WAKTU

JEDA

Minggu, 17 November 2013

#5bukudalamhidupkuplus1: Kenangan BUku Menolak TUnduk dari Aktivis Kelas Empat


Kenangan Buku Menolak Tunduk dari Aktivis Kelas Empat

Pencoblosan di TPS di kampung saya pada 7 Juni 1999 baru saja usai. saatnya penghitungan suara. Itu pertamakalinya saya menjadi pemilih. Saya menunggu dengan cemas. Tak saya perhatikan hasil perolehan suara partai lain. Begitu nama Partai Rakyat Demkratik (PRD) disebut dengan perolehan 1 suara, saya merasa lega. Cuma itu yang bisa saya berikan buat sebuah perubahan di negeri ini. 

Teman sebangku saya juga cerita hal serupa saat ngumpul malam harinya. Di TPSnya cuma dia yang mencoblos partai dengan pimpinan Budiman Sudjatmiko kala itu. Saat itu kami baru saja lulus SMA. ”PRD itu partainya anak muda.” Bergitu ujar Didit, teman saya dengan nada bangga.

Sedikit sekali informasi yang saya dapat tentang PRD dan Budiman Sudjatmiko kala itu. Satu-satunya sumber informasi hiruk pikuk politik Indonesia di era kepemimpinan BJ. Habibie adalah koran. Sebuah partai kecil yang militan yang dibangun anak-anak muda. Partai yang di koran dicap sebagai PKI gaya baru. Tentu saja sumber yang dikutip koran dengan stigma PKI itu dari pejabat tentara. Soeharto memang telah tumbang. Kepemimpinan telah berganti. Tapi semangat orde baru masih subur rupanya di negeri ini.

Kekaguman saya pada Budiman Sudjatmiko dan PRD kian bertambah ketika membeli buku “Menolak Tunduk: Catatan Anak Muda Menentang Tirani” karya FX. Rudy Gunawan. Buku itu mengenai kehidupan Budiman Sudjatmiko dan sepak terjangnya melawan rejim Orde Baru. Ditulis dengan nada penuh heroik. Mulai dari aksi pengorganisasian massa PRD, hingga aksi kucing-kucingan petinggi PRD meloloskan diri dari kejaran militer pasca tragedi 27 Juli 1997. Menegangkan sekaligus mengharukan. Membacanya kala itu membuat berandai-andai; ‘’seandainya saya seusia mereka, mungkin saya akan turut berjuang bersama mereka.’’

Karena buku itu pula saya akhirnya memutuskan bergabung dalam organisasi Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) di Jember. Organisasi underbow PRD. Sekitar tahun 2003 kalau tidak salah ingat. Dari organisasi itulah kali pertama saya kenal karya-karya Karl Marx, Lenin, Che Guevara, Wiji Thukul, Frans Fanon, dsb. Dari organ mahasiswa underbow PRD itu pula saya belajar, untuk pertamakalinya, menulis selebaran-selebaran yang biasa dibagikan tiap kami melakukan demonstrasi. Juga dari organisasi itu saya mengenal Prameodya Ananta Toer dan membaca hingga selesai tetralogi pulau buru hanya karena satu alasan yang kerap diucapkan kawan-kawan aktivis senior saya di organisasi itu; ”Bukan aktivis revolusioner kalau belum tuntas membaca Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer”

Dibadingkan teman satu organisasi yang pernah turut serta mendirikan LMND Jember itu, saya termasuk aktivis yang tidak terlalu militan. Kadang kala juga tak turut serta demonstrasi hanya karena ‘sibuk’ berlama-lama di warnet untuk membaca tulisan-tulisan di cybersastra.net. Tindakan tidak ‘patuh’ sama perintah organisasi sering diolok-olok oleh aktivis lain yang merasa dirinya paling militan dengan;’ jiwanya masih liberal.’ Tapi saya cuek aja.  

Toh, saya juga mendapat pujian ketika tulisan pertama saya dimuat di Jawa Pos di kolom prokon aktivis karena dibiografinya menggunakan nama; aktivis LMND. ”Itu salah satu cara membesarkan organisasi. Harus juga terus dilakukan” Ujar teman saya.

Membicarakan PRD dan para kadernya pada upaya penggulingan Soeharto di tahun 1998 menjadi cerita yang paling ingin saya dengar usai melakukan rapat-rapat atau kajian-kajian rutin di organisasi tersebut. Saya bisa begadang sampai malam, jika senior bercerita kedekatannya dengan petolan PRD seperti; Budiman, Faisol Reza, Ken Budha Kusumandaru, dan banyak lagi. Meski ceritanya hampir mirip dengan yang ditulis di buku bersampul merah dengan wajah Budiman oleh alumnus filsafat UGM tahun 1992 dan bekerja di majalah Jakarta-Jakarta itu, saya senang mengikutinya.

Dari organisasi itu pula saya jadi tahu kalau ditangkap polisi saat melakukan demonstrasi ternyata menyenangkan. Karenanya kadang-kadang aksi saling dorong dengan aparat harus dilakukan. Pertama, nilai tawar sebagai aktivis naik. Kedua, bisa dapat makan gratis. ”Sering juga dikasih uang 50 ribu usai ditanya-tanyai.” Ujar Aditya Fajar, ketua LMND Jember kala itu. 

Namanya juga aktivis ‘sambil lalu’ kadang saya perlu juga merasa sok heroik. Misalnya, ketika aksi pembakaran bendera empat partai di Jember, kawan-kawan organisasi saya blingsatan sembunyi dari buruan intel. Saya yang tak ikut aksi itu sok-sok juga ikut sembunyi di kos teman sambil bercerita dengan bangga kalau organisasi baru saja melakukan pembakaran bendera partai-partai besar yang masih mendukung Orde Baru dan kini diburu polisi.

Keterlibatan saya yang terakhir bersama LMND kala mendapat ‘tugas’ membangun organ untuk persiapan pemilu 2004 di Pamekasan, Madura. PRD hendak maju ikut pemilu dengan partai bernama Papernas (Partai Persatuan Pembebasan Nasional). Saya korbankan KKN (Kuliah Kerja Nyata) saya untuk melakukan ‘tugas mulia’ itu. 

Basecamp tempat menampung aktivis PRD Jawa Timur yang akan mengawal pendirian kantor Papernas adalah rumah saya. Dari situ saya kenal, Mbak Jum, Mas Rudi Hartono, Fauzi Bayu. Dan satu orang lagi saya lupa. Di kamar sayalah para kader PRD jawa Timur itu menginap. Dan perluasan basis organisasi dan perluasan kontak, teman-teman saya yang antar. Saya bolak balik Jember-Pamekasan karena harus juga menyelesaikan kegiatan KKN.

Bagi aktivis kelas empat macam saya, mendapatkan tugas semacam itu, tidak dibayarpun pasti semangat. Saya hubungi teman-teman sekampung saya. Beberapa setuju. Bukan karena sepakat dengan ideologi LMND, PRD atau Papernas. Hanya karena pertemanan saja. Salah satu diantaranya anak pejabat Bulog yang masih duduk di bangku SMA kelas dua (atau tiga?) bernama Arif Dwicahyo. Di rumah dia berkas-berkas diprint. Karena di kampung saya cuma dia yang punya seperangkat komputer lengkap. Dan berdirilah DPC Papernas Pamekasan. Lengkap dengan struktur organisasinya. Kantornya? Rumah milik teman bapak saya, yang kebetulan kosong. Kantor sementara saja. Hanya untuk lolos verifikasi DepKumHAM. Dan plang partai dinaikkan. Bendera Papernas berkibar di samping plang. 

Seminggu setelah plang Papernas naik, ketua DPC dipanggil ke Yonif 516. Diinterogasi dan ditanyai soal pendirian partai. Termasuk juga AD-ARTnya. Tentara minta plang itu diturunkan dan kantor ditutup karena partai itu komunis gaya baru. “Kalau tidak, urusannya bisa panjang!” Ujar Ahmad menirukan kalimat interogator.

Teman saya sempat keder juga. Baru pertamakali ini berurusan dengan tentara. ”gimana ini mau dilanjutkan?” tanya Ahmad pada saya. Saya kemudian menceritakan tentang perjuangan PRD dan Budiman Sudjatmiko seperti yang ditulis oleh penulis buku “Pelacur dan Politikus” itu untuk memompa semangat teman-teman saya. Dan mereka setuju untuk terus lanjut. 

Hasilnya, Papernas tidak lolos verifikasi DepKumHAM. Plang diturunkan. Bendera bergambar bintang itu juga diturunkan. Yang tersisa hanya kenangan. Juga kekecewaan-kekecewaan. ternyata Orang-orang PRD yang dalam benak saya teguh dan sekeras baja, mulai menjelma seperti seng dimakan karat. Rapuh. 

Misalnya ada teman satu organisasi yang mengaku marxist, tapi begitu menggagungkan Ayu Utami sebagai penulis feminis Indonesia. Punya pacar dia tiduri pacarnya atas dasar cinta dan suka sama suka. Begitu putus, dia menulis surat berantai yang dikirimkan ke email teman-temannya justru untuk menjelek-jelekkan pacarnya. Yang ‘diselingkuhi’ dosennya lah, kemudian disuruh aborsilah, membacanya saya justru merasa iba pada si perempuan. Betapa tega dia melakukan itu, yang atas email berantai itu dia justru menjadi penindas perempuan, mantan pacarnya sendiri. 

Di samping itu, belakangan saya mulai tahu PRD bukanlah partai yang benar-benar bersih. Fauzi Bayu, Ketua Komite Pimpinan Wilayah (KPW) PRD Jawa Timur terlibat korupsi pada tahun 2002. Bermula dari pemilihan Gubernur Jatim. Dia ‘main mata’ dengan Imam Utomo, mantan Pangdam Brawijaya yang hendak maju sebagai calon Gubernur. Ketika maju sebagai Cagub Jawa Timur, mantan Pangdam Brawijaya itu terus-terus didemo dan dosa-dosanya yang banyak menangkap dan menyiksa aktivis pasca tragedi 27 Juli 1997 diumbar di muka publik. 

Entah bagaimana mulanya, akhirnya Imam Utomo berhasil mendekati Bayu. Dan memberikan uang ‘tutup mulut’ sebesar 20 juta. Uang tersebut tak dilaporkan ke pusat. Akhirnya, ia didakwa melakukan korupsi. Dipecat. Yang tidak jelas terungkap sampai sekarang adalah pertanyaan-pertanyaan seperti; kemana uang itu mengalir? Dihabiskan sendirikah? Atau sudah dibagi-bagikan ke kader/pimpinan yang lain? 

Kasus Bayu sebenarnya bukan kasus korupsi pertama di tubuh PRD yang saya dengar. Konon katanya siempunya cerita, sebelum kasus Bayu terkuak, sempat beredar kabar kalau di pusat seorang Kader menyimpan uang 100 juta di rekeningnya. Tak jelas dari mana uang sebanyak itu. Tapi terkuaknya uang tersebut membuat kader lain geram. Pasalnya, kehidupan aktivis kelas tiga dengan aktivis kelas satu, yang jadi pucuk pimpinan terasa sekali perbedaannya. aktivis kelas satu kerap gonta ganti henpon dan bajunya selalu licin. itulah yang bikin kader kelas tiga geram. Sempat pemilik rekening itu akan dikeroyok massal seperti maling ayam. 

Yang terakhir yang sampai ke telinga saya korupsi yang dilakukan Yusuf Lakaseng, Ketua PRD. Kalau tak salah ingat, juga ketua Papernas. Ia kedapatan mendapatkan aliran dana sebesar 20 juta. Aliran dana tersebut tak dilaporkan ke bagian keuangan. Terkuaknya aliran tersebut karena banyak kader lain yang curiga karena dari hari ke hari penampilan ketua partainya kian perlente. Baju batu. Sepatu batu. Akhirnya dicurilah buku rekening ketua partainya itu. dari situ praktek korupsi itu terbongkar. Ia akhirnya dipecat.

Namanya juga petualang politik, dipecat dari partai lain tak membuat aura politiknya redup. Malah justru kian terang. Dipecat dari PRD Lakaseng masuk PBR. Dari PBR hijrah ke Nasdem. Dari Nasdem lompat lagi ke Hanura dan menjadi Caleg DPR-RI pada pemilu 2014 nanti. Slogan di Balihonya, menurut cerita, sungguh membuat geram. Bunyinya: “Politik itu Kehormatan. Jangan Kotori dengan Korupsi!!! 

 Rasa kecewa juga mulai bercampur dengan rasa jengkel, manakala mendengar berita aktivis PRD yang menjadi korban penculikan justru bergabung dengan penculik. Aan Rusdianto, misalnya. 15 tahun silam, kader PRD bertubuh tambuh ini dijemput orang tak dikenal. Dengan mata tertutup ia dibawa ke sebuah tempat. Disekap selama dua hari untuk diinterogasi tentang pandangan politik dan kawan-kawannya sesama aktivis PRD. Selama dua hari itu, ia mengalami siksaan brutal. Tapi kini ia justru bergabung dengan Prabowo Subianto, salah satu yang diduga kuat sebagai aktor intelektual penculikan banyak aktivis pada 1998, dibawah partai Gerindra. Aan tidak sendirian. Pius Lustrinalang, yang juga pernah diculik Tim Mawar dibawah komando Prabowo telah lebih dulu bergabung dengan Gerindra. Malah ia telah jadi anggota DPR di Komisi Energi dan Lingkungan Hidup. 

Alasan yang biasanya dilontarkan soal diatas; upaya melawan dari dalam. Melebur untuk membangun perlawanan dan banyak lagi retorika indah lainnya. Lalu apa guna dulu menolak dwi fungsi ABRI dan mengutuk penculikan para aktivis jika kemudian memilih memeluk penculik? Atau jangan-jangan saat diculik mereka melakukan deal politik, sehingga dibebaskan. Sementara yang lenyap dan tentu nisannya justru mereka yang teguh memegang pendirian? Tak ada yang tahu. 

Lepas dari semua itu, tentu tak semua kader PRD adalah petualang politik. Selalu ada kader yang benar-benar total menjaga integritas dan memperjuangan sosialisme yang dicita-citakan. Dan mereka melakukan dengan banyak cara semampu yang mereka bisa. Angkat topi dan penghargaan yang tinggi harus juga diberikan pada kader-kader yang konsisten. Sementara pada mereka yang munafik, menjilat ludah sendiri, bolehlah kita mengutukinya habis-habisan. 

Tapi faktanya, banyaknya aktivis kiri yang kemudian ikut menjadi gerbong dari lokomotif partai-partai borjuis sebagai dalih 'melakukan perlawan dari dalam' bahkan diantaranya menjadi anggota dewan belum terdengar gebrakannya yang frontal mengusung idealisme sosialisnya di masa lalu. Misalnya, sejak Alm. Gus Dur menyuarakan untuk mencabut TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966, belum satupun aktivis kiri eks. PRD itu yang berani menyuarakan pencabutan itu lagi hingga sekarang. Padahal upaya pencabutan kebijakan itu penting, menurut saya, minimal untuk memberikan ruang gerak yang lebih luas demi berdirinya partai buruh yang progresif yang berani menantang rejim despotik, memberikan angin segar bagi perlawanan rakyat dan menantang partai-partai besar yang cuma jadi mesin kapitalisme. 

Kembali ke soal Buku Menolak Tunduk. Memang sudah lama saya tak baca buku yang kata pengantarnya dutulis Xanana Gusmo itu lagi. Ketika hendak menulis kisah inipun saya mengambilnya di rak paling bawah berjejer dengan buku Catatan Pinggir Goenawan Mohammad, Prahara Budaya nya Taufiq Ismail dan Setelah Politik Bukan Panglima Sastra karya Fadli Zon. Bukan rak istimewa seperti buku-buku Pram yang saya letakkan di rak atas dan mudah dijangkau untuk saya baca lagi dan lagi. 

Dan seandainya tak ada proyek #5bukudalamhidupku yang digawangi Irwan Bajang saya tak akan ingat pengalaman dengan buku biografi Budiman Sujatmiko terbitan Grasindo, yang cetakan pertamanya terbit pada Februari 1999 itu. Buku yang pernah selalu saya bawa kemana mana dan diceritakan pada banyak teman. Kalau tidak ada proyek itu saya mungkin tak akan bercerita bahwa saya pernah keliru memfethiskan seseorang dan sebuah partai. Tulisan ini juga sebagai otokritik saya, bahwa meminjam Frase Chairil Anwarr, belajar belumlah selesai. Belum apa-apa. 

Masalahnya proyek itu sudah kelar. Tepat pukul 00.00 17 November 2013. Saya sendiri sudah setor review buku kelima, meskipun dari awal saya tak masuk hitungan sebagai peserta lomba yang sah. Saya penumpang gelap yang oleh Bajang diledek sebagai; peserta yang ngoyo. Udah tahu gak masuk hitungan masih saja ngejar-ngejar bis yang dia supiri. Ah, terserahlah kata dia. 

Karena proyek sudah kelar, biarlah saya kasih tagar tulisan ini dengan #5bukudalamhidupkuplus1. ini buku pamungkas saya sebenarnya.





2 komentar:

Diana Sasa mengatakan...

Terimakasih telah menulis catatan ini. Saya sedang butuh

edyfirmansyah mengatakan...

makasih udah komen kakak! :D ambil aja sepuasnyah