WAKTU

JEDA

Senin, 13 Juli 2009

Dua Film Adegan Ranjang Kacong-Cebbing Madura (2)

Sebenarnya mengapa sih ada anak muda yang begitu ‘bersemangat” (pada awalnya) untuk mengabadikan “gairah cintanya (lebih tepatnya nafsu)” tapi kemudian menangis sesegukan begitu hasil “kreatifitasnya” itu menjadi gunjingan publik? ” Seharusnya konsisten dong, berani berbuat berani bertanggung jawab. Giliran ngerekam aja ketawa cekikikan sambil mendesah-desah nikmat. Giliran kebongkar, nangis sejadi-jadinya, minta tobat, mohon ampun. Dah basiiii,” seloroh kawan saya.

Memang untuk urusan seks ini sedari kecil kita sudah diajari tidak boleh jujur mengungkapkannya. Jangankan jujur, bicara soal “paha” saja bisa kena damprat habis-habisan. Padahal yang hendak dibicarakan hanya soal paha ayam kampong (bukan ayam kampus). Akibatnya kita memaknai sendiri aktivitas seksualitas kita dan sensasi-sensasi seks yang kita alami tanpa pembimbing. Tanpa control yang ketat. Kita melalui tahapan-tahapan sensasi seksualitas seorang diri. Atau kadangkala dibimbing teman sebaya yang sama-sama tak mengertinya.

Saya sendiri saja tidak paham sejak umur berapa mengenal seks. Tapi yang paling saya ingat ketika kelas 3 SMP kepala saya sudah bisa cenut-cenut kalau melihat gambar wanita berbikini di majalah milik tetangga yang kebetulan dipinjam oleh ibu saya. Tapi cenut-cenut di kepala itu disertai dengan perasaan nikmat yang entah darimana datangnya. Tapi memang waktu itu tak pernah tahu bagaimana cara menuntaskannya. Atau lebih tepatnya bagaimana cara “menyembuhkan” kepala yang cenut-cenut itu. Yang saya tahu setiap kali melihat cewek berbikini lama-lama, biasanya kenangan itu terbawa sampai ke mimpi. Dan saya bermimpi dipeluk perempuan berbikini sampai celana basah. Mencoba jujur sama orang tua soal ini? Tidak dech! Ini untuk pertamakalinya saya mencuci celana dalam dan sarung saya sendiri dengansembunyi-sembunyi. Alasannya sederhana agar tidak ketahuan orang tua. Agar pertanyaannya tidak terus berlanjut. Kala itu saya masih membayangkan bagaimana cara bermimpi lagi adegan seperti itu. Rasanya nikmat sekali. Ternyata bukan hanya gambar wanita berbikini yang saya tonton. Dari senior dan teman dewasa saya yang lainnya saya bisa mendapatkan 3 kartu remi bergambar adegan mesum yang saya beli seharga Rp. 2000/kartu (itu tahun 90-an). Namun ketika sudah menjelang lulus SMA kartu-kartu itu saya bagikan pada teman2 sekolah.

Rasa penasaran itulah yang kemudian membuat saya ‘naik kelas’ dalam masalah membangkitkan gairah. Di sekolah ternyata saya bertemu dengan kawan-kawan sebaya yang mengalami hal serupa. Kami saling berbagi cerita sambil tertawa cekikikan. Disaat-saat masih penasaran itulah saya disodori buku cerita mesum teman-teman pria saya (tepatnya senior, karena umurnya lebih dewasa dari saya) yang telah lebih dulu naik kelas “Advance” untuk urusan beginian. Mulai dari novel stensilan kelas kacang berlabel Nick Carter, novel karangan Freddy S, hingga novel yang benar-benar full menyuguhkan imajinasi seksual tingkat tinggi. Barangkali ada orang tua yang bangga ketika anaknya petantang-petenteng bawa buku bacaan tebal. Tapi tidak demikian dengan saya. Biasanya saya menyelipkan novel-novel itu di dalam buku pelajaran. Sehingga sepertinya saya sedang khusuk membaca buku pelajaran padahal sebenarnya sedang sibuk berimajinasi seksual dengan buku-buku stensilan itu.

Lewat buku-buku itulah saya mulai belajar menjadi laki-laki dewasa. Masturbasi. Menurut saya tahapan ini adalah tahapan yang pasti dijalani oleh semua pria di dunia ini. Meski tidak ada data yang kongkret—secara teoritis nyaris semua laki-laki entah ia itu pedagang asongan, tukang gerebek VCD/DVD porno, jenderal atau presiden sekalipun pasti pernah melakukan ini. Bahkan terdengar kabar kalau mantan presiden Amerika Bill Clinton, juga masih gemar ber-seks oral dengan pasangan selingkuhnya. Meski tingkatannya lebih tinggi, tapi intinya sama saja; onani/masturbasi. Pada tahap ini mau jujur pada orang tua? Ah, tidak dech. Bisa-bisa kena damprat habis-habisan. Atau malah orang tua bisa kena serangan jantung mendadak. Urusannya bisa gawat.

Pada hari pertama bermasturbasi ria itu ada rasa bersalah yang menghantui pikiran. Tapi toh ada juga pikiran untuk mengulanginya di hari kedua. Dan benar aktivitas itu diulangi juga, meski ada rasa bersalah tiap kali usai melakukannya. Terus begitu sampai akhirnya menjadi rutinitas. Efek kecanduannya mirip narkoba. Karenanya tak begitu heran jika mantan model kondang di masa 1980-an, Christie Brinkley, memutuskan menceraikan suaminya yang ketahuan ketagihan masturbasi melalui camera laptop.

Tanpa pembimbing. Tanpa guru. Tanpa mentor, saya akhirnya naik kelas lagi. Kini bukan hanya buku-buku stensilan yang saya lahap, melainkan film biru. Waktu pertama kali melihat, saya dibikin pusing kepala. Sampai mau muntah segala. Tapi setelah dua tiga kali menonton, pusing itu jadi sedikit berkurang karena diselingi rasa nikmat. Tak cukup juga sampai disitu, ketika mengenal internet, aktivitas petualangan syahwat dilanjutkan di dunia maya yang lebih luas dan memberikan banyak warna. Saya juga mulai mengenai yahoo messenger dan chat room. Di chat room itu saya bisa menonton adegan seks (karena dilengkapi dengan webcam) sambil berdialog dengan pelakunya. Menarik…seru dan tanpa batas.

Mungkin yang tak pernah saya lakukan hanyalah merekam aktivitas seks saya saja. Dan laki-laki dan perempuan di film yang dikirimi teman saya itu, mereka berhasil melebihi rekor yang saya raih. Mereka berhasil mengabadikan kisah percintaan (lebih tepatnya persenggamaan) mereka. Dan semua itu, semua tahapan itu dilalui tanpa kontrol.

Barangkali tak akan banyak pemuda-pemudi yang terjebak dalam aktivitas dan sensasi seksual mereka sendiri seandainya orang tua, guru, kakek/nenek mau terbuka membicaran seks dengan mereka. Artinya, diskusi tentang seks bukanlah diskusi soal persenggamaan semata, melainkan pemahaman tentang perubahan seksualitas dan lompatan-lompatan sensasi yang dialami tiap anak-anak muda. Dengan adanya diskusi terbuka ini, saya yakin anak-anak tak sampai terjerat dalam birahinya sendiri.

Mengeksplorasi sendiri. Ada kontrol, ada penjelasan logis tentang tahapan seksual, sehingga mereka bisa mengambil jalan keluar tidak seorang diri, melainkan bersama-sama dengan keluarga dekatnya dan orang-orang yang mereka percayai.

Tentu saja untuk mencapai ini diperlukan juga orang tua yang paham betul perubahan seksual. Bukan orang tua yang kolot dan ortodoks, yang memaknai fenomena social remaja dari sekedar pahala dan dosa belaka, melainkan dengan sudut pandang sosial dan psikologis. Dan ini penting. Orang tua masa kini harus bisa lebih terbuka dan demokratis membicarakan seks dan tahapan seksualitas yang bakal dilewati putra-putrinya. Tanpa sikap yang demokratis dan terbuka, kita akan selalu dihadapkan dengan kejutan-kejutan. Kita akan terkejut jika tiba-tiba anaknya menghamili atau dihamili pacarnya. Kita akan terkejut ketika anak-anak kita jadi bispak atau perek sepulang sekolah. Atau kita sebagai orang tua bisa koit jika tak sanggup menanggung kejutan itu. Padahal sebenarnya kejutan-kejutan itu terjadi karena kita sudah terlalu kehilangan banyak momen penting dari tahapan anak-anak kita. Dan kita tak pernah lagi dekat dengan anak-anak. Maka yang diperlukan hari-hari ini adalah kejujuran. Kita harus mengakui dengan jujur bahwa tahapan-tahapan seksual diatas juga pernah kita alami ketika menjadi remaja dulu. Dan kini sudah saatnya dibagi dan didiskusikan bersama dengan anak-anak kita. Siapa yang berani memulai?

Tidak ada komentar: