WAKTU

JEDA

Minggu, 26 Juli 2009

Prostitusi Madura Pasca Suramadu

Oleh: Edy Firmansyah

Dalam sebuah conference chat dengan beberapa kawan di YM, seorang kawan, sebut saja M bertanya; bisnis apa yang prospek di madura pasca suramadu? Saya yang memang tidak paham soal bisnis kontan saja bingung menjawab pertanyaan itu. Tapi entah otak saya sedang ngeres atau apa tiba-tiba saja saya menjawabnya; bisnis perempuan.

Semua kawan saya yang kebetulan ikut dalam conference kala itu tertawa ngakak. Kawan saya yang lain kemudian komentar; “Prostitusi? Di Madura? Seperti akan sulit karena akan diobrak-abrik ormas Islam. Madura khan serambi madinahnya Indonesia? Lagipula pemerintah daerah dan masyarakat tidak akan tinggal diam. Madura harus bersih dari prostitusi.” begitu ujarnya.

Tentu saja pendapat kawan saya itu tak sepenuhnya benar. Benar memang Sebelum suramadu rampung aksi bersih-bersih tempat-tempat pengumbar syahwat kerap dilakukan Pemkab. Madura. Di tiap-tiap tindakan penertiban selalu saja ada PSK (pekerja seks komersial) yang terjaring.

Namun bukan berarti Madura sepenuhnya bebas prostitusi. Toh, disetiap aksi penertiban selalu ada PSK yang terjaring. Artinya, dunia lendir di madura sudah ada jauh sebelum Suramadu dioperasikan. Pemerintah daerah tak menampik hal itu. Hanya saja menurut mereka prostitusi di Madura hanyalah prostitusi musiman. Bahkan seorang anggota dewan di Pamekasan mengatakan praktek prostitusi hanyalah persoalan tahunan. Praktek syahwat itu marak ketika musim panen tembakau tiba. Di Pamekasan misalnya, setidaknya ada 12 titik rawan yang kerap menjadi tempat prostitusi. Diantara 12 titik itu adalah kecamatan Larangan, Batumarmar, dan Galis. Namun ke-12 titik itu baru beroperasi dan ramai ketika musim tembakau tiba.

Namun menurut laporan Pemkab para PSK yang ada di madura bukan orang madura asli. Umumnya para PSK yang datang ke pulau garam ini berasal dari luar Madura. Seperti Situbondo, Bondowoso, Jember, Banyuwangi dan ada pula yang mengaku dari Surabaya. Pandangan ini cukup bisa diterima. Pertama, sudah menjadi hukum besi sejarah bahwa prostitusi selalu berkelindan erat dengan perkembangan ekonomi masyarakat. Tiap musim panen termbakau tiba, perputaran uang di Madura begitu cepat. Musim panen tembakau di madura ibarat sebuah kenduri. Setiap usai musim tembakau seakan ada budaya konsumsi yang sengaja dipertahankan. Masyarakat desa berbondong-bondong membeli barang dan emas dari hasil laba panen. Meskipun dari tahun ke tahun harga tembakau madura terus anjlok, toh budaya konsumsi itu tak surut. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan PSK luar madura. Logika ada gula ada semut bergerak di sini.
Tentu saja PSK musiman yang datang ke Madura bukan PSK paling top di luar Madura. PSK yang masih laris ketika berpraktek di Jawa tak akan sudi meninggalkan tempat prakteknya hanya sekedar mencari pangsa pasar yang baru dan tak jelas peruntungannya. Artinya, mereka yang menjual birahi ke madura hanyalah pekerja seks yang kalah bersaing di Jawa. Sebuah persaingan kerja yang biasa dalam upaya merebut pasar. Saya menyebut persaingan kerja karena PSK bisa dikategorikan sebagai sebuah kerja. Dalam dunia prostitusi prasyarat untuk disebut sebuh kerja cukup terpenuhi. Ada profesionalitas, disiplin, skill dan pengalaman yang mumpuni untuk menjadi PSK favorit dan ‘sukses”. Karenanya wajar jika kemudian terjadi persaingan.

Disamping itu, dari tahun ke tahun angka prostitusi terus meningkat seiring dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok dan imbas krisis global yang menimpa Indonesia. Ambil contoh lokalisasi Dolly. Dari tahun ke tahun lokalisasi terbesar di Indonesia terus melonjak PSK-nya. Pada tahun 1991-1992 di lokalisasi ini hanya terdapat 1.200 pekerja seks. Pada tahun 1997, angka tersebut bertambah menjadi 2.500 orang. Bahkan pada tahun 2001, pekerja seks di Dolly sudah mencapai 3.060 orang. Para pekerja seks itu tersebar di RW VI dan RW XII (gang dolly) dan wilayah RW III dan RW X (gang Jarak) (Kadir, 2007). Tentunya pelonjakan itu terjadi pula pada PSK-PSK yang tidak terlokalisir. Bahkan kemungkinan peningkataban jumlah PKS ‘liar’ ini jauh lebih pesat dari PSK di lokalisasi.

Karena itu terlalu berlebihan jika prostitusi di Madura hanyalah gelaja musiman. Dunia esek-esek tak mengenal musim. Ia hadir seiring dengan desah nafas manusia. Ia akan terus hadir, entah dengan cara mengendap-endap tersembunyi atau dengan terang-terangan. Laporan mengenai aktivitas perempuan bispak yang sempat diturunkan media lokal di Madura beberapas waktu lalu semakin mempertegas langgengnya prostitusi di pulau garam. Ini belum termasuk perempuan-perempuan yang menjadi simpanan pejabat hingga PSK-PSK yang disediakan hotel.
***
Prostitusi tidaklah asal jadi. Tak ada manusia yang bercita-cita menjadi pelacur sejak lahir. Praktek jual beli vagina ini adalah produk ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat. Semakin timpang kehidupan masyarakat maka praktek-praktek lendir ini akan semakin marak bak jamur di musim hujan. Tak ada tempat yang bebas dari prostitusi. Di Acehpun yang mengusung syariat Islam, prostitusi jadi bagian dari kehidupan masyarakat. Bahkan di Arab, tempat manusia menunaikan ibadah haji, praktek prostitusi tak kalah liarnya.

Namun saya hanya mengulai prostitusi di Nusantara. Sudah sejak zaman feodal prostitusi menjadi bagian yang tak terpisahkan. Praktek perbudakan (jual beli manusia) misalnya. Para tuan tanah kerap mencari budak-budak perempuan yang rupawan, bukan hanya untuk diperas tenaganya, tetapi juga untuk disetubuhi. Praktek ini terus berlanjut dalam masa kerajaan-kerajaan. Meski masa feudal beberapa perbudakan mulai dihapuskan, tetapi para raja-raja masih gemar memelihara selir yang diambil dari perawan-perawan desa. Cerita Gadis Pantai karya Pramodya Ananta Toer adalah secuil cerita suram tentang eksploitasi perempuan. Gadis pantai dipinang seorang bangsawan. Sebenarnya ia tidak mau. Tetapi karena desakan orang tuanya agar bisa memperbaiki nasib (dari kehidupan yang miskin menjadi bisan seorang bupati) gadis pantai berangkat juga. Tegasnya ia ‘dijual. Ia dijadikan ‘nyai’ hanya untuk melampiaskan nafsu birahi bangsawan tersebut sembari menunggu dan mencari perempuan yang sederajat (yang juga keturunan darah biru) hadir dalam kehidupannya dan menjadi pendamping sejatinya. Ketika perempuan bangsawan itu hadir dan gadis pantai melahirkan anak perempuan, ia dicampakkan. Diusir dari rumah ‘tuannya’ tanpa membawa anaknya.

Beberapa perempuan yang mengalami kasus seperti gadis pantai tak pernah kembali ke rumahnya. Mereka merantau ke daerah lain dan hidup menjadi pelacur. Beberapa yang lainnya memilih bunuh diri. Peristiwa ini tak berhenti sampai di sini, ketika zaman kolonial praktek perlontean atas nama selir semakin marak. Para colonial tersebut rupanya tertarik dengan cara raja-raja Jawa (juga madura) melampiaskan syahwat. Maka pada gubernur dan pejabat VOC berbondong-bondong memelihara selir dan mencampakkannya ketika sudah bosan. Tak sedikit para orang tua yang tergiur untuk naik kelas dengan menjual putri-putrinya sendiri. Kondisi ekonomi membuat masyarakat miskin semakin tega mengorbankan perawan-perawannya untuk memperbaiki nasib. Praktek perlontean atas nama selir inilah yang kemudian memarakkan produksi jamu dan obat kuat tradisional. Jamu Madura salah satu obat kuat yang terkenal di zaman kolonial sebagai doping alami untuk bersenggama. Dari sini bisa ditarik benang merah bahwa praktek perlontean dengan selubung selir juga marak di Madura kala itu.

Perdagangan di Nusantara kian pesat. Hindia Belanda menjadi pusat perdagangan internasional paling ramai. Banyak pedagang yang datang dan menetap untuk sementara di nusantara. Tersebar dari maluku, jawa hingga madura. Rata-rata para pedagang ini adalah para bujangan, atau meskipun beristri, istri dan anak-anaknya mereka tinggal di eropa. Tentu saja para pedagang itu sangat butuh pelampiasan birahi. Maka VOC kemudian mulai membangun lokalisasi-lokalisasi. Lokalisasi tersebar hampir disemua wilayah jajahan Belanda. Termasuk Madura. Awalnya para PSK itu adalah selir-selir yang dicampakkan tuannya itu. Tetapi kemudian karena masyarakat mulai melihat bahwa kehidupan para pelacur di lokalisasi itu kian baik, tak sedikit masyarakat miskin yang tergiur. Maka, tak sedikit penduduk yang sengaja menjual istrinya sendiri dalam lokalisasi itu untuk memperbaiki nasib. Disini jelas bahwa pelacuran berkelindan erat dengan kondisi ekonomi.

Praktek prostitusi paling parah terjadi di zaman penjajahan jepang. Sudah bukan rahasia umum lagi jika tentara-tentara kerap membutuhkan perempuan-perempuan untuk melampiaskan syahwat. Dan biasanya perempuan-perempuan negeri jajahan yang dijadikan ‘tumbalnya.’ Jugun Ianfu. Itulah sebutan bagi perempuan-perempuan yang dijadikan pelacur di zaman jepang. Cara tentara jepang menjebak perempuan-perempuan cantik masuk dalam praktek prostitusi sungguh licik. Ia menyebar pamplet, brosur dan memberikan pengumuman-penguman melalui pengeras suara bahwa sebagai saudara tua pemerintah Jepang akan membalas jasa dengan menyekolahkan para perempuan-perempuan nusantara ke Jepang dan eropa. Maka, berbondong-bondonglah para perempuan nusantara mendaftar. Tak sedikit anak-anak bupati dan kepala desa turut serta. Tapi janji itu bohong belaka. Para perempuan itu diangkut ke kamp-kamp lokalisasi untuk dijadikan pemuas nafsu tentara jepang. Ketika Jepang kalah perempuan-perempuan itu dibuang ke pulau buru(selengkapnya, baca “Perempuan dalam Cengkraman Militer, Pramodya Ananta Toer, 2001). Sementara yang berhasil lolos terus menjadi pelacur karena merasa hidupnya tak lagi berharga sebagai perempuan ‘terhormat.’

Pasca kemerdekaan Indonesia, pertumbuhan tempat-tempat pelacuran semakin meningkat seiring dengan gonjang-ganjing ekonomi seperti melonjaknya harga minyak dunia yang di Indonesia dikenal dengan bonanza minyak, semangat revolusi hijau dan paham pembangunanisme orde baru. Di era reformasi dunia pelacuran tidak kian surut, malah kian marak dan kompleks. Buku Jakarta Undercover Cover, Memoar Emka adalah sedikit fakta betapa kompleksitas dunia pelacuran.
***
Jembatan Suramadu resmi dioperasikan. Kedepan, Madura pasca suramadu akan semakin berkembang pesat menjadi, tak hanya wilayah agraris, tetapi secara bertahap menjadi sebuah wilayah industri yang massif. Sawah-ladang yang menghampar di sebagian besar wilayah Madura akan disulap menjadi daerah-daerah industri. Bahkan di kawasan sekitar suramadu di sisi madura akan dijadikan area pariwisata. Suka tidak suka masyarakat Madura yang rata-rata memiliki ketrampilan bercocok tanam dan beternak harus bersaing dengan masyarakat industri. Disinilah akan terjadi kontradiksi ekonomi. Industrialisasi yang membutuhkan tanah yang luas untuk membangun pabrik-pabrik dan gudang-gudang baru dengan segala cara akan menggeser peran masyarakat atas tanah sawah kedalam sebuah kerja-kerja pabrik. Para pemilik sawah yang tergiur dengan harga tanah dan investasi barang tak bergerak yang cenderung melonjak berlomba-lomba merebut tanah pertanian untuk pabrik dan real estate. Para petani penggarap dipaksa masuk dalam kerja-kerja industri, ia dipaksa menjual tenaga mereka (karena tidak miliki lagi keterampilan selain kekuatan ototnya); menjadi buruh.

Tentu saja kondisi ekonomi buruh tak sebaik kehidupan ketika menjadi petani penggarap. Maknanya sebenarnya sama saja; menjual tenaga. Artinya, kabut kemiskinan masih akan terus menyelimuti sebagian besar masyarakat madura. Ditengah harga kebutuhan pokok semakin melambung tinggi, harga pendidikan semakin tak terjangkau serta biaya kesehatan yang nyaris tak tersentuh keluarga miskin, memaksa perempuan-perempuan sawah keluar rumah, mengadu nasib untuk menopang biaya hidup keluarga.

Namun karena rendahnya daya saing perempuan sepertinya minimnya ketrampilan kerja, pengalaman dan koneksi, membuat tak sedikit dari mereka harus gagal masuk ke sektor formal. Kegagalan itulah yang kemudian menggiring banyak perempuan masuk dalam dunia lendir.

Karena itu menyelesaikan masalah pelacuran tidak cukup hanya dengan razia dan penertiban belaka. Tindakan represif semacam itu ibaratnya mencabut rumput di pekarangan rumah. Mungkin dalam sehari pekarangan rumah bisa bersih karena rumputnya dipotong dan dicabuti. Tetapi ia akan muncul lagi, karena akar-akarnya masih menghujam jauh dalam tanah. Karena itu mungkin harus dipikirkan pula lokasi yang strategis untuk lokalisasi di pulau madura. Suka tidak suka prostitusi akan jadi warna tersendiri bagi masyarakat madura pasca suramadu. Keteguhan religi dan spiritual masyarakat Madura semakin diuji dengan maraknya prostitusi pasca suramadu. Disini saya hendak menegaskan, bahwa langkah represif menangani pelacuran hanya akan menciptakan perlawanan.

Disamping itu Harus terus dipikirkan upaya-upaya perbaikan ekonomi masyarakat yang progresif dan adil untuk rakyat. Semakin kecil jarak ketimpangan ekonomi, semakin kreatif masyarakat. Sehingga semakin tipis untuk terjerembab dalam dunia syahwat. Bukankah ada hadist yang mengatakan kemiskinan lebih dekat dengan kekufuran? Maka tak ada jalan lain selain mengambil kebijakan-kebijakan pro rakyat dalam perbaikan ekonomi. Karena pelacuran memang berkelindan erat dengan upaya bertahan hidup. Makanya jangan heran jika, Sari (bukan nama sebenarnya), PSK di Jember, yang mengaku asal pamekasan kerap mengusapkan uang yang dibayarkan laki-laki hidung belang pertama yang ‘memakainya’ ke payudara dan vaginanya sambil berucap; “penglaris….penglaris.”

Saya memang tak jadi menurunkan penjelasan saya yang panjang ini pada kawan-kawan chat saya. Karena saya lihat diskusi memang berlangsung tidak serius. Malah salah satu kawan saya nyeletuk; “Kalau memang nantinya ada lokalisasi besar di Madura sebesar Dolly, kau sebaiknya juga ikut jadi Germo saja.”



Madura, 23-25 Juli 2009

Tidak ada komentar: