WAKTU

JEDA

Minggu, 19 Juli 2009

Seks, Teroris dan Masyarakat Pecundang

Seks, Teror Bom dan Masyarakat Pecundang

Jakarta kembali di teror bom. Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton dibuat luluh lantak oleh ledakan bom. Setidaknya 9 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka. Diduga kuat bom yang meledakkan dua hotel bertaraf internasional di bilangan Mega Kuningan, Jakarta itu adalah aksi bom bunuh diri. Bahkan masyarakat kian tegang setelah presiden SBY melontarkan pernyataan bahwa berdasarkan informasi intelegen ada jaringan teroris yang masih beraktivitas di Indonesia.

Berbagai pendapat mulai berseliweran di masyarakat. Ada kabar bahwa aksi teror bom itu sengaja diciptakan untuk memporak-porandakan kondisi ekonomi Indonesia (yang sebenarnya sudah porak-poranda karena melonjaknya harga kebutuhan pokok dan imbas krisis global). Ada juga yang berpendapat tindakan tersebut untuk menggagalkan kedatangan MU ke Indonesia. Sehingga citra Indonesia di mata internasional semakin minor. Pendapat itu hendak menuding Malaysia sebagai biang keroknya (mencoba-coba mengungkit dendam lama soekarno ketika melontarkan kata perang dengan Malaysia). Sementara kabar lainnya mengatakan bahwa aksi bom itu sekedar mengalihkan isu carut marut pemilu dengan DPT fiktifnya yang masih belum tuntas itu. Mana yang benar dari berbagai pendapat itu?

Bukan itu fokus tulisan ini. Sebab tulisan tak hendak membuat kita semakin meradang dan puyeng dengan berbagai kemungkinan dibalik aksi teror bom itu. Justru tulisan ini mengajak kita kita melemaskan pikiran sejenak dari ketegangan tentang teror bom dengan membicarakan soal seks. Meski tema seks kerap dianggap sepele dibandingkan masalah terorisme yang kini menjadi perbincangan hangat publik, namun seks kerap berkelindan dengan aksi kekerasan (termasuk juga aksi terorisme).

Ya, seks. Anda boleh percaya atau tidak. Tapi seks kerap menjadi salah satu fungsi kontrol dalam menyeimbangkan emosi dan psikologis kita. Karena seks punya kemampuan katarsis untuk meeliminir emosi, ambisi, nafsu dan kemarahan seseorang. Dengan kata lain, seks menjadi semacam obat psikologis untuk membuat kita kembali berpikir jernih seusai mencapai klimaks dari aktivitas seksual. Tentu saja seks yang saya maksud adalah seks yang wajar. Seks yang sehat. Yang didalam aktivitasnya tidak ada kegiatan mendominasi satu sama lain. Melainkan upaya berbagi dan saling menstimulus untuk mencapai kepuasan seksual sejati. Pun ketika aktivitas seksual dilakukan sendirian seperti onani atau masturbasi didalamnya tidak ada aksi menyakiti diri sendiri.

Sebab dengan melakukan aktivitas seksual secara normal dan sehat, seseorang secara psikologis bisa terhindar dari aksi-aksi kekerasan, kemarahan dan anarkis yang menyakiti diri sendiri apalagi orang lain. Disini saya hendak mengatakan bahwa para teroris itu sebenarnya punya masalah seksualitas yang kompleks. Memang tak ada data empirik yang kuat untuk ini. Tapi secara teoritis memang kita patut mencurigai para teroris itu memang memiliki aktivitas seksual yang tidak normal.

Akvitas teroris mirip dengan prilaku bejat para pemerkosa. Pemerkosa adalah prilaku seksual yang tidak normal karena pelakunya merasakan kenikmatan dan mencapai klimaks diatas penderitaan orang lain. Para pemerkosa itu semakin bringas dan nafsu birahinya semakin tak terbendung tiap kali korbannya berontak sembari berteriak; “jangan, pak….ampun, om, jangan.” Saya ingat sebuah aksi pemerkosaan di sebuah obyek wisata di Madura ketika saya masih kuliah dulu (sekitar tahun 2003). Seorang perempuan yang kebetulan sedang berasyik mesum dengan sang pacar dipergoki beberapa pemuda. Para pemuda itu sebenarnya bukan hendak memalak mereka, melain justru tergiur kemelokan perempuan tersebut. Maka dimulai aksi perkosaan itu. Si pria, pasangan perempuan itu, tak bisa berbuat banyak. Tragisnya lagi, (dan ini sungguh bejat) salah satu pemerkosa dalam aksinya menggigit putting payudara si perempuan hingga nyaris putus.

Bagi yang punya prilaku seks normal, memang tak habis pikir mengapa ada orang yang bisa mencapai orgasme ketika mendengar erang kesakitan orang lain, bahkan nafsunya semakin ‘buas’ melihat darah yang mengalir dari payudara seorang perempuan karena digigit si pemerkosa. Sama tak habis pikirnya ketika beberapa hari lalu membaca berita seorang ayah tega memperkosa anaknya hingga hamil. Memang dalam dunia seks ada prilaku seks menyimpang seperti sexual abuse, rape, insest, sado mashochism, dan sebagainya. Tapi semua itu tidak asal jadi. Karena tak ada seorang anak manusiapun yang lahir kemudian bercita-cita menjadi pemerkosa, pemerkosa anak sendiri, beraktivitas seks sembari menyilet-nyilet pasangannya. Prilaku itu—kalau meminjam analisa psikologi analisnya Freud—pasti ditimbulkan oleh sebuah trauma seksualitas yang kemudian terekam dalam alam bawah sadarnya. Sehingga ketika dewasa dan ia memiliki kekuasaan, ia bertindak lebih bringas dari trauma seksual yang pernah dialaminya.

Begitu juga para teroris itu. Mereka jelas memiliki trauma psikologis yang akut sehingga begitu tega menyakiti orang lain. Mereka sama kejamnya dengan para pemerkosa itu. Yang mencapai orgasme, merasa puas, girang senang karena melihat darah dan erang kesakitan orang lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan mereka juga punya aktivitas seksual yang tidak normal. Artinya ada tahapan-tahapan seksual yang tidak mereka lalui secara wajar sehingga aktivitas seksual mereka jadi terbelengkalai. Akibatnya, eskapisme dari kegagalan seksualitasnya itu mereka kemudian mencari kepuasan dalam bentuk lainnya. Dan salah satunya adalah menyebarkan teror itu. Tentu saja teroris disini tak melulu orang yang melakukan aksi bom bunuh diri atau melakukan pengeboman. Mereka yang dengan sengaja menyebarkan ketakutan pada masyarakat layak disebut teroris juga.

Kita bisa melihat kengerian yang lebih akut manakala aksi teror atau aksi pemerkosaan itu diorganisir dengan cukup sistemik dan solid. Kita bisa saksikan aksi pemerkosaan terorganisir terhadap wanita-wanita Tionghoa pada medio 1998. dan tragisnya, masyarakat yang katanya memeluk erat budaya timur dan penuh kesopanan itu justru bungkam dan hendak ‘lupa’ pada tragedi kemanusiaan yang penuh darah itu.


Masyarakat pecundang
Sampai disini barangkali benar kata FX. Rudi Gunawan bahwa makin maraknya kasus perkosaan dan terorisme dalam masyarakat, bisa dijadikan indikator atau parametet pecundang-tidaknya suatu masyarakat. Semakin tinggi angka perkosaan dan aksi terror maka semakin pecundanglah sebuah masyarakat. Apa yang layak ditudingkan pada seorang ayah selain pecundang ketika ia dengan tega memperkosa anaknya sendiri dan disetiap aksi pemerkosaannya mengancam akan membunuh anaknya sendiri jika melapor aksi bejat itu pada siapapun, sementara dimasyarakat, di tempatnya ia bergaul dan bersosialisasi ia dengan begitu tanpa berdosanya berbicara soal moral dan pendidikan anak.

Masyarakat pecundang juga barangkali bisa ditudingkan pada masyarakat yang diam saja manakala melihat penindasan, atau diam saja ketika penggusuran pada masyarakat miskin dilakukan dengan tindakan represif oleh aparat. Atau juga tak ada sebutan yang lebih layak selain pecundang ketika masyarakat diam saja ketika dirinya dibohongi, ditindas, dipersempit ruang gerak ekonomisnya, dibikin melarat dengan kebijakan yang tidak berpihak. Ya, barangkali masyarakat pecundang adalah masyarakat yang tidak tuntas menyelesaikan tahapan seksualnya secara wajar dan sehat. Para koruptor, makelar kasus, politisi busuk bisa juga digolongkan dengan para pecundang. Masyarakat yang sehat menurut Erich Fromm adalah masyarakat yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap masyarakat lainnya. Saling membantu dan saling melindungi satu dengan lainnya. Masyarakat yang tidak dicemari aksi teror untuk menimbulkan rasa takut dan ngeri masyarakat lainnya dan masyarakat yang melawan ketika ditindas.

Karena itu barangkali sesekali kita meski belajar pada para pelacur yang dengan jujur mengaku bahwa dirinya memang wanita pemuas nafsu. Dengan dandanan seronok dan mesum mereka tampil tanpa malu berdiri di pinggir-pinggir jalan, atau tersenyum dengan paha mengangkang ketika duduk di etalase-etalase birahi sembari ditonton ribuan laki-laki hidung belang. Mereka dengan berani memecundangi laki-laki hidung belang di ranjang dengan membuat lenguhan dan desah-desah palsu hanya sekedar untuk memeloroti kejantanan para pria-pria yang sebenarnya tidak jantan itu.

Kita sepertinya memang harus berguru pada perempuan-perempuan yang berdiri—meminjam judul Novelnya Nawal El-sadawi—di titik nol. Daripada kita berguru pada kiai dengan celoteh-celoteh kitab suci yang fasih sefasih mereka mengumbar nafsu birahinya dengan memperbanyak istri-istri yang kebanyakan masih muda belia dan ranum-ranumnya. Dengan demikian kita tak pernah punya keinginan atau ambisi untuk sekedar mengumbar teror atau melakukan aksi terorisme (termasuk aktivitas seksual) yang merugikan orang lain.

Tidak ada komentar: