WAKTU

JEDA

Senin, 15 Desember 2008

Iklan Politik, Swing Voters dan Titik Balik Demokrasi

Dimuat di Surabaya Post, 02 Desember 2008



Iklan Politik, Swing Voters dan Titik Balik Demokrasi
Oleh: Edy Firmansyah



Kehidupan demokratis tidak bisa lepas dari political marketing. Political marketing merupakan rangkaian kegiatan memasarkan cita-cita politik untuk mendapatkan dukungan publik. Salah satu rangkaian penting dari political marketing adalah iklan politik. Karenanya jangan heran jika akhir-akhir ini kita kerap menyaksikan calon presiden, parpol dan para caleg muncul di televisi, di lembaran koran atau tersenyum di baliho pinggir jalan.

Iklan politik dianggap paling efektif membentuk dan menggiring persepsi masyarakat. Iklan politik mampu membungkus kekurangan menjadi kelebihan. Mampu menampilkan seorang politisi medioker dengan standar biasa-biasa menjadi politisi yang kharismatik dan penuh dedikasi. Ya, sebab iklan politik mirip dengan reklame produk komersial. Tujuannya adalah membuat citra tokoh yang ditawarkan sebagai polihan yang tepat. Bahkan tak jarang masyarakat diberi iming-iming bahwa tokoh yang tampil dalam iklan mampu ”menyulap” kesengsaraan menjadi kemakmuran dalam sekejap.

Bagi masyarakat pengkonsumsi media yang tidak memiliki pertahanan diri yang kokoh, maka dihadapan media, manusia akan mudah—meminjam penjelasan Yasraf Amir Piliang—dipaksa tenggelam dalam wacana simulasi. Dimana perbedaan antara yang ‘nyata’ dan ‘fantasi’ atau yang ‘benar’ dan ‘palsu’ menjadi sangat tipis. Sehingga manusia dipaksa hidup dalam ruang ‘khayali yang nyata.’ Dengan demikian para pengelola iklan politik—yang notabene adalah para politikus—bisa menjelma menjadi ’dewa’ yang layak dipilih menjadi pemegang kekuasaan.

Dan yang paling lemah dihadapan iklan adalah para pemilih pemula atau swing voters. Kelompok pemilih ini belum memiliki pijakan politik cukup kuat sehingga membuka peluang besar untuk dirangkul caleg, capres maupun partai politik manapun melalui iklan.

Kelompok pemilih yang berentang usia 17-21 tahun ini adalah mereka yang berstatus pelajar, mahasiswa serta pekerja muda. Berdasarkan proyeksi dari populasi penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005, jumlah penduduk muda (usia dibawah 40 tahun) sekitar 95,7 juta jiwa pada tahun 2009. jumlah tersebut setara 61,5 persen dari 189 juta penduduk usia pemilih. Di antara penduduk usia muda, paling banyak (22,3 persen) adalah mereka yang pada tahu ndepan berusia 22-29 tahun. Mereka merupakan kelompok penduduk yang baru berpengalaman satu atau dua kali mencoblos dalam pemilu sebelumnya. (Kompas, 24/11/08).

Padahal pandangan akibat hipnotisme iklan politik jelas membahayakan. Bukan saja karena iklan politik berpengaruh besar terhadap nasib dan masa depan bangsa, melainkan juga karena ancaman ironi politik justru di depan mata. Artinya, mereka yang bekerja keras, yang mempunyai kompetensi dan kapabilitas, terpaksa kalah dengan mereka yang populer. Akibatnya, rakyat yang mendambakan pemimpin yang mampu membebaskan mereka dari segala penderitaan akibat kemiskinan dan penindasan hanya bisa gigit jari.

Sebab yang lahir dari itu semua adalah para elite politik, pemimpin dan presiden yang menghamba pada pasar. Mereka berlomba-lomba untuk menguasai segala sumber daya kapital hanya untuk kepentingan pribadi(memperluas kekuasaan, mencari keuntungan ekonomi, menumpuk materi). Dan dengan tanpa rasa iba, mereka meninggalkan rakyat yang terus berkubang dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Benar memang perilaku pemilih yang lebih rasional semakin meningkat di tengah derasnya semangat keterbukaan yang berkembang selama 10 tahun terakhir. Artinya, masyarakat sudah lebih mampu menilai performa pemimpin dan partai politik. Tapi peningkatannya masih kalau jauh dengan peningkatan para pemilih pragmatis, yang memilih hanya karena dibayar sejumlah uang atau diimingi-imingi jabatan atau pekerjaan. Tentu kita tak ingin para pemilih pemula menjelma menjadi pemilih yang pragmatis.

Yang kita butuhkan untuk terus mengawal demokrasi adalah para pemilih radikal. Siapakah pemilih radikal itu? Menurut Fadjroel Rachman (2004; 130-131) Pemilih radikal adalah pemilih yang dihasilkan melalui pendidikan pemilih radikal (radical voters education). Mereka berdiri pada kriteria demokrasi paling dasar yang merupakan prasyarat demokrasi yang dapat memandu kita menuju demokrasi ideal, yaitu, (1) Penegakan HAM; (2) Penegakan hukum konstitusional-demokratis yang adil dan tidak memihak; (3) Supremasi sipil; (4) pemisahan kekuasaan pemerintahan (legislatif, eksekutif, yudikatif) yang memungkinkan dilakukan check and balance; (5) kemakmuran ekonomi dengan jaminan kesejahteraan sosial (social welfare) bagi setiap orang tanpa terkecuali.

Karena itu untuk memaksimalkan pemilih radikal ini, peran aktivis dan mahasiswa progresif diperlukan. Para mahasiswa progresif harus mulai turun gunung, bergerilya ke basis-basis massa dan mulai memberikan pendidikan politik radikal tingkat dasar pada semua lapisan masyarakat. Terutama masyarakat kelas bawah. Sehingga manipulasi politik para politisi busuk dapat ditekan seminimal mungkin.

Dengan pendidikan radikal maka mereka akan memilih caleg berdasarkan kriteria berikut. Pertama, tidak terlibat pelanggaran HAM. Kedua, tidak terlibat KKN di masa pemerintahan lalu (Soeharto, Habibie, Abdurahman Wahid (Gus Dur), Megawati dan SBY). Ketiga, tidak pernah menjadi mesin politik atau terlibat langsung dalam institusi bentukan orde baru. Keempat, bertempat tinggal di daerah pemilihannya. Sehingga memungkinkan terpraktekkannya perwakilan politik. Karenanya, misalnya, caleg dari PDI-P Guruh Soekarnoputra, Adik Megawati Soekarno Putri, mesti ditolak menjadi caleg DPR Propinsi Jawa Timur karena berdomisili di Jakarta. Kelima, berpihak pada caleg perempuan dan pemuda untuk menuntaskan regenerasi kepemimpinan politik. Karena tanpa perubahan generasi, demokrasi tak ubahnya tari poco-poco.

Dengan standar tersebut, nantinya tidak ada lagi istilah memilih kucing dalam karung. Rakyat tidak lagi ragu menentukan pilihan. Dan vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan) pada pemilu 2009 akan berjalan lancar tanpa intervensi. Semoga!

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah adalah Peneliti pada IRSOD (Institute of Reasearch Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember


Tidak ada komentar: