WAKTU

JEDA

Kamis, 23 Juli 2009

Seks, Kekerasan dan Perlawanan Perempuan

Oleh: Edy Firmansyah

Secara biologis, seks merupakan salah satu kebutuhan utama manusia yang sangat dominan peran dan pengaruhnya bagi perkembangan setiap manusia. Sebagai sebuah kebutuhan alamiah dan instingtif upaya-upaya manusia memenuhi kebutuhan seks seringkali tak bisa diteorikan. Sama seperti ketika manusia memenuhi kebutuhan akan lapar. Ketika pemenuhan kebutuhan seks dan penuntasan rasa lapar semakin tak bisa dipenuhi dampaknya seringkali menjalar pada masalah psikologis. Banyak orang—dari kalangan miskin—hanya untuk sekedar mencari makan sesuap nasi kerap melakukan tindak criminal, mulai dari mencopet, merampok hingga membunuh. Juga tak sedikit manusia ketika tak mampu menuntaskan hasrat seksualnya kerap gelap mata dan melakukan tindak kekerasan.

Puryanto, 27, misalnya. Hanya gara-gara istrinya tak memenuhi ‘jatah’ seksualnya, ia jadi bringas. Kebringasannya itu kemudian ia tumpahkan pada anak kandungnya sendiri, Tegar yang masih berusia empat tahun. Pria yang sehari-harinya menjadi pedagang bakso di Madiun itu menyeret anaknya ke rel kereta api yang tak jauh dari rumahnya. Disitu ia melindaskan kaki darah dagingnya sendiri pada kereta api yang sedang melintas hingga putus. Kekejamannya tak sampai disitu. Ia dengan tega meninggalkan anaknya yang merintih kesakitan dan bermandikan darah di pinggir rel. beruntung anaknya masih bisa merangkak (saya tak bisa membayangkan betapa sakitnya penderitaan Tegar) kembali ke rumah. Mungkin jika terlambat mendapat pertolongan, Tegar sudah tak bernyawa lagi kehabisan darah.

Di Jawa Tengah, seorang pria berinisial GM dengan keji membunuh dan memotong-motong tubuh pasangan tidurnya hingga menjadi beberapa bagian. Potongan tubuh pasangannya itu kemudian disebar ke berbagai tempat. Tindakan biadabnya itu juga dipicu masalah seks. Pasangannya menolak disetubuhi GM, karena kala itu ia sedang haid. Tapi GM tak terima. Ia kalap dan kemudian terjadilah mutilasi itu.

Dua contoh kasus diatas dalam konteks ini pertama-tama merupakan kegagalan manusia dalam pencarian bentuk alternatif pemenuhan hasrat biologis. Lebih jauh lagi pelaku kekerasan yang dipicu oleh tak terpenuhi hasrat seksual (hubungan kelamin) merupakan kegagalan dari pemahaman seseorang terhadap seksualitasnya secara mendasar. Terlebih lagi para pelaku kekerasan rata-rata orang yang sudah akrab dengan hubungan kelamin.
Bagi kebayakan orang, hubungan kelamin (coitus; gesekan penis dengan vagina) adalah tahapan tertinggi dari aktivitas seksual. Bagi orang-orang yang berpandangan demikian, aktivitas onani/masturbasi dianggap bagi mereka yang sudah berkeluarga dianggap sebagai dosa besar. Barangkali jauh lebih berdosa daripada pelaku onani/masturbasi ketika masih remaja dulu (belum berkeluarga). Lagipula beronani/masturbasi bagi mereka yang sudah pernah merasakan hubungan kelamin tak memiliki kepuasan berarti. Tak cukup untuk menuntaskan hasrat seksual. Barangkali sama rasanya ketika orang lapar, hanya disuguhi segelas air.

Padahal kalau mau jujur seks itu fleksibel. Ia bisa dipuaskan dengan berbagai sarana. Tidak melulu berhubungan kelamin. Bagi para pemuja oral seks, misalnya, sensasi berhubungan kelamin dianggap terlalu kecil dibandingkan dengan oral seks. Jadi dalam konteks ini beruntunglah beberapa orang yang masih ‘mempertahankan’ aktivitas onani/masturbasi, sehingga tak perlu harus mengalihkan pemenuhan hasrat seksualnya dalam tindak kekerasan. Tentunya tidak dengan berlebihan. Artinya, onani/masturbasi dilakukan hanya ketika saat-saat genting saja. Sebab dalam beberapa kasus tak sedikit pasangan yang terpaksa cerai karena kebiasaan onani/masturbasi lebih intens dari hubungan intim dengan pasangannya sendiri.

Disamping kekerasan sebagai bentuk sublimasi pemuasan kebutuhan seksual, ada juga kekerasan yang justru memicu hasrat seksual. Prilaku sadomasochisme, misalnya, bisa diajukan sebagai contoh nyata hubungan timbal balik antara seks dan kekerasan. Seorang sadomasochis akan makin terangsang dan bernafsu untuk menyalurkan hasrat seksualnya bila ia membarengi aktivitas seksualnya dengan melakukan penyiksaan terhadap lawan jenisnya. Kasus yang menimpa model cantik dan artis Indonesia, Manohara Pinot adalah salah satunya. Menurut pengakuan Manohara ke berbagai media, suaminya, Fakhry putra kerajaan Kelantan itu, gemar menyetubuhi Manohara dengan menyilet-nyilet tubuhnya. Setiap tetes darah yang menyalir dari luka Manohara semakin menambah sensasi seksual Fakhry. Tak cukup disitu. Dalam tiap hubungan intim, artis cantik yang kini menjadi pemeran utama sinetron “manohara’ itu, selalu dibius. “Saya tidak bisa apa-apa. Bergerak juga tidak bisa. Tapi saya bisa merasakan setiap sentuhan atau aksi menyakiti yang dilakukan Fakhry,” begitu penuturannya pada media.

Selain karena ketidak matangan menginterpretasi seksualitas, para pelaku kekerasan karena dorongan seksual, berangkat dari sebuah penolakan. Dalam masyarakat patriakat yang kental sekarang ini, laki-laki seakan-akan menjadi superior terhadap perempuan. Laki-laki sebagai kepala keluarga, laki-laki sebagai pemimpin terpatri kuat dalam masyarakat patriakat. Pandangan ini berbasiskan pada konstruksi gender yang mendefinisikan dan menempatkan perempuan sebagai kaum inferior. Dalam hal hubungan intim, penolakan perempuan atas permintaan laki-laki dalam bersenggama—apapun alasannya—dianggap sebagai sebuah pembangkangan. Dan setiap pembangkang pasti akan dikenai hukuman. Dalam kasus Puryanto, misalnya. Hukuman yang diberikan pada istri akibat menolak ngeseks ditimpakan pada anak. Tegar dijadikan tumbal karena dianggap kesayangan ibunya (istri Puryanto). Sementara GM, memilih untuk menghabisi perempuannya, hanya agar dominasi kekuasaan terhadap perempuan itu tidak diambil alih laki-laki lain.

Dan fakhry menancapkan kekuasaan patrikat dalam hubungan intim dengan Manohara lewat jalan pembiusan. Tegasnya kepasrahan perempuan atas dominasi laki-laki tak bisa ditawar laki. Perempuan akan kelihatan cantik, ketika ia tunduk dan patuh serta siap melayani nafsu laki-laki kapan saja dimana saja. Membangkang sedikit saja, maka kecantikan perempuan seakan pudar.

Sikap dominasi patriakat di Indonesia yang paling kentara ditunjukkan pada awal-awal rezim orde baru. Bermula dari menyebarnya wabah fantasi. Yang diolah sedemikian rupa oleh rejim berkuasa sehingga menancap kuat di seluruh wajah negeri ini. Tanggal 30 September malam, sebuah upacara digelar di Lubang Buaya. Segerombolan perempuan menari telanjang, bernyanyi sambil menyiksa tubuh para jenderal (yang kemudian dijadikan pahlawan revolusi). “darah ini merah, Jenderal!” seru seorang perempuan sambil menyilet tubuh korban.

Berbekal fantasi itulah kaum perempuan Indonesia kemudian digiring ke dalam lubang sejarah yang paling mengerikan. Berbagai organisasi perempuan dibubarkan, puluhan ribu aktivis perempuan yang diduga terlibat harus menerima resiko 3B; bunuh, buang, bui. Sementara itu ratusan ribu perempuan lain, menerima bencana sosial yang tidak kalah dasyatnya; menerima beban sebagai istri orang komunis, dikucilkan dari pergaulan sosial dan diskriminasi politik, serta menanggung beban menghidupi anak-anak yang ditinggalkan para bapak. Dan yang lebih mengerikan lagi, seluruh perempuan kemudian dimasukkan ke dalam etalese domestik Orde Baru; dapur, kasur, sumur.( Puthut EA, 2007;61) Kodratnya sebagai manusia yang berhak sejajar dengan laki-laki telah digantungkan di langit-langit kamar.

Orde baru seakan hendak menunjukkan bahwa perempuan yang baik adalah mereka yang cantik, patuh terhadap suami dan mampu mengurus anak-anaknya di rumah. Artinya perempuan dicitrakan sebagai ’perhiasan’ semata. Kepatuhan itulah yang mampu meningkatkan gairah seks kaum adam.

Tentu saja kekerasan hubungannya dengan seks tidaklah asal jadi. tidak ada anak manusia yang lahir kemudian langsung bringas dan punya inisiatif seksual dengan membunuh, menyakiti atau memperkosa lawan jenisnya. Semua prilaku seksual berangkat dan dibentuk oleh lingkungan sekitarnya. Sebagaimana yang diutarakan Freud bahwa penyimpangan-penyimpangan pada tingkah laku seksual bukanlah anomaly yang jarang terjadi. Perkembangan libido dapat dipengaruhi oleh lingkungan, terutama ketika masa kanak-kanak, dan bahwa keanehan tingkah laku dan karakter dalam diri orang dewasa berakar dalam keanehan dari hasrat dan tujuan seksualnya. (Fromm, 2002;197-198)
Tindakan sadistis, misalnya, lanjut Freud, merupakan prilaku seksual anak-anak semasa periode tertentu perkembangannya. Ketika sang ayah mengajari anak cara mendominasi dengan kekerasan, maka katika dewasa dia akan membentuk sadisme sebagai penyimpangan seksual maupuan sebagai struktur karakter yang didalamnya ada hasrat untuk menguasai, mendominasi dan merendahkan pasangannya (ibid). bahkan memiliki kecenderungan berbuat lebih sadis dari ajaran ayahnya.

Barangkali apa yang dilakukan istri Puryanto, pasangan tidur GM dan Manohara merupakan bentuk perlawanan atas dominasi patriakat dalam seksualitas. Dengan kata lain, kekuasaan patriakat atas seksualitas perempuan semakin hari semakin rapuh. Dan perempuan-perempuan Indonesia harus belajar banyak pada ketiga perempuan tersebut. Perempuan Indonesia harus belajar berkata tidak, dan menolak hubungan intim jika tubuh mereka tidak siap menerimanya.

Kebanyakan perempuan Indonesia memilih mengorbankan tubuhnya dan psikologisnya hanya sekedar untuk memuaskan birahi kaum adam. Misalnya ketika sang laki-laki sedang horny, sementara si perempuan sedang Haid, perempuan tak bisa menolak dominasi patriakat tersebut. Mereka membiarkan laki-laki menyetubuhinya disaat haid, sementara tubuh perempuan sedang dalam ancaman besar penyakit. Sebab darah haid adalah darah kotor yang jika masuk kembali ke dalam rahim akan menimbulkan kista dan kanker rahim.

Karena itu kedepan kaum perempuan memang harus lebih maju lagi. Syukur-syukur jika ada kongres perempuan khusus seks yang hasil akhirnya ada kesepakatan bagi kaum perempuan Indonesia untuk melakukan mogok seks nasional setiap satu bulan sekali Agar para pria belajar mengontrol diri ketika mengalami penolakan seksual dari kaum perempuan. Sekaligus menegaskan posisi perempuan yang semakin kuat, sehingga kaum patriakat tidak lagi menganggap sepele kaum hawa. Mungkin ada yang berdalih bahwa posisi perempuan sudah semakin sejajar dengan laki-laki. Ya, sebagian kecil. Sementara sebagian besar yang lain masih terus mengalami dominasi seksual. Padahal jika kondisi ini dibiarkan, maka kekerasan akan terus menghantui kehidupan masyarakat.


Madura, Juli 2009

Tidak ada komentar: