WAKTU

JEDA

Senin, 15 Desember 2008

Melepas Belenggu Diskriminasi Kaum Difabel

Dimuat di RADAR SURABAYA, 05 Desember 2008



Melepas Belenggu Diskriminasi Pada Kaum Difabel
Oleh: Edy Firmansyah


Tak banyak yang tahu jika tanggal 3 Desember kerap diperingati sebagai hari Difabel (singkatan; Different Ability) atau Penyandang Cacat Internasional. Padahal kaum difabel di negeri ini masih terus mengalami diskriminasi di segala bidang.

Bahkan perhatian negara terhadap kaum difabel masih sangat minim. Benar memang pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk kaum difabel. Diantaranya, Undang-Undang (UU) 4/1997 tentang Penyandang Cacat; Peraturan Pemerintah (PP) 43/1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat; dan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum (Kepmen PU) Nomor 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan. Namun penerapan di lapangan atas undang-undang tersebut masih jauh panggang daripada api.

Dalam hal mengakses fasilitas umum, misalnya, nyaris tidak kita temukan fasilitas pendukung bai kaum difebel seperti lift dan ramp bagi pemakai kursi roda serta guilding block bagi penyandang tunanetra di gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan dan kantor pemerintahan di negeri ini. Padahal jumlah difabel yang ada saat ini tidak bisa dikatakan sedikit.

Berdasarkan laporan Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS) 1998 yang didasarkan pada data Departemen Sosial (Depsos), terdapat enam juta orang atau sekitar 3% difabel dari 200 juta penduduk Indonesia (pada saat itu). Sementara itu menurut asumsi data dari PBB, terdapat sekitar 10 juta difabel di Indonesia.

Data yang diperoleh itu belum sepenuhnya valid, mengingat masih banyak keberadaan difabel yang disembunyikan oleh keluarga karena masih dianggap aib. Kuantitas data tersebut masih perlu direvisi dengan mempertimbangkan keadaan Indonesia sepuluh tahun belakangan ini, yang dipenuhi berbagai bencana. Bencana yang terjadi telah membuat jumlah difabel bertambah. Bencana tsunami Aceh 2005, gempa di Yogyakarta 2006, dan sederet bencana lain yang menimpa seluruh pelosok Nusantara, membuat jumlah difabel bertambah banyak. (Ida Puji astuti, Suara Merdeka, 02/12/08)

Dalam upaya mendapatkan pekerjaan yang layak, keadaannya lebih memprihatinkan lagi. Walaupun keputusan Menteri tenaga Kerja Nomor 205/Men/1999 tentang pelatihan kerja dan penempatan Kerja Difabel yang salah satu poinnya menyebutkan bahwa setiap 100 pekerja di sebuah perusahaan harus ada satu pekerja difabel belum juga terpenuhi hingga saat ini. Lihat saja dalam persyaratan pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Salah satu syarat yang membuat kaum difabel harus ’gigit jari’ dalam upaya mendapatkan kesempatan kerja adalah dicantumkannya syarata bahwa seorang pelamar harus ’sehat jasmani dan rohani.’

Bahkan untuk mendapatkan pendidikan kaum difabel terpaksa harus dimasukkan dalam sekolah luar biasa, yang sejatinya bersifat ’mengucilkan’ kaum difabel daripada memberikan pencerahan. Padahal menurut John Dewey, pendidikan sejati merupakan jalan untuk melahirkan manusia yang merdeka yang saling bergaul satu sama lain dalam kesetaraan.

Dalam wacana difabel ini pandangan Deway ada benarnya. Kaum difabel juga manusia biasa, sebagaimana manusia normal umumnya. Sebagai manusia, mereka juga punya hak yang sama dengan warga negara lainnya. Hanya saja kemampuan mereka yang berbeda. Ada yang dibatasi dengan kemampuan gerak, bicara, mendengar atau mental. Meski demikian kaum difabel juga mampu berpikir dan merespon fenomena yang terjadi. Bahkan tidak sedikit para difabel yang mampu memanfaat indera yang lain secara optimal melebihi manusia normal.

Siapa yang tidak kenal dengan Franklin Delano Roosevelt dan KH Abdurrahman Wahid? Meski memiliki keterbatasan fisik mereka mampu mengoptimalkan pemikirannya sehingga menghantarkan mereka menjadi pemimpin negara. Bahkan Gus Gur—sapaan KH. Abdurrahman Wahid—dikenal sebagai salah satu intelektual Indonesia yang sulit dicari tandingannya. Siapa yang tidak kenal musisi handal, Ludwig van Beethoven? Meski tuli Beethoven mampu menciptakan komposisi nada klasik yang hingga saat ini masih dinikmati banyak orang.

Fakta diatas menyatakan bahwa sejatinya para difabel bisa mengembangkan diri dan mengasah potensi dirinya hingga ke taraf maksimal jika diberi kesempatan. Artinya deretan kaum difabel yang mampu membawa harum negeri ini bisa bertambah panjang seandainya pemerintah memberikan peluang sebesar-besarnya pada mereka untuk berkreasi, berinovasi di segala bidang tanpa diskriminasi. Dengan mengakomodasi potensi dan memberikan kesempatan pada para difabel untuk terlibat dalam berbagai kerja-kerja kreatif tanpa diskriminasi, bisa jadi dari kaum difabel akan lahir seorang penulis sekaliber Karl May, atau Ernest Hemingway. Atau seorang tunanetra ternyata memiliki kemampuan komposer serta Zubin Zehta.

Jujur saja, tak pernah lahir kaum difabel Indonesia yang cerdas, kreatif, dan inovatif yang diimbangi dengan tidak hanya kemampuan IQ, melainkan juga perpaduan dengan EQ (interaksi sosial) dan SQ (kematangan rohani) yang memadai, jika segala akses untuk mengembangkan diri justru dikunci rapat-rapat. Sebab energi positif yang ada di dalam diri para difabel akan dihabiskan untuk mendobrak diskriminasi yang ada. Yang lahir kemudian ketidakpercayaan pada pemerintah dan berujung pada ’perlawanan. Lagipula sebuah bangsa dikatakan besar bukan hanya karena pesat secara ekonomis, melainkan juga mampu menghapuskan diskriminasi di segala lini dan menyediakan rasa aman bagi semua warga negaranya tanpa terkecuali.

TENTANG PENULIS
*Edy Firmansyah
adalah Jurnalis. Peneliti pada IRSOD (Institute of Reaseach Social Politic and Democracy). Alumnus Kesejahteraan Sosial Universitas Jember.

Tidak ada komentar: