan top down. Kekuasaan maskulin ini termanifestasikan dalam bentuk-bentuk militerisme, otoritarianisme maupun feodal konservatif dan antikritik. Dan kekuasaan model demikian kental kental dengan sifat kelaki-lakian, karenanya secara personal kekuasaan haruslah didominasi laki-laki.

Ideologi maskulinitas itu dapat kita saksikan pada kebijakan-kebijkan pemerintah yang cenderung menindas. Lihat saja, demi keindahan kota, pemerintah melalui Sat Pol PP dengan tanpa rasa iba menggaruk pada PKL dan Gepeng, menggusur pemukiman kumuh tanpa solusi yang jelas. Bahkan demi kalkulasi kapitalisme tega memiskinkan buruh dengan menekan UMR serendah mungkin.

Sejatinya maskulinitas sebagai ideologi akan tetap ada walaupun secara personal kekuasaan tersebut dipegang perempuan. Artinya pergantian pemimpin dari laki-laki pada perempuan hanyalah pergantian kepemimpinan belaka, sementara watak dan ideologi maskulinitas masih terus mengakar kuat.

Karenanya perempuan haruslah berani tampil dalam politik untuk mengeliminasi maskulinitas kekuasaan yang cenderung menindas terutama pada masyarakat kecil. Artinya sebagai kepemimpinan perempuan haruslah menjadi spirit feminitas dan mengelola kekuasaan secara ramah dan humanistik.

Feminisme menurut Vandana Siva merupakan ideologi yang bercirikan kedamaian, keselamatan, kasih dan kebersamaan. Artinya dengan ideologi feminisme diharapkan segala sumber daya politik dan kekuasaan yang dimiliki seorang pemimpin tidak dioperasikan secara keras dan menindas. Dengan kebijakan yang berbasis feminisme akan tercipta hubungan anatar manusia (baik masyarakat dengan negara dan negara dengan masyarakat) secara fundamental baru, lebih baik dan lebih adil.

Hal tersebut lambat laun akan menciptakan sebuah demokrasi yang ideal. Demokrasi ideal menurut Menurut Fadjoel Rachman demokrasi yang ideal adalah (1) terciptanya penegakan HAM, (2) penegakan hukum konstitusional-demokratis yang adil dan tidak memihak; (3) supremasi sipil, (4) pemilu berskala bebas, dimana mayoritas penduduk ikut memilih dan dipilih (baik memalui partai maupun independen), (5) kemakmuran ekonomi dengan jaminan kesejahteraan sosial (social welfare) bagi setiap orang tanpa terkecuali.

Sebenarnya dalam upaya menciptakan demokrasi yang ideal dengan semangat feminisme kekuasaan baik pemimpin laki-laki maupun pemimpin perempuan memiliki peluang yang sama untuk mengoptimalkan pola kekuasaan tersebut. Dengan kata lain siapapun mampu membangkitkan feminitas dalam kekuasaan. Tinggal bagaimana seorang pemimpin mampu mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang lemah lembut, ramah dan antikekerasan. Hanya saja kepemimpinan yang ada selama ini justru menerapkan pola-pola kepemimpinan maskulin. Karenanya pemimpin perempuan memiliki peluang besar untuk mengembangkan hal tersebut.

Dan inilah sebenarnya yang menjadi tantangan bagi kaum perempuan untuk mendudukkan posisinya sebagai kholifah. Artinya, pandangan agama bahwa manusia adalah kholifah di muka bumi bukan hanya diperuntukkan bagi kaum adam semata. Melainkan juga bagi kaum hawa. Dan perempuanlah yang sejatinya harus mengakhiri hegemoni budaya patriakat yang melilitnya. Hanya dengan tampil dan berjuang secara politik pula kaum perempuan bisa melepaskan dirinya dari penindasan baik secara fisik, mental maupun kebudayaan dari kaum patriakat. Ditangan patriakat perempuan tak lebih sebagai pelengkap penderita para patriakh yang bisa berbentuk individu laki-laki, cara pandang laki-laki, system yang memberi keuntungan pada laki-laki, pemerintah, dan Negara yang didefinisikan sebagai bapak, pejabat, dan aparat yang benar-benar melaksanakan peran “bapak”(Ruth Indah Rahayu, 2006).

Mendudukkan perempuan sejajar dengan kaum laki-laki di kancah politik bukan hanya sebagai upaya pembebasan perempuan semata. Melainkan sebagai upaya memperjuangkan pembebasan masyarakat dari kemiskinan dan ketertindasan. Dan hal itu bisa optimal dengan menumbuhkan feminitas dalam kekuasaan.

TENTANG PENULIS
**Edy Firmansyah
adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: